Nama Suparman biasanya digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan orang biasa, sedangkan Superman digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan orang yang penuh dengan kemampuan melebihi Suparman.Â
Berkaca dari kedua istilah di atas, sering kali sebagai remaja, mereka berharap memiliki orangtua seperti Superman. Orang dengan segala macam kemampuan dan kekuatan hebat sehingga dapat melakukan apapun pekerjaan yang ada di dunia.
Bayangkan saja jika sosok Superman memasang tarif untuk segala pekerjaan yang dilakukannya, maka dalam waktu singkat Superman akan menjadi orang terkaya nomor satu di dunia.Â
Tidak semua orangtua dapat bertindak sebagai Superman. Tetap saja, orangtua sebagai manusia biasa dibatasi tenaga dan kondisi fisik lainnya, sehingga cepat atau lambat, mereka akan menjadi lemah dan tidak berdaya karena dimakan usia.
Ironisnya, di era globalisasi saat ini, masih banyak remaja menempatkan pemikiran mereka bahwa orangtua adalah Superman. Manusia serba bisa yang sanggup mewujudkan segala keinginan mereka.Â
Anggapan ini membuat remaja terlalu bergantung pada orangtua saat menjalani kehidupan. Bahkan sebagian dari remaja memperlakukan orangtuanya sebagai alat untuk memuaskan keinginannya.
Figur orangtua yang semula bertanggung jawab untuk memenuhi kehidupan anak-anaknya, sekarang justru seolah berubah menjadi pembantu bagi sang anak.Â
Sebagian dari orangtua kehilangan keberanian untuk menolak keinginan anak yang tidak sesuai umurnya. Mereka bahkan tanpa sadar mendukung keinginan sang anak tanpa mampu berbuat banyak.
Suatu hari, seorang remaja seusia murid sekolah menengah pertama berteriak keras di halaman rumahnya. Samar-samar terdengar suara sang remaja meminta ayahnya membelikan sepeda motor.Â
"Aku mau motor matik! Pokoknya, ayah harus belikan!" Teriak remaja itu sambil membanting pintu depan lalu berlari meninggalkan rumah dengan pagar terbuka.
Selang beberapa menit, seorang pria muncul di balik pagar. Rambutnya sudah putih dengan kaca mata tebal melekat di wajahnya. Tubuh kurus ditutupi oleh kaos biru tua yang tampak kebesaran. Sepertinya, orangtua itu layak menjadi kakek sang remaja, tetapi rupanya dia benar-benar sang ayah kandung.
Kejadian di atas sering kali dialami dalam kehidupan saat ini. Anak sudah berubah menjadi maha kuasa melebihi seorang raja yang menguasai suatu wilayah. Perubahan mental dan perilaku anak itu salah satunya tercipta dari kebiasaan yang diterimanya sejak kecil.Â
Terlebih saat sang anak berteriak atau menangis saat meminta sesuatu, pasti orangtua akan kepanikan mencari cara mendiamkan teriak itu. Cara termudah mendiamkan sang anak dengan menuruti permintaannya.
Sekali dia mendapatkan keinginannya dengan teriakan atau tangisan, maka selamanya dia akan mengulanginya dengan cara yang sama. Seiring waktu, sang anak menjadi malu jika harus berteriak atau menangis saat memaksa orangtua mewujudkan permintaannya, dia lalu mengubah caranya dengan mengancam akan berteriak atau menangis.
Saat ancaman pada orangtua itu kembali berhasil, maka mulai saat itu, orangtua tidak lagi dihormati sebagai orangtua melainkan dianggap hanya sebagai pembantu. Sang remaja mulai berani pada orangtua yang berusaha menolak keinginannya.
Belum lagi jika dia berkumpul dalam lingkungan yang negatif. Teman-temannya yang melihat sosok orangtua takut pada sang remaja, lalu memanfaatkan sang remaja untuk menguras harta orangtuanya. Teman-teman cukup berkata:"Inikah buat kamu juga. Kamu juga menikmatinya." Dan terwujudlah semua keinginan itu melalui sang remaja.
Orangtua sebenarnya tidak hanya memiliki kewajiban untuk mencukupi kebutuhan anak, tetapi orangtua juga memiliki kewajiban untuk mendidik sang anak agar mereka dapat hidup sesuai dengan kebenaran yang ada di dunia.Â
Artinya, orangtua hendaknya memberi tahu sang anak saat mereka sudah bertindak salah dan menyimpang dari kebenaran. Contohnya, saat sang anak meminta sesuatu yang menyimpang dari kebenaran, seperti meminta berenang di kolam pada pukul 18.00 WIB sambil menangis dan merengek, sebaiknya orangtua tidak menurutinya.
Sebaiknya orangtua memberikan penjelasan pada anak yang masuk akal, jangan hanya berteriak dengan kalimat larangan. Pada kasus di atas, saat seorang anak ingin berenang di halaman rumah pada pukul 18.00 WIB.
Sebaiknya orangtua melarang keinginan sang anak dengan berkata:"Sayang, inikan sudah menjelang malam, anginnya juga mulai kencang. Kalau kamu berenang, nanti kamu masuk angin dan sakit flu. Kalau sakit bikin ayah dan ibu semakin sedih. Kamu juga tidak bisa main sama teman-teman."
Setelahnya, orangtua tidak perlu memberikan benda apapun sebagai pengganti dari keinginan anak untuk berenang. Biarkan saja kejadian tadi mengalir dengan sendirinya.Â
Sebab, kalau orangtua memberikan hadiah sebagai pengganti atas larangan pada suatu kesalahan, maka anak akan terbiasa untuk meminta imbalan untuk menukar sebuah larangan.
Saat ini, anak dapat menerima coklat sebagai pengganti larangan berenang, tetapi saat dewasa, mereka akan meminta sesuatu yang lebih berharga agar sesuai dengan kerugian akibat larangan orangtua. Yah, lagi-lagi orangtua akan dianggap sebatas pembantu rumah tangga yang dipekerjakan untuk memberikan keuntungan bagi sang anak.
Prinsipnya seperti ini, saat masih kecil, orangtua menanamkan budi pekerti dan kebenaran pada sang anak agar mereka memahami dengan baik perbuatan benar dan perbuatan salah. Anak mengerti membedakan akibat dari perbuatan benar dan perbuatan salah yang sudah dilakukannya. Kehadiran orangtua dalam kehidupan anak haruslah menjadi sahabat. Seorang sahabat harus berani menunjukkan ke jalan benar tanpa menyakiti sahabatnya.
Orangtua berusaha menjalin komunikasi dengan anak dari hati ke hati secara terbuka. Apabila orangtua sedang mengalami kesulitan keuangan, ijinkan anak untuk mengetahui kondisi itu secara langsung. Katakan pada anak jika keuangan keluarga sedang mengalami masalah.
Biasakan mereka untuk bergabung dalam setiap situasi di dalam keluarga karena mereka adalah anggota keluarga. Namun, sebaliknya, jika orangtua selalu berbohong dan menutupi kondisi keuangan keluarga dan tetap berusaha keras untuk menjadi Superman dan memuaskan keinginan sang anak, maka anak akan terbiasa tidak berempati kepada orangtuanya.
Sang anak menjadi tidak terbiasa merasakan kebersamaan secara jasmani dan rohani dengan orangtuanya. Akibat dari itu, mereka akan bersikap masa bodoh saat keluarga sedang dalam masalah.Â
Anak akan tumbuh menjadi pribadi cuek dan lama kelamaan terbentuklah sikap egois. Pada akhirnya mereka akan meninggalkan orangtua untuk hidup sendiri.Â
Tidak ada salahnya juga orangtua jujur pada anak. Ingat, orangtua bukanlah Superman tetapi Suparman. Biasakan untuk terbuka dengan keluarga. Katakan A jika itu memang A dan katakan B jika itu memang B.
Anak adalah manusia yang berasal dari darah daging orangtuanya. Sikap dari anak pasti berasal dari sang orangtua.Â
Perbedaannya seperti ini, jika anak tumbuh dan berkembang dengan kasih sayang dan diperhatikan, maka anak akan tumbuh dengan mayoritas sikap positif dari orangtuanya, tetapi sebaliknya, jika anak dibiarkan tumbuh dan dimanja berlebihan, maka dia akan tumbuh dengan dominan sikap buruk dari orangtuanya.
Seorang anak yang menganggap orangtuanya seperti Superman, sebaiknya menghentikan anggapan itu. Justru anggapan bahwa orangtua adalah Superman akan menjerumuskan diri sendiri ke lembah kemalasan.Â
Anak-akan merasa hidup berkecukupan tanpa harus bekerja. Dampak buruk terjadi saat orangtua mengalami musibah secara mendadak.
Anak yang tidak terbiasa hidup susah dan lupa memanfaatkan harta orangtua untuk belajar dan mengembangkan diri akan langsung jatuh dalam kesengsaraan hidup. Sekalipun orangtua sungguh Superman, maka sang anak harus belajar untuk melindungi keluarga mereka.
Sang anak harus lebih rajin dan semangat untuk berusaha karena dia mendapatkan banyak dukungan dari keluarga. Justru sang anak harus berkarya dan menduplikasi keberhasilan orangtua seperti tunas tanaman yang tumbuh di samping induknya.
Perlu diingat bahwa tidak ada satu orang pun di dunia ini seperti Superman. Orangtua juga manusia biasa dengan kekurangannya masing-masing. Dengan menganggap orangtua sebagai Superman, maka akan menyakiti diri sendiri dan merusak hubungan keluarga.
Dari pada anak sibuk meminta perlindungan dari orangtua bahkan memaksa orangtua memenuhi kebutuhannya, akan jauh lebih baik jika sang anak belajar dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan lewat keringat sendiri. Berhentilah menangisi nasib karena dilahirkan di keluarga tidak kaya. Ubah pikiran sendiri menjadi lebih rajin dan semangat menjalani hidup.
Alangkah bijaksana jika orangtua mengajarkan anak untuk hidup sederhana dan hemat dalam segala situasinya. Tidak salah jika mendidik anak untuk berpenampilan sederhana dan apa adanya meskipun sang orangtua adalah Superman. Dengan membiasakan anak hidup sederhana dan apa adanya justru membantu sang untuk semangat berusaha dan mengerti arti bersyukur atas kehidupan.
Dengan rasa syukur maka akan membantu mereka menjalani hidup lebih bahagia dan dipenuhi kasih sayang terhadap semua makhluk hidup. Hingga pada akhirnya, keluarga menjadi utuh dan selalu diselimuti kebahagiaan. FIN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H