Itu cukup anomali mengingat meski perolehan suara Grace Natalie menonjol di dapil, ia tidak bisa masuk parlemen karena PSI tidak mencapai ambang batas parlemen.
Supriyanto dan Mellaz (2011) menjelaskan bahwa penerapan parliamentary threshold tentu berimplikasi pada terbuang/hilangnya suara atau tidak terkonversi menjadi kursi sehingga mengakibatkan konsep demokrasi tercederai.
Seperti pada pemilu 2019, sebanyak kurang lebih 13.594.842 suara terbuang hanya karena tidak tersandera oleh ambang batas.
Jadi, bila banyak suara yang terbuang atau tidak diubah menjadi kursi, hal ini berarti terjadi disproporsionalitas atau mengurangi proporsionalitas kursi dalam sistem pemilu proporsional.
Jika hal ini terjadi, itu berarti bertentangan dengan Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 yang secara tegas mensyaratkan adanya sistem pemilu proporsional.
Kelemahan dari ketentuan tersebut di atas terletak pada pemilih yang tidak lolos ambang batas parlemen cenderung tidak dipertimbangkan.
Sistem Koalisi Partai yang Solid Jadi Faktor Kunci
Menciptakan pemerintahan yang efektif tidak berarti mengorbankan prinsip keterwakilan minoritas di parlemen demi menjaga stabilitas politik di tingkat pemerintahan nasional.
Pasalnya, partai politik merupakan wahana dan penghubung antara aspirasi dan pengambil kebijakan untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara masyarakat dan pemerintah.
Menurut Danny (2021), jika ingin menerapkan sistem presidensial yang efektif, ia merekomendasikan: