Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan yang Tak Pernah Jauh dari Urat Nadi

8 Desember 2023   01:38 Diperbarui: 8 Desember 2023   01:50 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pencarian akan keberadaan Allah, Tuhan yang Maha Esa. Sumber gambar: PIXELS

Oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA*

Percaya kepada Allah merupakan salah satu rukun Iman pertama yang wajib diketahui oleh umat Muslim.

Sebenarnya, tidak cukup hanya dengan tahu, tetapi yang lebih penting dari itu adalah mengenal hingga kemudian mengesakan Allah semata.

Lafazh Allah berasal dari akar kata (aliha = Yang Menakjubkan, Yang Dipatuhi, Yang Mengherankan).

Dinamakan "Allah" karena karena Dia dipatuhi. Dinamakan "Allah" karena semua ciptaan dan perbuatan-Nya menakjubkan. Jika kita tidak takjub, bisa jadi ketidaktakjuban kita karena kita sudah terbiasa akan sesuatu.

Contohnya, saya melempar batu ke atas kemudian batu tersebut jauh. Sudah biasa.

Namun, jika saya melempar batu tersebut lalu dia lari ke atas. Itu baru menakjubkan.

Jadi, karena kita semua sudah terbiasa dengan sesuatu, hilanglah ketakjuban kita.

Apa bedanya bagi Allah melempar batu ke atas dan lari ke atas, atau melempar batu ke atas lalu jatuh ke bawah? Bagi-Nya sama saja.

Kalau seandainya kita bermukim di suatu tempat yang terbebas dari daya tarik bumi, kita pasti takjub.

Namun, bila sudah terbiasa di sana, ketakjuban kita sudah pasti lama-kelamaan menjadi hilang.

Semua perbuatan-Nya menakjubkan, sehingga Dia dinamai "Allah."

Sementara itu, kita tidak bisa mengetahui hakikat-Nya, sehingga membuat terheran-heran sendiri.

Jadi, karena Dia dipatuhi, perbuatan-Nya menakjubkan, dan hakikat-Nya tidak diketahui sehingga mengherankan, dinamailah Dia "Allah."

Di dalam Al-Qur'an Surah Maryam ayat 65 dikatakan, "Apakah kamu tahu ada sesuatu (selain-Nya) yang dinamai Allah?"

Tidak ada.

Contohnya lagi, kalau saya bertanya siapa Ahmad, Anda bisa kembali bertanya, "Ahmad siapa?"

Kalau ada orang yang mengetuk pintu rumah Anda, lalu Anda bertanya, "Siapa?" Bisa jadi orang yang di balik pintu itu berkata, "Saya".

Apakah pasti Anda ketahui siapa "Saya" itu? Belum tentu.

Namun, jika dia berkata Allah, Anda segera tahu bahwa yang dimaksud ini adalah yang dipatuhi. Adakah satu nama yang seperti nama-Nya?

Tidak ada satu pun nama yang seperti nama-Nya, Allah.

Pada kalimat, "Qul Huwa Allahu Ahad," Tahukah kita siapa itu kata "Huwa/Dia?" Jawabannya, tidak disebut sebelumnya.

Namun, jika saya berkata si A datang, dia naik mobil, berarti "dia" menunjuk kepada si A yang datang.

Sementara itu, dari segi bahasa, kata "Huwa/Dia" pada pembukaan ayat pertama Surah Al-Ikhlas di atas tidak jelas menunjuk kepada siapa.

Akan tetapi, karena "Huwa/Dia" jelas ada di dalam jiwa Anda, maka dengan berkata "Huwa/Dia" itu terus menuju kepada-Nya (Allah).

Allah ada di dalam diri kita.

Kalau Anda bertanya kepada orang Kristen, mereka juga berkata "Allah." Kalau kita tanyakan juga kepada orang musyrik di zaman Nabi, siapa yang menciptakan alam raya ini? Mereka juga akan menjawab "Allah".

Dan, ketika kita berkata bahwa rukun Iman itu percaya kepada Allah, lalu kita berpikir apakah Allah-nya orang musyrik, apakah Allah-nya orang Kristen, apakah Allah-nya Muhammad berbeda?

Belakangan ini, banyak orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama.

Sesungguhnya bagi orang-orang yang mempercayai (adanya) Allah, baik itu Nasrani, Yahudi, ataupun penyembah bintang, maka mereka itu tidak akan mendapatkan kesedihan, tidak juga merasa takut.

Namun, apakah ini yang dimaksud dengan Allah itu?

Begini, jika saya mengundang Pak Ali untuk makan siang pada hari Minggu, apakah semua orang yang bernama Ali saya undang? Tentu tidak.

Apakah itu berarti saya mengundang Pak Ali setiap hari Minggu? Tidak.

Anda harus memastikan Pak Ali siapa yang saya maksud. Bukankah demikian?

Anda juga harus mengonfirmasi pada hari Minggu kapan tepatnya yang saya maksudkan?

Jadi, ketika (kita) Nabi bersabda untuk percaya kepada Allah, Anda harus menanyakan untuk percaya kepada Allah yang mana yang dimaksud?

Nah, itu sebabnya, wahyu-wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah, kata "Allah" tidak digunakan.

Seperti dalam firman-Nya, "Iqra' bismi Rabbikal ladzi khalaq" (Q. S. Al-'Alaq: 1). Dia tidak berkata "Iqra' bismillah".

Sementara pada waktu yang kedua, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan, "Nuun, wal qalami wa maa yasthuruun. Maa anta bi ni'mati Rabbika." (Q.S. Al-Qalam: 1-2).

Ada juga sebagian yang mengatakan Surah Al-Muddatstsir pada ayat ke1-3, "Yaa ayyuhal muddatstsir, qum faandzir wa Rabbaka fa kabbir).

