Khawatir tengsin pernah menertawakan isi surat Ar Rahman, mulut saya tertutup rapat; tak mau ikut nimbrung. Tapi, diam-diam, tersimpan juga rasa penasaran yang besar di batok kepala ini.
Malamnya, saya realisasikan niat saya membaca terjemahan Ar Rahman. Saya buka kitab terjemahan keluaran kementerian agama Republik Indonesia, lalu mencari halaman yang memuat judul surah "Sang Maha Penyayang", dan membaca teks berbahasa Indonesianya.
"Fabiayyi aalaa i-robbikumaa tukadjdjibaan."
Artinya, "maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan?"
Jleb!!!
Lebih dari 70 kali kalimat itu diulang dalam satu surat. Tiap kali membacanya, saya teringat satu per satu kesalahan dan dosa saya. Di saat yang sama, saya juga mengingat seluruh fasilitas dari Sang Pencipta yang saya nikmati selama hidup.
Saya menyadari diri ini penuh dosa. Tapi Tuhan masih saja terus memberikan limpahan nikmatnya hidup di dunia. Tidakkah Ia benar-benar penyayang? Mana rasa syukur saya kepada-Nya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghardik akal sehat saya.
Berani-beraninya saya menertawakan ayat-ayat-Nya. Berani-beraninya saya durhaka kepada orang tua. Berani-beraninya saya meninggalkan sholat tanpa sebab. Berani-beraninya saya bermaksiat kepada-Nya. Berani-beraninya...
Tapi Tuhan masih terus memberikan kenikmatan kepada saya. Saya akui itu. "Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan?!" Petikan ayat itu terus menggema di pikiran ini.
Tiba-tiba saja, tenggorokan saya tercekat; sesenggukan menangisi kebodohan saya selama ini.
Di kamar itu tak ada orang selain saya. Di kamar itu hanya dipenuhi derai air mata. Di kamar itu saya termenung sangat lama.