Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menjadi Orang Paling Bahagia di Dunia

25 Januari 2024   22:21 Diperbarui: 25 Januari 2024   22:23 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Alm. Ustadz Arifin Ilham*

Dunia bukanlah tempat manusia yang sesungguhnya. Seperti seorang musafir yang singgah di suatu tempat untuk sejenak beristirahat, maka kita pun tidak lama hidup di dunia ini.

Dan, untuk dapat memperoleh kebahagiaan hidup di dunia yang sebentar, sebelum hidup di akhirat nanti, tentunya dengan mengikuti aturan-aturan yang telah dibuat oleh Sang Pencipta Kehidupan itu sendiri.

"Bagi berita mereka gembira dalam kehidupan di dunia dan di akhirat," (Surah Yunus: 64).

Allah gembirakan mereka yang taat itu di dunia apalagi di akhirat nanti.

Islam adalah manhaj kehidupan. Manhaj artinya jalan yang terang). Ia mengatur semua aspek kehidupan manusia, sejak dari bangun tidur sampai dengan bangun kembali.

Dan, waktu yang sebentar di dunia ini tidak ada yang sia-sia bagi hamba yang beriman. Segala hal yang sudah dilakukan seorang hamba tercatat sebagai nilai ibadah, nilai amal saleh, nilai dakwah, dan nilai muhasabah.

Puncak kesuksesan atau prestasi tertinggal seorang Mukmin adalah ada pada kesempurnaan nilai muhasabah (introspeksi) dirinya, pasalnya tidak ada energi paling kuat dan dahsyat yang hadir dari pribadi Mukmin selain perbaikan dan perbaikan.

Dan, inilah yang menjadi kesibukan seorang Mukmin. Setiap detiknya, dia berusaha keras untuk menjadi lebih baik, lebih baik, dan lebih baik. Ibadah, amal saleh, dakwah, dan muhasabah, yang menjadi persembahan kepada Tuhannya, dilakukan dengan sebaik yang dia mampu kerjakan.

Setiap waktu, dia tidak merasa terbebani dalam melakukan kesemuanya itu, karena ada target terbesar yang menjadi incarannya, yaitu Husnul Khatimah.

"Husnun" artinya terbaik, sedangkan "Khatimah" adalah akhirnya. Jadi, secara istilah Husnul Khatimah ialah happy ending.

Dia sangat menyadari bahwa hidupnya itu berjalan ke depan (maju), bukan berjalan ke belakang alias mundur, (karena baginya tidak ada yang dinamakan ulang tahun, karena tahun tidak pernah berulang). Malahan, dia saat ini sedang menuju jadwal kematiannya. Karena memang masing-masing kitab ajal sudah ditentukan pada setiap diri kita.

"Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya," (QS. Ali-Imran: 145).

Maka dari itu, seharusnya kita tidak terkecoh oleh panjangnya usia, karena hakikatnya semakin hari umur manusia makin berkurang. Hari pun tidak pernah sama atau berulang. Hari Senin sekarang berbeda dengan hari Senin yang lalu.

Jadi, sekali lagi, manusia dari bangsa mana pun sekarang tengah mendekati jadwal dari akhir kisahnya di dunia. Kesadaran seperti ini semestinya tidak sekali-kali membuat kita meremehkan kematian.

Hamba yang beriman sangat memperhitungkan datangnya kematian. Dia senantiasa mempersiapkan diri dan selalu waspada kalau-kalau salatnya tadi adalah salat yang terakhir, jangan-jangan hari ini menjadi hari terakhirnya hidup di dunia.

Semestinya kita pun demikian, karena kehidupan di akhirat tidak ada batasan waktu, selama-lamanya, tidak sebanding dengan masa dunia ini.

Contoh, berapa perbandingan antara usia kita saat ini dengan orang yang sudah 'hidup' di alam kubur sejak tahun 1 Masehi lalu? 2.023 tahun! Padahal, usia rata-rata hidup manusia di dunia adalah 100 tahun.

Bagaimana cara menghitungnya? Contoh lagi, jika kita lahir pada tahun 1993, artinya pada tahun 2024 ini kita sudah berusia 30 tahun. 2024 dikurangi 1993 hasilnya adalah 30.

Mengapa hitungan yang digunakan pengurangan, bukan penambahan, pembagian, atau bahkan perkalian?

Jawabannya, tidak ada jawaban lain, karena memang itulah metode yang pasti dan jelas dalam menghitung jumlah umur manusia.

Sama seperti matematika sederhana di atas, "Hukum Allah" jauh lebih pasti daripada hukum apa pun di dunia ini. Dalam hal ini takdir pada batas waktu hidup manusia.

Itu masih di dalam alam kubur, belum lagi usia dunia itu sendiri, belum soal lamanya kehidupan akhirat.

Masa hidup kita yang hanya sebentar di dunia ini menentukan keadaan kita yang kekal di akhirat. Sebentar, tetapi risiko dan tanggung jawabnya terlalu besar. Lantas, apa susahnya untuk taat sebentar, apa susahnya untuk bersabar sebentar?

Persis ketika Allah mendidik kita melalui puasa di bulan Ramadhan. Menahan rasa lapar dan haus, serta mengendalikan nafsu dalam ketaatan tidaklah lama, yaitu hanya dimulai dari waktu Subuh sampai tiba waktu Maghrib selama maksimal 30 hari.

Allah ingin agar rohani kita menjadi imam, dan jasmani kita menjadi makmum. Maka, di sinilah Allah merahmati hamba-hamba-Nya yang beriman. Dan, karena itulah hamba istimewa menurut Allah adalah hamba yang beriman.

Karena mengenal berarti mencintai, maka sebagaimana kita kalau sudah cinta kepada pasangan, tentu saja kita hanya akan memberikan yang terbaik untuk pasangan.

Untuk itulah, mereka akan mengerahkan segenap kemampuannya dalam melaksanakan salat, zakat, puasa, dan haji, hanya yang terbaik, karena kekasihnya itu senantiasa melihat dan mendengarnya. Ada semacam 'kamera tersembunyi' yang tidak berhenti mengawasi isi hatinya.

Hidup manusia di dunia ada batasnya. (sumber: PEXELS)
Hidup manusia di dunia ada batasnya. (sumber: PEXELS)

Menyikapi Hal-hal Menyakitkan Hati

Ketenangan dan kedamaian hidup dalam aturan Allah membuat hamba selalu merasa ditatap oleh-Nya. Geer dan pamrihnya itu hanya untuk-Nya, sehingga kondisi itulah yang membuat kehidupan orang beriman tenang dan nyaman.

Itu semua bisa juga kita dapatkan bila kita lebih mengutamakan perhatian Allah daripada perhatian manusia, Bagi kita, tidak ada tempat untuk berbuat maksiat serta tidak ada waktu untuk berpikir untuk melakukan kezaliman.

Dan, itulah juga yang membuat hidup hamba yang beriman asyik. Kita menjadi 'aktor' terbaik di hadapan Allah, tidak ada kebaikan yang dibuat-buat dan direkayasa. Apa yang ada di hatinya, itulah yang dia pikirkan. Apa yang dipikirkan, itulah yang dia ucapkan. Apa yang diucapkan, itulah yang dia amalkan.

Tidak ada musibah apa pun yang didramatisir untuk kemudian disikapi dengan melankolis. Imbasnya, kita menjadi jauh dari kata stres dan depresi, apalagi Post Power Syndrome, sehingga kehidupan yang tenang dan nyaman senantiasa kita rasakan.

Jika state ini sudah kita dapatkan, di situlah kemudian bibit-bibit syukur, sabar, ikhlas, dan istiqomah tumbuh di dalam jiwa kita.

Di situlah kita selalu berhati-hati dengan hukum Allah, di situlah kita telah mampu istiqomah, dan itulah yang sering kita minta 17 kali sehari dalam salat lima waktu.

"Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (Al-Fatihah: 6-7).

Kembali lagi, itu semua merupakan konsekuensi dari mengingat kematian. Apa yang selalu tampak di depan mata kita sebagai orang yang beriman adalah kehidupan akhirat, sehingga itu yang membuat kita tenang dan nyaman ketika berjalan di muka bumi ini.

Kita tidak lagi peduli dengan cacian manusia. Demikian halnya dengan pujian. Bagi kita, tidak ada perbedaan antara cacian dan pujian, karena benak kita mengatakan bahwa boleh jadi cacian yang kita terima lebih menguntungkan ketimbang pujian. Jadi, ketika kita merasa marah saat dicaci maki, bisa jadi karena secara diam-diam kita masih mengharapkan pujian orang lain.

Padahal, boleh jadi juga hinaan orang kepada diri kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan aib yang Allah masih sembunyikan. Lantas, dengan merenungi hal tersebut, inilah yang sebenarnya membuat kita tidak mudah sakit hati.

Perhatikan pujian yang begitu indah dari Allah kepada kita di dalam surah Al-Furqan ayat 63 berikut: 

"Wa 'ibaadurrohmaanil ladzii yamsyuuna 'alal ardhi haunaa. Wa idzaa khoothobahumul jaahiluuna qooluu salaamaa."

Jadi, hamba-hamba yang dekat dengan Ar-Rahman itu berjalan di muka bumi penuh percaya diri, dengan sikap dan sifat rendah hatinya. Kalau diejek oleh orang-orang jahil, mereka membalas dengan doa, "Semoga Allah menyelamatkan kita semua"

Dan, mereka yang dekat dengan Allah itu sangat senang begadang malam untuk menikmati lamanya sujud dan berdiri (sewaktu salat) di hadapan Allah.

Dengan demikian, adanya zikir menjadi jalan bagi tumpahan hati kita kepada Tuhan Semesta Alam. Bayangkan seandainya zikir tidak ada, bagaimana kita dapat menjalin hubungan dengan Allah setiap saat? Bukankah kekasih selalu ingin berdekatan dengan kekasihnya? Bukankah yang ditakuti oleh kekasih adalah saat putus hubungan dengan sang kekasihnya itu?

Di sinilah letak korelasi antara ibadah dan umur manusia dalam Islam, karena ibadah-ibadah yang Allah perintahkan bersifat seumur hidup.

Ibadah Haji, Idul Fitri, dan Idul Adha adalah ibadah tahunan.

Ada ibadah bulanan, Yaumul Ibad, yaitu puasa 3 hari di setiap pertengahan bulan Hijriyah.

Ibadah mingguan adalah salat Jumat. Dan, salat lima waktu merupakan ibadah harian dengan 'terminal kontrolnya' adalah salat Duha dan salat Tahajud.

Ada juga ibadah yang dilakukan setiap saat, di mana pun, kapan pun, dan bagaimana pun. Kita dapat melaksanakannya setiap detik, setiap helaan napas, dan setiap denyut jantung. Itulah zikrullah yang dimaksud di dalam surah Al-Baqarah ayat 152:

"Ingatlah (zikir) kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu,"

Kita menyebut nama Allah dan Dia pun menyebut nama kita. Bukankah kita bangga seandainya seorang presiden Indonesia menyebut-nyebut nama kita.

Nah, bagaimana lagi kalau pencipta langit dan bumi, yang mengatur alam semesta bersama bilun-bilun galaksi yang tunduk dalam kekuasaan-Nya, kemudian Dia menyebut-nyebut nama kita?

Pada akhirnya, rambu-rambu yang Allah tetapkan sebagai petunjuk hidup manusia bermuara dari dua hal, yaitu Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah.

Al-Qur'an dan hadits yang biasa kita baca mesti betul-betul diyakini, dimaknai, hayati, dan disadari bahwa itu adalah kalam Allah dan kalam Nabi, itu adalah mukjizat.

Jadi, seharusnya Al-Qur'an dan hadits bukan sekadar dijadikan bahan bacaan dan lewat begitu saja ketika berhenti membacanya. Sebaliknya, saat kita membaca Al-Qur'an, bayangkan seakan Allah sedang berbicara dengan kita. Ketika membaca hadist, bayangkan seolah Rasulullah berbicara dengan kita.

Jadi, mari kita yakin dengan kalam Allah, yakin dengan janji-janji Allah untuk membahagiakan hidup kita di dunia maupun di akhirat, sehingga kita tidak lagi hanya bahagia, tetapi kita menjadi orang yang 'paling' bahagia di dunia.

Dan, ayo kita istiqomah dengan itu, karena hidup kita tidak lama di dunia ini dan kesempatan kita hanya sekali. Tidak akan pernah berulang. Jangan biarkan pola drama dunia yang sebentar ini membuat pikiran kita tergerus olehnya.

Dan, mari bersama-sama mencari rida-Nya, merindukan surga-Nya dengan segala keindahannya yang seluas langit dan bumi. Surga yang Allah dihamparkan untuk hamba-hamba-Nya yang bertakwa di jalan-Nya.

*Tulisan ini merupakan rangkuman dari ceramah Almarhum Ustadz Arifin Ilham dengan judul asli "Ikutilah Maunya Allah."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun