Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sinyal Kuat Reformasi DPR dalam Penghapusan Parliamentary Threshold

3 Maret 2024   13:48 Diperbarui: 3 Maret 2024   19:44 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu politik kembali bergulir seiring dengan pembahasan tentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tertuang dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Sejumlah persoalan mengemuka dan bergeliat menjadi opini publik yang menarik diperbincangkan di mana-mana. Salah satu bola panas perbincangan tentunya ialah soal penghapusan ambang batas parlemen sebesar 4% suara sah nasional.

MK menilai ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4% suara sah nasional yang diatur di dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, serta melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

Sebagian pihak menilai putusan MK tersebut sudah tepat, sedangkan pihak lainnya menyatakan keberatannya dengan menganggap bahwa penentuan angka ambang batas parlemen merupakan kewenangan membentuk UU.

Mekanisme parliamentary threshold atau ambang batas parlemen pada dasarnya lebih berpeluang menguntungkan partai-partai besar yang sudah cukup mapan.

Selain itu, pemberlakuan ambang batas parlemen akan menimbulkan ketimpangan antara partai lama dan partai baru. Pasalnya, dalam hal mewujudkan, mengkampanyekan, dan mensosialisasikan visi dan misi partai sangat terbatas dan umumnya hanya berlangsung dua tahun sebelum pemilu.

Partai baru selalu disibukkan dengan persyaratan administrasi yang menguras waktu dan memakan energi. Aturan ambang batas parlemen juga berdampak pada terbuangnya suara pemilih pada partai-partai yang tidak mampu melampaui persentase minimal ambang batas parlemen.

Misalnya, banyak suara dalam pemilu legislatif yang terbuang sia-sia dan tidak dapat dikonversi menjadi kursi parlemen. Jika hal itu terjadi, dampaknya adalah disproporsionalitas alokasi kursi pada sistem pemilu proporsional yang merupakan bagian dari sistem pemilu Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, maka dihilangkannya ambang batas parlemen untuk menjangkau partai dengan suara di bawah 4% untuk mendapatkan kursi di DPR sudah sangat tepat.

Evaluasi Penerapan Parliamentary Threshold

Pemberlakuan ambang batas parlemen bukanlah hal baru dalam pemilu di Indonesia.

Tercatat, penerapan ambang batas parlemen diberlakukan dengan besaran yang berbeda-beda mulai dari 2,5% pada pemilu 2009, 3,5% pada pemilu 2014, dan 4% pada pemilu 2019.

Di atas kertas, penerapan ambang batas parlemen dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas politik, sistem nasional, sehingga sistem presidensial dapat berjalan tanpa banyak hambatan.

Artinya, tidak adanya partai politik di parlemen diharapkan dapat mempercepat proses pengambilan keputusan di parlemen dan mendukung kinerja Presiden sebagai lembaga eksekutif. 

Namun di sisi lain, penerapan ambang batas parlemen di DPR justru untuk menyederhanakan partai politik atau menghalangi masuknya partai baru/kecil ke DPR.

Motif ini terlihat sangat jelas dengan ditetapkannya ambang batas parlemen yang erat kaitannya dengan faktor politik dan kepentingan partai.

Mekanisme ambang batas parlemen pada dasarnya lebih menguntungkan partai-partai besar yang sudah cukup mapan. Oleh karena itu, ambang batas parlemen cenderung memperkuat munculnya partai-partai kartel.

Dalam partai kartel, seringkali sulit bagi partai baru untuk masuk arena pemilu dan mendapatkan dukungan dari pemilih.

Partai politik yang memperoleh kursi, terutama koalisi besar dan partai-partai yang berkuasa, sering kali berusaha mencegah munculnya partai-partai baru berkuasa dan tidak dapat memperoleh kursi di parlemen. Partai-partai mapan cenderung mendukung penerapan ambang batas parlemen dalam pemilu.

Aturan ambang batas parlemen tidak hanya menyangkut partai politik mana yang berhak mendapat kursi dan melampaui ambang batas persentase, tetapi ambang batas parlemen juga berdampak pada terbuangnya suara pemilih pada partai yang tidak mampu melampaui persentase minimum ambang batas parlemen.

Pemilu 2009 menghasilkan 19.047.481 suara terbuang. Sedangkan pemilu tahun 2014 menghasilkan 2,9 juta suara terbuang, dan pada pemilu terakhir tahun 2019, jumlah suara terbuang meningkat menjadi 13,5 juta suara.

Misalkan, banyak suara dalam pemilu legislatif yang terbuang sia-sia dan tidak dapat dikonversi menjadi kursi parlemen. Kalau begitu, dampaknya adalah disproporsionalitas alokasi kursi dalam sistem pemilu proporsional yang merupakan bagian dari sistem pemilu Indonesia.

Lijphart dan Aitkin dalam Amalia Diamantin dkk. mendefinisikan disproporsionalitas sebagai penyimpangan antara perolehan kursi partai (dalam persentase) dan perolehan kursi sebenarnya di parlemen (dalam persentase).

Sebaliknya, dengan semakin banyaknya pemilih yang memberikan suaranya untuk kursi parlemen dan semakin banyak perwakilan pemilih yang terwakili dalam lembaga perwakilan, maka hasil pemilu akan semakin proporsional.

Rasio itu sendiri dipengaruhi oleh jumlah daerah pemilihan dan ambang batas parlemen. Daerah pemilihan yang banyak dan ambang batas yang besar mengakibatkan jumlah suara tidak tertampung menjadi kursi.

Setidaknya, ada tiga hal yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai apakah suatu pemilu diselenggarakan secara demokratis atau tidak, yaitu: apakah terdapat pengakuan, perlindungan, dan penanaman hak asasi manusia; adanya persaingan yang sehat dari peserta pemilu, serta membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang menghasilkan pemerintahan yang sah.

Ketiga hal tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan untuk mencapai pemilu yang demokratis di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.

Lemahnya Parliamentary Threshold bagi Pelaksaan Demokrasi di Indonesia

Penerapan sistem ambang batas parlemen yang berdampak pada peserta pemilu yang tidak bisa masuk parlemen padahal perolehan suara tinggi, dan terbuangnya suara masyarakat karena partai politik tidak memenuhi ambang batas parlemen, merupakan hal yang dapat mengurangi pelaksanaan demokratisasi.

Jika saja parliamentary threshold terus diberlakukan, konsep demokrasi tidak akan terwujud di Indonesia karena partai yang tidak masuk ke parlemen oleh sebab tidak memperoleh ambang batas parlemen, secara otomatis tersisih, padahal partai tersebut mendapatkan jumlah suara yang tinggi dalam partisipasi pemilu.

Contohnya, pada pemilu 2019. Dari sekian banyak partai-partai peserta baru yang mengikuti pemilu 2019, tidak ada yang bisa lolos ambang batas parlemen. Grace Natalie dari Partai PSI saat itu memperoleh 179.949 suara.

Angka ambang batas parlemen tersebut hanya mampu dilampaui oleh total perolehan suara PDIP, Gerindra, dan PKS di daerah pemilihan DKI Jakarta III.

Itu cukup anomali mengingat meski perolehan suara Grace Natalie menonjol di dapil, ia tidak bisa masuk parlemen karena PSI tidak mencapai ambang batas parlemen.

Supriyanto dan Mellaz (2011) menjelaskan bahwa penerapan parliamentary threshold tentu berimplikasi pada terbuang/hilangnya suara atau tidak terkonversi menjadi kursi sehingga mengakibatkan konsep demokrasi tercederai.

Seperti pada pemilu 2019, sebanyak kurang lebih 13.594.842 suara terbuang hanya karena tidak tersandera oleh ambang batas.

Jadi, bila banyak suara yang terbuang atau tidak diubah menjadi kursi, hal ini berarti terjadi disproporsionalitas atau mengurangi proporsionalitas kursi dalam sistem pemilu proporsional.

Jika hal ini terjadi, itu berarti bertentangan dengan Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 yang secara tegas mensyaratkan adanya sistem pemilu proporsional.

Kelemahan dari ketentuan tersebut di atas terletak pada pemilih yang tidak lolos ambang batas parlemen cenderung tidak dipertimbangkan.

Sistem Koalisi Partai yang Solid Jadi Faktor Kunci

Menciptakan pemerintahan yang efektif tidak berarti mengorbankan prinsip keterwakilan minoritas di parlemen demi menjaga stabilitas politik di tingkat pemerintahan nasional.

Pasalnya, partai politik merupakan wahana dan penghubung antara aspirasi dan pengambil kebijakan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan pemerintah.

Menurut Danny (2021), jika ingin menerapkan sistem presidensial yang efektif, ia merekomendasikan:

  • Pertama, harus ada desain sistem partai politik yang sederhana.

  • Kedua, penting untuk mempertimbangkan pembentukan pemerintahan koalisi yang sesuai dan terbatas (koalisi pemenang minimum) yang bersifat permanen dan disiplin.

  • Ketiga, untuk menghindari kohabitasi, calon presiden dan wakil presiden harus berasal dari partai politik yang sama.

Membentuk sistem koalisi partai yang solid menjadi kunci utama dalam mewujudkan pemerintahan yang stabil. Sebab, sistem multipartai yang terprogram akan sulit menghasilkan partai yang kuat untuk membentuk pemerintahan sendiri, sehingga harus berkoalisi dengan partai lain.

Oleh karena itu, diperlukan format koalisi multipartai di legislatif tanpa menerapkan ambang batas parlemen. Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menyederhanakan fraksi.

Merujuk pada Pasal 12 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, kelompok yang terdiri dari anggota MPR dari berbagai fraksi mencerminkan struktur kepartaian yang dibentuk untuk mengoptimalkan MPR dan anggotanya dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.

Fraksi tersebut terdiri dari anggota DPR yang mempunyai pandangan politik yang sama. Fraksi memungkinkan anggota dewan melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Setiap anggota Dewan harus menjadi anggota fraksi.

Fraksi ini bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan para anggotanya untuk mengoptimalkan efektivitas dan efisiensi kinerja anggota legislatif. Selain itu, fraksi juga bertugas mengevaluasi kinerja anggotanya dan melaporkan hasil evaluasinya kepada publik.

Lebih lanjut, Pasal 21 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib menyebutkan, fraksi juga dapat dibentuk dengan menggabungkan dua partai politik atau lebih.

Selanjutnya, pasal 21 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib menyatakan bahwa faksi juga dapat dibentuk dengan menggabungkan dua partai politik atau lebih.

Meski pembentukan fraksi dapat dilakukan dengan menggabungkan dua atau lebih partai politik, tetapi pembentukan masing-masing fraksi di DPR saat ini dibentuk oleh masing-masing partai politik yang telah melewati ambang batas parlemen.

Sementara itu, untuk menghindari kekhawatiran banyaknya jumlah partai di parlemen yang akan berdampak pada stabilitas pemerintahan, maka jalan terbaiknya adalah dengan menyederhanakan fraksi-fraksi di DPR atau mengurangi jumlah kursi di setiap daerah pemilihan.

Tindak lanjut berikutnya adalah membuat perubahan mekanisme kuota satu kursi menjadi kursi tetap, dan dapat juga dilakukan alternatif pilihan lainnya kemudian digabungkan.

Dengan begitu, pengambilan keputusan politik di DPR menjadi lebih efektif, yang berujung pada stabilitas pemerintahan nasional dan upaya demokratisasi di parlemen.

Misalnya, sistem kursi tetap yang diterapkan Amerika Serikat sejak tahun 1920. AS menetapkan jumlah anggota DPR sebanyak 435 orang, dan hal itu terus berlanjut hingga saat ini.

Cara AS banyak digunakan oleh negara-negara lain, baik itu negara yang sudah menerapkan sistem demokrasi yang mapan maupun negara yang sedang membangun sistem pemilu yang demokratis.

Penyederhanaan jumlah partai politik bisa dilakukan dengan mengurangi jumlah kursi di DPR, misalnya menjadi 500 kursi seperti yang diterapkan pada tahun 1999 dan tiga periode sebelumnya.

Kemudian, jumlah kursi yang menjadi nilai pembagian dari jumlah penduduk yang akan diwakili, selanjutnya digunakan untuk menentukan daerah pemilihan. Oleh karena itu, hal ini mengurangi jumlah partai politik di DPR dan meningkatkan angka keterwakilan secara proporsional di setiap daerah di Indonesia.

Penyederhanaan jumlah fraksi atau pengurangan jumlah kursi di setiap daerah pemilihan yang ditindaklanjuti dengan perubahan mekanisme kuota satu kursi menjadi kursi tetap ini memberikan solusi nyata untuk menyederhanakan jumlah partai politik di DPR.

Alternatif pilihan tersebut nantinya juga dapat digabungkan dengan piliha lain agar pengambilan keputusan politik di DPR lebih efektif, bermuara pada stabilitas pemerintahan nasional dan sebagai upaya demokratisasi di parlemen secara umum, maupun Pemilu 2029 yang akan datang.

Prospek Penurunan Persentase Presidential Threshold

Putusan menghilangkan ambang batas parlemen, seharusnya membuat MK juga dapat mengabulkan permohonan gugatan terhadap ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen.

Penghapusan ambang batas parlemen di satu sisi mampu memberikan manfaat yang sangat signifikan dalam sistem demokrasi Indonesia.

Di sisi lain, penghapusan PT juga bisa menjadi pemulihan terhadap hak-hak konstitusional yang sebelumnya 'terlukai' dengan kebijakan PT (remedy of constitutional rights).

Keuntungan pertama akan diperoleh khususnya partai-partai kecil untuk mengusung calon presidennya masing-masing.

Di samping itu, yang kedua, opsi kandidat presiden pun makin beragam. Bagusnya lagi, dengan adanya penghapusan PT akan lebih mempermudah presiden untuk melaksanakan tugas pemerintahan, lantaran tidak terjadi intervensi partai lainnya yang dominan dalam parlemen.

Akan tetapi, penghapusan PT juga memiliki sisi kelemahan yang patut untuk dipertimbangkan.

Pertama, akan mengakibatkan rawannya kepentingan individu yang bisa diperoleh melalui pencalonan presiden, seperti seorang yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden hanya untuk kepentingan individu.

Kedua, dari aspek keamanan nasional akan berakibat pada perluasan potensi konflik hingga pelanggaran pemilu akibat capres yang terlalu banyak.

Dari segi efisiensi, tentu alokasi anggaran pemilu semakin membengkak (high cost election). Setidaknya, alokasi dana pemilu dapat disalurkan ke bidang-bidang yang dapat meningkat kesejahteraan rakyat. Meski begitu, asumsi ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut dengan riset mendalam terkait efisiensi dana kampanye.

Dari segi dasar hukum juga harus dipahami bahwa belum ada landasan hukum yang kuat soal penghapusan PT.

Masyarakat selama ini hanya memahami secara kontekstual bahwa Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 sebagai penghapusan ambang batas pencalonan presiden.

Padahal, sebagaimana yang terdapat pada Pasal 9 UU No.8 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, dalam putusan itu tidak ada penegasan pembatalan norma tentang PT.

Dengan demikian, masih diperlukan lagi dasar hukum baik berupa undang-undang atau pun regulasi lainnya tentang ada atau tidaknya penghapusan PT.

Salah satu jalan tengah yang dapat diambil untuk menjembatani pro dan kontra tentang penghapusan PT adalah dengan tetap memberlakukan PT, tapi dengan persentase yang sangat minim, mulai dari 0,5 -- 1% atau angka minim lainnya misalnya.

Dengan demikian, penulis menganggap penghapusan ambang batas parlemen dan penurunan persentase PT dapat menjembatani kedua kubu yang pro dan kontra terhadap putusan ini.

Referensi:

Kompas.id

KPU

DPR RI

Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Syariah
 Volume 1, Number 2, 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun