"Kalau beberapa tahun ini sih, gak separah kayak yang dulu. Sekarang nih, masih agak sepi. Mungkin karena masih liburan tahun baru." Jelasnya.
Saya pun langsung bertanya ke pokok misi saya ke Tanah Abang, "Program yang PKL itu makin bikin parah kawasan ini gak sih, pak?"
"Sama aja sih, pak. Gak ada perubahan. Kalau macet, ya macet aja kayak biasa."
Padatnya jalanan di Blok A pun mulai berkurang selepas mobil kami berbelok ke arah Blok E. Sang supir menurunkan kami di haltenya yang dipenuhi PKL.Â
Pedagang-pedagang itu terlihat menggelar barang dagangannya secara acak. Tapi yang saya sesalkan adalah, ada dari mereka yang memonopoli bangku halte untuk berjualan. Kami pun musti berdiri menunggu datangnya Bus Tanah Abang Explorer.
Pemberhentian terakhir bus kami tepat di depan tangga stasiun Tanah Abang. Segera setelah turun saya mengabadikan bus explorer pertama yang melayani saya. Baru saja memotretnya sekali, di belakang saya terdengar bisikan seseorang, "foto yang itu juga, tuh..".
Saya mencari-cari spot yang dimaksud bisikan orang yang sambil lalu itu, dan saya temukan seorang pengemis berjongkok di depan tangga, sementara kedua orang anaknya bermain bebas di trotoar.
Apakah di lokasi ini banyak pengemis? Hati saya bertanya-tanya. Ternyata tidak. Sepanjang saya menelusuri trotoar dan jalan yang dipakai PKL dengan tenda merahnya itu, tidak saya temui para peminta-minta ataupun pengamen mengganggu pengunjung dan pedagang di sana.
Meski langit dihinggapi panas terik, pengunjung tak kehilangan semangat berbelanja di tenda-tenda PKL di depan stasiun Tanah Abang itu. Sepertinya, kawasan ini menjadi surga belanja.Â
Selain dari mereka ada pedagang asongan keliling yang menjajakan makanan ringan dan minuman dalam kemasan botol. Saya juga sempat masuk agak ke dalam demi mencari rok anak kecil seumuran 9 tahun. Lalu, saya balik menelusuri sepanjang ruas jalan yang digunakan PKL tenda merah untuk mencari topi yang diingini keponakan saya. Sayangnya, tidak ketemu.
Pasar tetaplah pasar. Sentral perputaran uang di mana semua orang ingin mendapatkannya meski hanya berupa cipratan rupiah. Konsep yang dibangun oleh Pemerintah Daerah DKI saat ini memang terlihat sedikit berantakan, meski idenya cukup menguntungkan PKL dan pedagang asongan, atau yang disebut pedagang kecil.