Mohon tunggu...
Sandy Oogway
Sandy Oogway Mohon Tunggu... Tutor - Friendly Coach No.1 Indonesia

Praktisi Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengabdi Pada Diri Sendiri

6 Desember 2021   10:17 Diperbarui: 6 Desember 2021   21:56 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar dan bekerja sebenarnya menjadi urusan pribadi. Tidak ada hubungannya dengan orang lain, sekalipun itu orang tua maupun istri dan anak. 

Belajar dan bekerja juga merupakan tanggung jawab sendiri sebagai manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Untuk itu, belajar dan bekerja bukanlah karena pengabdian pada orang lain, melainkan sepenuhnya karena seseorang mengabdi pada diri sendiri. Orang lain bukanlah majikan, tetapi diri sendiri yang menjadi majikannya.

Pepatah asal Cina berbunyi, "Sehari tidak bekerja, sehari tidak makan." Kalimat dalam pepatah ini terlihat sederhana, tetapi mengandung makna sangat dalam dan luas.

Saat kita berpikir bahwa belajar dan bekerja itu merupakan pengabdian pada diri sendiri, kita akan lebih tekun dan teliti saat belajar dan mengarahkan rutinitas pada sebuah tujuan hidup yang pasti dan sesuai kemauan pribadi. 

Misalkan kita ingin menjadi seorang jurnalis, maka kita harus fokus dengan cara belajar dan menggali pengetahuan di bidang jurnalistik. Kemudian kita mencari pelatih yang menguasai kemampuan jurnalistik secara teoritis melalui bangku kuliah serta pelatih secara praktik yang bekerja di media massa. Dengan begitu, kita akan lebih cepat menguasai bidang tersebut dan lebih cepat mencapai kesuksesan.

Sayangnya, baru sebagian dari kita yang menyadari konsep pemikiran ini. Banyak dari kita yang masih bekerja karena mengabdikan diri pada orang lain. Akibatnya, saat sang 'majikan' sudah merasa puas dengan pekerjaan dan pengetahuan kita, maka kita akan berhenti belajar. 

Pikiran kita mudah merasa puas karena kita hanya berusaha memuaskan keinginan sang 'majikan'. Kecuali bila sang 'majikan' menuntut kita untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan, maka kita baru mulai menjalankan keinginannya tersebut.

Tindakan kita hanya sebatas bertahan hidup dan menyenangkan hati orang lain (sang 'majikan') agar kita dapat mempertahankan pekerjaan dan tidak kehilangan uang dari gaji sang 'majikan'. 

Jika kegiatan ini berulang terus menerus, maka kita sibuk untuk membuktikan diri dan lupa mengembangkan diri, akibatnya kita akan tenggelam dalam kesulitan hidup dan kehilangan waktu yang sangat berharga untuk menjalani hidup.

Lantas bagaimana cara kita mempertahankan pikiran bahwa kita belajar dan bekerja sebagai bentuk pengabdian pada diri sendiri dan bukan untuk orang lain? Berikut tipsnya:

Pertama, kita sadari dulu kesukaan dalam rutinitas

Kita merasakan bahwa kita melakukannya sebentar atau dalam waktu singkat. Padahal bagi orang lain, kita sudah melakukannya seharian penuh. Kita melakukannya tanpa menyadari perputaran waktu dan begitu bahagia saat mengerjakan kegiatan tersebut. 

Misalkan, saat saya menulis berita atau membuat artikel, maka saya terus berpikir mengolah kata dan kalimat tanpa menyadari waktu yang sudah berlalu. 

Saya tenggelam dalam tulisan saya dan menikmati betul setiap kata dan kalimat yang saya rangkai menjadi paragraf.

Lain halnya ketika istri saya meminta untuk membuat laporan keuangan bulanan. Maka saya merasa begitu tersiksa dan merasakan waktu 60 menit seperti 60 tahun lamanya. Begitu menderita dan merasakan tekanan dalam hidup.

Kedua, bila sudah mengetahui kesukaan kita, selanjutnya kejarlah teori melalui buku, lalu baca itu! 

Seringkali, saat kita sudah menemukan kesukaan itu, lalu kita menganggapnya biasa dengan sekedar melakukan kegiatan kesukaan tadi semaunya saja. 

Kita malas untuk menggali pengetahuan tambahan untuk mendalaminya. Bahkan lebih parahnya lagi, kita merasa cukup dengan kesukaan itu. Padahal, dengan kita melatih kesukaan tadi, maka kita akan lebih cepat untuk menjadi pakar. 

Kesukaan tadi akan berkembang pesat dan semakin cepat berubah menjadi senjata pamungkas yang dapat menolong dan menyelamatkan kita dari kesulitan hidup.

Ketiga, cari dan temukan orang-orang berbakat dan baik hati untuk menolong kita mengasah dan menajamkan kesukaan

Kita begitu mudahnya untuk meremehkan orang lain. Lagi-lagi, kita gunakan bentuk fisik, cara berkomunikasi, harta benda, serta tingkat pendidikan seseorang sebagai tembok yang menghalangi kita untuk belajar darinya. 

Begitu melihat guru kita lebih miskin, maka kita lalu menganggapnya lebih bodoh. Padahal bisa saja sang guru mendapatkan beasiswa untuk menempuh pendidikan tinggi di luar negeri dan berpengalaman bertahun-tahun bekerja di perusahaan asing. 

Jadi, kita harus melihat seseorang dari pengetahuan dan pengalamannya secara nyata melalui bukti nyata bukan sekedar ceritanya belaka.

Keempat, berlatih dan terus berlatih untuk mengembangkan kesukaan kita agar lebih baik dan sempurna. 

Seorang penyanyi profesional tetap menjalankan latihan meskipun dia belum mendapatkan tawaran bernyanyi dalam sebuah acara atau konser. Mengapa demikian? Karena baginya melatih bernyanyi merupakan kesukaan yang mengalir dalam tubuhnya seperti darah. 

Sang penyanyi menganggap Jika latihan menjadi bagian dari hidupnya. Tanpa berlatih bernyanyi setiap hari, maka seorang penyanyi akan kehilangan separuh hidupnya. Kita pun harus melakukannya. 

Jika kita ingin menjadi seorang kameramen handal, maka berlatihlah untuk menggunakan kamera setiap hari.

Jika kita ingin menjadi seorang pembicara publik yang baik, maka berlatihnya bicara setiap hari. 

Begitu pula Jika kita ingin menjadi seorang penulis buku yang hebat, maka berlatihlah membuat artikel dan tulisan setiap hari. 

Sebab dengan berlatih, maka pikiran kita akan terbiasa untuk melakukannya sehingga pikiran kita akan mengingat setiap bagian dalam kesukaan kita dan mewujudkannya dalam kehidupan nyata. 

Sebaliknya, Jika kita tidak berlatih, maka pikiran kita akan melupakan kesukaan tersebut dan sama sekali tidak memberikan manfaat bagi kita.

Kelima, berhentilah membandingkan diri dengan orang lain! 

Kita boleh melihat dan belajar dari orang lain yang lebih hebat. Kita boleh menirunya dengan belajar darinya. 

Tetapi ingat! Kita jangan berdiam diri di dalam bayangannya tanpa berani keluar dari bayangan itu untuk menciptakan bayangan kita sendiri. 

Sering kali kita terjebak pada kondisi di dalam bayangan seseorang tanpa mau beranjak darinya. Padahal, berdiri di dalam bayangan seseorang yang kita kagumi pun tidak akan memberikan manfaat apapun untuk kehidupan kita. 

Justru dengan berdiri di dalam bayangannya akan membuang waktu berharga kita sendiri untuk bangkit dan memperbaiki kehidupan sendiri. 

Suka atau tidak pada kehidupan sendiri, sudah sepantas dan selayaknyalah kita perjuangkan. Sebab tidak ada seorangpun akan perduli pada hidup kita kalau bukan kita sendiri yang memperdulikannya.

Diri sendiri merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa restu dari Tuhan, maka kita tidak akan lahir ke dunia ini. Sayangilah diri sendiri. 

Percayai diri sendiri sebagai berkat dari Tuhan. Lindungilah diri sendiri dan janganlah merusaknya. Sebab orang tua begitu berjeri payah untuk memberikan kita jasmani dan rohani ini dengan sempurna. Sehingga kita harus lebih percaya diri dan menyayanginya dengan sepenuh hati.

Untuk itu, kita harus bertekad selalu belajar dengan sepenuh tenaga dan berhentilah malas-malasan serta meremehkan diri sendiri. 

Hiduplah untuk diri sendiri dan abadikan kemampuan dalam hidup ini pada diri sendiri, bukan pada orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun