Mohon tunggu...
Sandi Novan Wijaya
Sandi Novan Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Calon Diplomat

Sampaikanlah walau satu ayat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Hari Bersama Ibu

17 Juni 2023   05:41 Diperbarui: 18 Juni 2023   18:54 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Sandy Novan Wijaya/Robby Firdaus

Dulu, saat jagung baru tumbuh dari tangkainya, saat segala beban masih ringan. Saat pepohonan masih bersahabat dengan angin dan juga keluguan semesta masih menyaput mata. Itu adalah saat jiwa-jiwa berkejaran dengan penjaganya, bersama bidadari surga berhati mulia. 

Seorang yang rahimnya dikorbankan untuk menanggung beban dan menampung kehidupan yang akan datang di kemudian hari. Lantas, aku akan menuturkan tentang bidadari milikku.

Ini dia ....

Seorang yang desau suaranya menenangkan serak-parau tangisku. Tangannya hangat menelungkup sekujur tubuh mungil telanjangku. Menyibak segala onak-rintang pada jalan-jalan dunia. Memberi pengajaran tentang penghargaan dan penerimaan.

Suatu hari sang bidadari berkata: "kemarilah sayang, Ibu hendak menceritakan kisah seorang Ibu dan anaknya yang durhaka". Suara lembutnya menelusup ke gendang telingaku.

Lalu, kuarahkan seluruh perhatianku dengan penuh ketakziman pada senyum hangatnya.

Mulailah dia berkata, "Nak, kamu tahu tentang legenda seorang anak yang dikutuk Ibunya jadi batu? Itu terjadi dulu, dulu sekali. Saat jiwamu masih di kandung ghuzanah Tuhan dan saat kami belum jadi penjagamu di dunia ini".

Ia melanjutkan ceritanya, "Anak tersebut adalah anak yang baik seperti halnya dirimu, baik sekali. Namun, kekurangan membuatnya resah, melihat kerentaan ibunya dalam kungkungan gubuk derita, itu menyakiti hatinya. Kemudian, dia meminta izin agar bisa berlayar menerjang lautan, melewati batasannya.

"Dengan berat hati yang serasa gompal separuhnya, sang Ibu memberi izin bagi anak tercintanya, mutiara hati pelipur lara hari tuanya. Dan, dengan semringah si anak bertolak pada samudera biru sehabis dirinya dipayungi restu.

"Dia memimpikan hari-hari hebat, mengubah gubuk derita menjadi istana surga baginya dan sang Ibu. Namun, Tuhan selalu tahu mana yang terbaik. Maka, dibiarkanlah sang anak diterjang badai, terdampar, lalu singgah tanpa sengaja di suatu pulau. Dia memulai kehidupan baru di pulau asing itu.

"Lambat laun, restu yang memayunginya memberikan banyak andil. Tentang keberkahan doa Ibu, tentang betapa hebatnya ketulusan hati seorang bidadari surga yang jadi penjaga kita di dunia.

"Singkatnya, sang anak telah jadi saudagar kaya."

Napas Ibu terdengar sedikit mendesah. "Akan tetapi, ...

Ibu menghentikan kalimatnya sejenak dan mulai melanjutkan.

"Akan tetapi, harga mahal harus dibayar olehnya. Dia kehilangan tawadhu-nya, lupa tujuannya, dan menjadi bukan dirinya". Lanjut Ibu dan matanya menjadi agak sayu.

"Pelajaran yang dia enyam dari sang Ibu luluh-lantak tergerus oleh nikmat duniawi. Hingga harta paling berharga yang dulu dia tinggal sebagai tujuan untuk kembali, kini benar-benar dia tinggal dan lupakan.

"Sementara sang Ibu, terus merangkai jutaan doa, bagi sang mutiara hati, mungkin hingga langit tak memiliki ruang lagi untuk menampungnya. Betapa hebat doa dan ketulusannya itu.

"Satu-satunya sumber kebahagiaan miliknya, dia relakan pergi agar mendapati dunia dan bahagianya. Dan, sang anak kemudian namanya menjadi mahsyur sampai menyeberangi samudera.

"Sang ibu menangkap kemahsyuran itu, lantas ia bertanya kepada angin malam, 

'Mengapa mutiaraku tak jua pulang, sebagaimana janjinya dulu, Aku yang renta sudah hampir sampai batasku menanggung rindu. Merindu senyum manisnya, merindu mengusap rambutnya, bahkan merindu mendengar dengkur lelahnya di kala malam.

'Mengapa tak jua pulang, Nak? Aku mampu menanggung semua bentuk derita, aku mampu mengenyam berbagai sulit, tetapi tidak dengan jauh darimu. Kau mutiara paling berhargaku, pulanglah nak, Ibu rindu'.

"Sang Ibu begitu rajin meneror langit dengan segenap doa dan rindunya, hingga tiba suatu ketika, semuanya itu meledak, tak mampu tertahankan lagi.

"Sang Ibu memutuskan mencari mutiaranya di kejauhan. Maka, bertolaklah dia menuju tempat di mana kemahsyuran mutiaranya berasal.

"Di perjalanan, sang Ibu bersenandung akan kerinduan disertai bahagia akan tersegerakannya sebuah pertemuan. Wajah rentanya segar tertimpa cahaya mentari. Mulutnya yang biasanya kelu, kini berceloteh layaknya burung pipit yang bernyanyi.

"Sudah lama wajah cerita itu hilang dan akhirnya dia tampakkan lagi. Setelah halau-rintang samudera terlewat, sang Ibu singgah di tanah yang menyimpan mutiaranya.

"Dengan segala binar bahagia di hatinya, sang Ibu membayangkan wajah mutiaranya, betapa hebat putranya sekarang dan betapa bangga dirinya akan hal itu".

Aku mulai sedikit mendekap kepada Ibuku.

"Namun, harap dan realita terkadang tak kompak, tak sejalan, hingga menghadiahkan sang pemohon menuai kekecewaan.

"Sang Ibu mendapati anaknya yang paling gagah, paling tampan, dan paling baik. Dia tengah berdiri di sebuah balkon yang tampak bagai mimbar keagungan legenda raja-raja yang pernah dia dengar, sembari bergumam, 'Itu mutiaraku ...'

"Maka, layaknya gunung merapi yang tak mampu menanggung lahar yang dikandungnya, sang Ibu berlari berusaha menyibak kerinduan yang tinggal beberapa langkah lagi terentaskan. Digenggamnya tangan sang mutiara hilang itu, lantas dipeluknya penuh haru dan rindu".

"Alih-alih harap disambut hangat, sang Ibu terenyak, karena tubuh renta? lelahnya dihempas menjauh dari mutiara yang dulu dijaganya. Tersuruk pada debu-debu di atas permukaan tanah.

"Akan tetapi, sang Ibu tersenyum. Senyum kerinduan sekaligus bingung mengapa mutiaranya yang begitu dia cintai menjauhkan diri darinya.

"Maka tanpa berpikir tentang apa pun, sang Ibu mendekat berusaha menjangkau mutiaranya, bertanya tentang kabar dan konfirmasi tentang sang mutiaranya".

Ibuku bertutur lembut sembari terlihat bulir bening menggantung di sudut-sudut matanya, sepersekian detik kemudian, ia bertanya padaku, "Kamu tahu Nak apa yang terjadi?"

Aku menggeleng dan terus menunjukkan perhatian pada ibu. Segera Ibu meneruskan kata-katanya, "Sang mutiara hilang itu, menghardik sang Ibu dan mengusirnya ..."

Ibu menyelesaikan kalimatnya bersamaan dengan bulir bening yang meluncur menuruni pipinya, dan aku terenyak mendengar dan melihat pemandangan itu. 

Spontan aku memberanikan diri untuk bertanya, "Mengapa dia melakukan itu pada ibunya, Bu?"