Orang musyrik berkata, "Kenapa Rabbuka?" Shif lanaa Rabbaka?

"Coba kamu jelaskan kepada kita, Tuhanmu itu bagaimana?

"Terbuat dari emaskah atau apa?"

Untuk menjawab keraguan mereka, maka diturunkanlah ayat pada pembukaan Surah Al-Ikhlas di atas, "Qul Huwaa Allahu Ahad."

Nah, maka dari itu, percaya kepada Allah itu adalah mempercayai Allah yang ahad (Esa).

Allah yang kita percayai ini, kita kagumi ciptaan-Nya, juga kita patuhi, tetapi tidak bisa kita ketahui hakikat dari dzat-Nya (tidak bisa dilihat).

Sesuatu tidak bisa dilihat karena bisa jadi dia diliputi oleh kegelapan. Layaknya kondisi lampu atau cahaya yang mati sehingga kita tidak bisa melihat apa pun yang ada di sekitarnya.

Atau, bisa jadi juga karena terlalu terang.

Kelelawar tidak bisa melihat di siang hari karena matanya tidak mampu untuk melihat sesuatu yang terlalu terang.

Kita pasti pernah menatap matahari kemudian setelahnya mata kita jadi berkunang karena dia terlalu terang.

Ada ulama yang berkata bahwa sesuatu yang wujud, meskipun dia terang, baru Anda bisa melihatnya dengan benar jika ada cahaya yang lebih terang darinya.

Misalnya, jika saya berada di suatu ruangan yang remang-remang (minim pencahayaan), saya tetap tidak bisa melihat dengan jelas, padahal dia terang.

Saya baru akan mengetahui dengan lebih jelas terhadap apa saja yang ada di hadapan saya (di dalam ruangan itu) bila terdapat cahaya yang lebih terang dari itu.

Tuhan adalah puncak cahaya.

Kalau begitu, bagaimana bisa kita mengetahui hakikat-Nya? Karena kita percaya.

Lantas, mengapa kita harus percaya?

Kata seorang ulama lagi, "Anda tidak perlu melihat singa jika Anda sudah mendengar suaranya. Begitu juga, Anda tidak perlu melihat sesuatu jika sudah terdapat tanda-tandanya perwujudannya."

Mempercayai bahwa Dia wujud karena alam semesta raya ini ada. Dan, apa yang kita ketahui tentang alam raya sejatinya masih sedikit sekali.

Terlebih, bumi yang kita tinggali saat ini (hanyalah) ibarat sebiji kacang di lapangan bola.

Meski begitu, kita bisa melihat bahwa alam semesta ini sangat teratur.

Kata para ilmuwan, "Alam semesta raya ini sebelumnya merupakan satu gumpalan, lalu terjadi lah ledakan yang dinamakan Big Bang."

Rupanya, pertanyaan itu dibenarkan oleh Al-Qur'an dalam firman-Nya, "Dan, apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi dulu menyatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya." (Q.S. Al-Anbiya': 30).

Maha Suci Allah.

Sebagai penutup, coba Anda bayangkan seandainya bohlam di rumah Anda, di kantor, di ruang-ruang publik, atau di mana pun yang saat ini Anda jumpai dan lihat tiba-tiba pecah, apakah pecahan-pecahannya itu bisa Anda atur dan kelompokan lagi menurut ukuran-ukurannya? Saya harap Anda tidak pernah bisa melakukannya.

Apakah Anda bisa menggerakkan mereka agar bisa menyusun dirinya sendiri?

Atau, apakah Anda sebelum itu bisa mengatur pergerakannya agar tidak terjadi tabrakan sehingga membuatnya pecah?

Apakah Anda dapat mengatur supaya dia bisa teratur?

Sama halnya seperti benda-benda di angkasa yang pergerakannya sangat teratur sehingga tidak menimbulkan benturan antara satu sama lain. Itu artinya ada keteraturan.

Maka dari itu, tidak mungkin keteraturan itu tidak ada yang mengatur di baliknya. Pasti ada yang mengatur. Pasti ada yang menciptakannya.

Karena tidak mungkin ada wujud tetapi tidak ada yang menciptakannya.

"Apakah mereka diciptakan dari sesuatu yang tidak ada? Ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri?" (Q.S. Ath-Thur: 35).

Lantas, ada orang yang bertanya, "Siapa yang menciptakan Tuhan? Bukankah semua ada penciptanya?"

Jika yang bertanya adalah anak-anak, jawabannya adalah coba hitung dari satu sampai ke atas (angka yang lebih tinggi). Angka berapa setelah satu? Dua. Setelah dua? Tiga. Dan, seterusnya sampai ke batas di mana dia mampu atau tidak mampu lagi berhitung.

Akhirnya, kalau dia berhenti berhitung, di saat berhenti itu, di situlah Tuhan.

Kata filsuf, "Tidak ada rantai yang tidak berakhir. Pasti berakhir."

Akal kita tidak bisa membayangkan sesuatu yang terus menerus!

Atau, jika mau contoh yang lain, cobalah balik jawaban di atas. Tanyakan pada si anak 1 juta dikurangi 1. 999.000. Dikurangi lagi 1.

Ketika dia sudah sampai pada hasil dari pengurangan 1, kurangi 1 lagi, maka 0. Kurangi lagi.

Tidak bisa lagi dikurangi?

Jadi poinnya, tidak ada yang nama (istilah) nya perurutan, karena harus berhenti.

Dan, ketika berhenti, di situlah yang kita katakan, "Itulah Allah, itulah Tuhan."

*Tulisan ini merupakan rangkuman dari ceramah M. Quraish Shihab dengan judul asli "Menemukan Keberadaan Allah."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun