Disutradarai Wisnu Adi, kisahnya begitu catchy bersama aspek-aspek detil tentang budaya Bugis-Makassar.
Semula saya berpikir SCYTD adalah film adat budaya Bugis-Makassar. Hal ini terlihat dari aksen bicara para pemain yang begitu khas; tidak satu pun partikel imbuhannya yang kaku terdengar. Lidah mereka pun luwes melafalkan beberapa bahasa asli Bugis-Makassar. Sampai-sampai, saya komplain ke teman sesama blogger yang duduk di sebelah, "Bisma Karisma dan Andania Suri ini asli Makassar bukan, sih?"
Setelah bertanya ke mbah Google, diketahui bahwa Bisma Karisma merupakan anggota boyband SMASH yang lahir di Bandung, sedangkan Andania Suri kelahiran Jakarta. Sang pemeran Zulaikha pun mengaku bahwa ia butuh waktu tiga bulan pendalaman peran dan latihan dialek Makassar agar berakting natural. Hal ini yang membuat mereka pantas mendapatkan apresiasi besar.
Selain itu, muncul pula kebiasaan adat budaya Bugis-Makassar lainnya. Seperti hal: memadu dua jempol saat berakad nikah, serta hadiah kain sutra kuning Zulaikha dari sang bunda. Dalam adat mereka, warna kuning bagi seorang gadis adalah penanda kebeliaan, dan sebuah tanggung jawab orang tua untuk menjaganya baik-baik. Selendang itu diberikan Puang Rabiah (Dewi Irawan) kepada anak gadisnya sebagai simbol rasa sayang tak berujung.
Masih banyak lagi adat budaya Bugis-Makassar yang ditampilkan di film ini, dan yang paling langka adalah munculnya upacara Ma'barata yang ternyata berbeda teknis dan maknanya dengan suku Toraja.Â
Akan tetapi, kesimpulan saya salah. Saat konferensi pers paska screening Film "Silariang: Cinta Yang (Tak) Direstui" (10/1), Dewi Irawan menjelaskan film ini bukan melulu pertentangan antara cinta dan budaya. Kisah cinta SCYTD juga bercerita tentang realita yang harus dihadapi pasangan muda dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
"Mampus lu!" Begitu Dewi Irawan mengekspresikan. "Emangnya kawin itu gampang?" yang diiringi gelak tawa para insan pers dan nara-blog kemarin.
Bagi yang tidak mengerti bahasa Bugis-Makassar jangan takut kesulitan menerjemahkan, karena di beberapa bagian filmnya terfasilitasi subtitle berbahasa Indonesia. Hal ini bahkan memudahkan saya yang selama kecil lahir dan dibesarkan di Jakarta. Jujur saja, saya tak pernah diajarkan berbahasa daerah oleh keluarga yang keturunan asli Bugis.
SCYTD berhasil membayar rasa kerinduan saya terhadap suasana Sulawesi Selatan. Hal yang paling utama adalah sifat kesetiakawanan orang-orang asli sana meski gaya bicara mereka yang cenderung ter-misintepretasi lawan bicara.Â
Kehadiran pemain baru dalam film Silariang ini juga membawa nafas baru dalam dunia akting lokal. Pembawaan Fhail Firmansyah (berperan sebagai Akbar) dan Nurlela M. Ipa (berperan sebagai Dira) mampu mengelaborasi kemampuan di depan kamera.
Ada sindiran khas terdengar kala Akbar (Fhail Firmansyah) mengeluh kepada Yusuf, "Kawin berdiri saja susah. Kau lagi, kawin lari."