Masuknya sederet nama dari kalangan artis sebagai calon legislatif dalam pemilu bukanlah sesuatu hal yang baru. Fenomena demikian memang ini sudah ada sejak lama.
Untuk kasus Indonesia, seperti Eko Patrio, Dessy Ratna Sari, Tommy Kurniawan, Primus Yustisio, Rieke Diah Pitaloka, Arzeti Bilbina, Dede Yusuf, Kridayanti, Rano Karno, Nurul Arifin, Dede Yusuf, dll, yang terpilih menjadi anggota parlemen, sejak 2019 hingga sekarang ini.
Lantas apakah kehadiran artis sebagai calon legislatif dalam pemilu 2024 kali ini bisa memberikan kebaruan dalam politik Indonesia, seperti kebijakan yang berpihak bagi masyarakat dan apakah kehadiran artis ini, telah bermodalkan pemahaman politik atau popularitas semata?
Era reformasi menjadi awal dari hadirnya kebebasan berekspresi yang berdampak positif bagi masyarakat dan perkembangan industri media massa di tanah air.
Penyajian informasi dalam media sangat membutuhkan public figure sebagai orang yang menjembatani antara media dengan masyarakat supaya informasi yang tersampaikan dapat dipahami dengan baik.
Kondisi ini seolah dimanfaatkan oleh partai politik (parpol) dalam meningkatkan jumlah suara pada Pemilu 2024.
Kepopuleran tokoh dalam media seakan segala-galanya bagi masyarakat yang sebagian besar tingkat pendidikannya menengah ke bawah.
Begitulah pelaksanaan demokratisasi yamg seakan masyarakat hanya mengandalkan informasi yang disajikan oleh media.
Fenomena munculnya kalangan artis dalam perpolitikan Indonesia sayangnya tidak diimbangi dengan bekal pendidikan politik, sehingga dalam menentukan sikap, pemilih dapat berpatokan pada kapabilitas para calon yang akan dipilih secara profesional.
Parpol sebagai salah satu lembaga yang turut bertanggung jawab terhadap proses pendidikan politik diharapkan memiliki sistem yang jelas dalam pembentukan kader parpolnya, sehingga partai dapat melahirkan para calon profesional bukan berdasarkan popularitas atau pertimbangan yang tidak relevan lainnya semata.