"Dunia Nak, dunia". jawab Bidadariku.

"Dunia benar-benar menghitamkan hatinya yang dulu putih, dunia menjadikannya kejam, padahal dulu dia amat lembut, dan dunia membuatnya membuang harta terbaik yang dia miliki.

"Bak tersambar petir, bak ditikam seribu belati, bak ditenggelamkan air bah, bak diremas hatinya, sang Ibu tak pernah membayangkan tentang ini, tentang penolakan, pengingkaran, dan pengkhianatan.

"Hari itu sang Ibu begitu hancur, sehancur-hancurnya. Remuk, seremuk-remuknya. Layaknya kiamat telah datang secara prematur pada dunianya, dunia yang hampa tanpa mutiara hatinya.

"Dan demi rasa sakit yang tak terkira, kecewa tak terperi, sang Ibu berkata, 'Dahulu aku adalah kerang yang menampungmu, menjagamu, dan membersamaimu. Kini, setelah jutaan cinta, doa, bahkan apapun di dunia ini aku haturkan pada Tuhan agar diberi-Nya kebaikan ke atasmu, engkau melupakan wanita renta ini ...

'Engkau menjanjikan surga, berkata akan menjadikan dunia mudah bagi wanita tua ini, bertabur kebahagiaan di setiap detiknya. Namun, kini kau enyahkan tubuh rentaku, tak kau gubris bagai melihat seonggok najis yang datang mendekatimu ...

'Wahai mutiaraku sayang, aku telah dipenjara rindu bertahun-tahun, dijajah resah sedari hari pertama engkau angkat kaki dari gubuk tua kita, hingga tadi akhirnya aku bisa memelukmu.

'Semua aku tanggung, Nak. Aku tidak meminta apa pun kecuali dirimu, tidak meminta apa pun kecuali masa-masa seperti dulu ketika aku dapat membelai hitam rambutmu, hanya meminta potongan hidup yang meninggalkanku, Nak, agar potongan hidupku itu kembali dan melengkapi aku yang sudah hampir tiba pada batas waktuku'.

"Sang Ibu menangis tersedu-sedan, menahan perihnya kenyataan, bahwa belahan jiwanya, satu-satunya harta paling berharga yang dia miliki akhirnya mengingkari tentang dirinya.

"Betapa hancur, bumi layaknya penjara kepedihan dan langit adalah atap-atap penyiksaan, sedangkan wajah mutiaranya kini buram disaput air mata yang menggenangi mata tuanya".

Kali ini Ibuku kata-katanya sedikit terpancing emosi.

"Sang Ibu menghentak bumi dan menyalak pada langit, dengan segala kesedihan yang begitu dalam, mungkin lebih dalam dari samudera yang paling dalam. Tentang betapa kecewanya dia terhadap mutiara hatinya.

"Bertahun lamanya dia lewati dengan harap akan binar wajah mutiaranya, setelah tirai kerinduan tersibak malah lara yang kini dia dapat.

"Malang nian nasib sang Ibu, Nak ..." Kini nada bicaranya kembali melemah.

"Dia dicampakkan oleh mutiara hati satu-satunya, setelah begitu banyak derita yang dia tanggung semasa hidupnya".

Kelihatannya, emosi Ibuku seolah sedang diaduk-aduk oleh ceritanya sendiri. Ibuku kini tergugu dalam tuturnya, menyampaikan tentang empati dan keprihatinan sosok Ibu dalam ceritanya.

Sepersekian detik kemudian aku bertanya kembali, "Kemudian apa lagi yang terjadi, Bu? Air matamu begitu deras meluncur bagai aliran sungai jeram, apakah kemalangan yang lebih memilukan terjadi?"

"Bukan kemalangan Nak, tapi kekuatan dari ketulusan seorang Ibu". timpal Ibuku.

"Sang anak yang mulai gentar hatinya, mulai sadar akan kesalahannya tanpa disadari meneteskan air mata antara takut, menyesal, atau sedih, tak begitu jelas muasalnya. Dia sedikit bergumam sembari merengek, tetapi tetap dengan gaya angkuh menatap punggung ibunya yang menangis tersuruk membelakanginya".

"Suasana yang cerah berawan, tiba-tiba dirangkul mendung gelap dan derai hujan mulai turun menerpa bumi.

"Sang Ibu dengan segala harap dan rindu yang berubah jadi luka, benar-benar terluka, berteriak mengarahkan acungan jari kepada mutiaranya, dan mengatakan, 'Engkau yang kucinta dengan segenap hati dan hidupku, dengan seluruh ketulusan yang bahkan alam iri atasnya, kini engkau mencampakkanku.

Maka, demi itu semua aku memohon kepada langit batukanlah anak yang hatinya telah membatu ini, tunjukkan padanya Tuhan, bahwa hatiku sakit, begitu sakit hingga tak mampu kubendung dan tahan lagi!'

"Maka dengan kuasa Tuhan, sang anak durhaka yang sudah sedari tadi menangis dan menatap ngeri, memohon ampun pada Ibundanya. Namun, itu semua terlambat, benar-benar terlambat.

"Doa hati yang tulus dipenuhi kasih lagi kebaikan ditambah menjadi korban aniaya dan kedurhakaan, tak mungkin bisa ditolak langit.

"Jadilah sang anak batu yang tersungkur dalam sujud penyesalan, tak mampu meminta hati Ibundanya kembali dan jadi simbol kekuatan hati dan ketulusan seorang yang bernama Ibu".

Aku menyeka air mataku sendiri, yang juga jatuh karena entah terharu atau ngeri mendengar sedu-sedan cerita Ibu yang penuh penghayatan seolah Ibu sendiri yang jadi tokoh dalam ceritanya.

Tak lama kemudian Ibu kembali bertutur, "Anakku sayang, maafkanlah Ibu yang mungkin sering menyakiti hatimu, membuatmu marah yang tanpa Ibu sadar dengan kemarahan itu.

"Sang Ibu di kisah tadi, bahkan tak pernah membentak mutiara hilangnya seumur hidup yang dimilikinya. Maka, semoga engkau senantiasa menjadi anak yang hatinya putih tak menghitam karena dunia, menjadi mutiara yang tetap indah meski hilang ditelan rantau dunia.

"Ibu hanya akan terus menyayangimu semampunya, meminta kebaikan untukmu pada Tuhan setulusnya, Nak.

"Tetaplah jadi anak Ibu walau derita menderamu, walau limpah dunia memelukmu, Ibu akan selalu membersamaimu dalam doa dan ikhtiar yang Ibu mampu".

Aku menjadi terisak dan mengangguk penuh penghargaan sekaligus rasa haru dengan menatap lembut wajah Ibuku.

Kini, di pelataran sajadah aku bersimpuh menangis, mengingat akan Ibuku yang semasa kecilku dulu menjadi mutiara dan bidadariku.

Ia telah mengajarkan banyak hal, sampai menjadikan aku pribadi yang kata orang begitu hangat dan ringan tangan. Itu semua aku dapat dari Ibu, Ibu terbaik yang pernah menjadi cahaya masa kecilku dan kini wasiat serta nasihatnya jadi pelita langkahku pada altar dunia yang kerap kali menipu.

Ibu, salamku padamu yang kini di surga menatapku, semoga aku tak pernah mengecewakanmu. Sebagaimana daun yang gugur terhempas angin. Waktu yang maju tanpa bisa diputar kembali.

Dan, kasihmu yang tercurah bak mata air yang mengalir tanpa pernah terhenti. Tanpa penyesalan akan sebuah harapan, semoga aku menjadi wujud harapan yang dulu semasa hidupmu senantiasa kau semogakan.

Bu, sudilah memberiku maaf atas setiap kata yang seharusnya tak terlontar. Perihal kehilangan yang tak pernah lagi kutemukan, terima kasih dan selamat jalan, Ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun