Mohon tunggu...
Dhul Ikhsan
Dhul Ikhsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pribadi

"Confidence is fashion" Follow, coment, and like IG : @sandzarjak See you there.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Membayar Tunai Kerinduan akan Sulawesi Selatan dari Film "Silariang"

16 Januari 2018   15:00 Diperbarui: 17 Januari 2018   21:37 2750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yusuf memandang bintang-bintang neon kota Makassar dari atas sebuah restoran. Sikapnya gentle menanti seseorang. 

Yang dinanti datang dari arah pintu masuk. Bagai perwujudan kahyangan, gadis itu menghampiri Yusuf yang tengah kasmaran. Nama gadis itu, Zulaikha.

"Semenjak kita bertemu, saya tidak mau apa-apa lagi selain kamu," sahut Yusuf dalam dialek Makassar yang kental. 

Sang pemuda mengeluarkan sebuah kotak perhiasan berisikan cincin bermatakan mutiara cantik, lalu mengajak Zulaikha menikah.

Betapa bahagianya gadis keturunan bangsawan Bugis itu. Sang pujaan hati berkomitmen mencintai dirinya, selamanya. "Tapi ibu tak akan menyetujui kita," Zulaikha mengingat sedih. 

Meski tak berdarah bangsawan, Yusuf bukanlah pemuda kacangan. Karena keputusan telah dibuat: besok, pihak keluarganya akan datang melamar.

Resume

Silariang dalam bahasa Indonesia berarti kawin lari. Dalam kisah kehidupan suku Bugis-Makassar, isu silariang tak lekang dimakan zaman; cinta dua insan yang tak direstui. Jika mau dihitung, roman semacam ini cukup banyak adanya.

Di Negeri tempat asal mula I La Galigo ini memang terkenal dengan kegemaran literasinya. Sebut saja kisah legenda Datuk Museng dan Maipa Diapati. Kedua insan ini memiliki cinta tak kenal strata. Datuk Museng adalah orang biasa, sedangkan Maipa berdarah bangsawan. Kisah romansa mereka harus melewati lemparan batu dari keluarga sang perempuan akibat perbedaan status di antara keduanya. Mereka tidak direstui.

Dalam dunia sinematografi, tema kawin lari bahkan sempat hadir. Di tahun 70-an, alm. Rahman Arge (peraih piala Citra) sudah mengangkatnya dalam sebuah cerita pendek. Lalu, di tahun 1990-an, pemerintah daerah Sulawesi Selatan memproduksi film berjudul "Jangan Renggut Cintaku".

Film "Silariang: Cinta Yang (Tak) Direstui", atau disingkat SCYTD, kali ini berusaha menggenapkan usaha seniman lokal sebelumnya agar dinikmati penonton seluruh Indonesia. 

Disutradarai Wisnu Adi, kisahnya begitu catchy bersama aspek-aspek detil tentang budaya Bugis-Makassar.

Semula saya berpikir SCYTD adalah film adat budaya Bugis-Makassar. Hal ini terlihat dari aksen bicara para pemain yang begitu khas; tidak satu pun partikel imbuhannya yang kaku terdengar. Lidah mereka pun luwes melafalkan beberapa bahasa asli Bugis-Makassar. Sampai-sampai, saya komplain ke teman sesama blogger yang duduk di sebelah, "Bisma Karisma dan Andania Suri ini asli Makassar bukan, sih?"

Setelah bertanya ke mbah Google, diketahui bahwa Bisma Karisma merupakan anggota boyband SMASH yang lahir di Bandung, sedangkan Andania Suri kelahiran Jakarta. Sang pemeran Zulaikha pun mengaku bahwa ia butuh waktu tiga bulan pendalaman peran dan latihan dialek Makassar agar berakting natural. Hal ini yang membuat mereka pantas mendapatkan apresiasi besar.

Selain itu, muncul pula kebiasaan adat budaya Bugis-Makassar lainnya. Seperti hal: memadu dua jempol saat berakad nikah, serta hadiah kain sutra kuning Zulaikha dari sang bunda. Dalam adat mereka, warna kuning bagi seorang gadis adalah penanda kebeliaan, dan sebuah tanggung jawab orang tua untuk menjaganya baik-baik. Selendang itu diberikan Puang Rabiah (Dewi Irawan) kepada anak gadisnya sebagai simbol rasa sayang tak berujung.

Masih banyak lagi adat budaya Bugis-Makassar yang ditampilkan di film ini, dan yang paling langka adalah munculnya upacara Ma'barata yang ternyata berbeda teknis dan maknanya dengan suku Toraja. 

Akan tetapi, kesimpulan saya salah. Saat konferensi pers paska screening Film "Silariang: Cinta Yang (Tak) Direstui" (10/1), Dewi Irawan menjelaskan film ini bukan melulu pertentangan antara cinta dan budaya. Kisah cinta SCYTD juga bercerita tentang realita yang harus dihadapi pasangan muda dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

"Mampus lu!" Begitu Dewi Irawan mengekspresikan. "Emangnya kawin itu gampang?" yang diiringi gelak tawa para insan pers dan nara-blog kemarin.

(Dokpri) Konferensi Pers Screening Film SCYTD
(Dokpri) Konferensi Pers Screening Film SCYTD
Kisah besutan Wisnu Adi ini sangatlah mudah dicerna. Karya sinematografisnya di balut dalam keindahan alam Rammang-rammang serta lusinan lagu bernada folks yang mengasyikkan. Pemeran utama pria, Bisma Karisma pun ikut menyumbang satu lagu berjudul "Rumah".

Bagi yang tidak mengerti bahasa Bugis-Makassar jangan takut kesulitan menerjemahkan, karena di beberapa bagian filmnya terfasilitasi subtitle berbahasa Indonesia. Hal ini bahkan memudahkan saya yang selama kecil lahir dan dibesarkan di Jakarta. Jujur saja, saya tak pernah diajarkan berbahasa daerah oleh keluarga yang keturunan asli Bugis.

SCYTD berhasil membayar rasa kerinduan saya terhadap suasana Sulawesi Selatan. Hal yang paling utama adalah sifat kesetiakawanan orang-orang asli sana meski gaya bicara mereka yang cenderung ter-misintepretasi lawan bicara. 

Kehadiran pemain baru dalam film Silariang ini juga membawa nafas baru dalam dunia akting lokal. Pembawaan Fhail Firmansyah (berperan sebagai Akbar) dan Nurlela M. Ipa (berperan sebagai Dira) mampu mengelaborasi kemampuan di depan kamera.

Ada sindiran khas terdengar kala Akbar (Fhail Firmansyah) mengeluh kepada Yusuf, "Kawin berdiri saja susah. Kau lagi, kawin lari."

Saya yakin, setelah menonton film ini, orang di luar Sulawesi Selatan akan mahfum bahwa orang Bugis-Makassar bukanlah tipikal gampang marah.

Penutup

Di balik apiknya kisah cinta "Silariang: Cinta Yang (Tak) Direstui", ada detil Rammang-Rammang yang perlu saya tambahkan di sini.

Rammang-Rammang adalah lokasi wisata yang berjarak satu jam perjalanan dari kota Makassar. Pemandangannya eksotis berlatar gugusan pegunungan karst (kapur). Buminya berpermadani hijau, cokelat dan jingga. Dialiri lekukan sungai yang gemulai serta didapati empang-empang milik warga desa Salenrang.

Tahun 2015 kemarin saya berkesempatan mendatanginya, lebih tepatnya ke lokasi wisata gua Rammang-rammang. 

Gua tersebut ada ratusan jumlahnya dan menjadi tempat tinggal manusia prasejarah Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan temuan lukisan dinding gua dalam bentuk telapak tangan manusia, binatang, dan tetumbuhan.

Sekeluarnya dari menyaksikan gua prasejarah, saya terpana dengan pohon besar yang tumbuh menjulang di atas batu karang. Saya juga baru menyadari bahwa tanahnya dipenuhi fosil-fosil kerang. Kenapa bisa ada kerang di sini?

Jawabannya saya dapati ketika pemandu kami bantu menjelaskan asal-usulnya. 

Kawasan Rammang-rammang ini dipercaya oleh para ahli merupakan lautan dahulunya. Selama berjuta-juta tahun air laut itu surut sehingga meninggalkan bekas gugusan pegunungan karst. Oleh karena itu, lokasi ini masih tertutup bagi pengunjung demi penelitian lebih lanjut arkeolog dan peneliti di bidang geologi.

Film "Silariang: Cinta Yang (Tak) Direstui akan tayang di bioskop-bioskop seluruh Indonesia, serentak pada tanggal 18 Januari 2018. Berikut cuplikan singkatnya,


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun