"Maka tanpa berpikir tentang apa pun, sang Ibu mendekat berusaha menjangkau mutiaranya, bertanya tentang kabar dan konfirmasi tentang sang mutiaranya".
Ibuku bertutur lembut sembari terlihat bulir bening menggantung di sudut-sudut matanya, sepersekian detik kemudian, ia bertanya padaku, "Kamu tahu Nak apa yang terjadi?"
Aku menggeleng dan terus menunjukkan perhatian pada ibu. Segera Ibu meneruskan kata-katanya, "Sang mutiara hilang itu, menghardik sang Ibu dan mengusirnya ..."
Ibu menyelesaikan kalimatnya bersamaan dengan bulir bening yang meluncur menuruni pipinya, dan aku terenyak mendengar dan melihat pemandangan itu.Â
Spontan aku memberanikan diri untuk bertanya, "Mengapa dia melakukan itu pada ibunya, Bu?"
"Dunia Nak, dunia". jawab Bidadariku.
"Dunia benar-benar menghitamkan hatinya yang dulu putih, dunia menjadikannya kejam, padahal dulu dia amat lembut, dan dunia membuatnya membuang harta terbaik yang dia miliki.
"Bak tersambar petir, bak ditikam seribu belati, bak ditenggelamkan air bah, bak diremas hatinya, sang Ibu tak pernah membayangkan tentang ini, tentang penolakan, pengingkaran, dan pengkhianatan.
"Hari itu sang Ibu begitu hancur, sehancur-hancurnya. Remuk, seremuk-remuknya. Layaknya kiamat telah datang secara prematur pada dunianya, dunia yang hampa tanpa mutiara hatinya.
"Dan demi rasa sakit yang tak terkira, kecewa tak terperi, sang Ibu berkata, 'Dahulu aku adalah kerang yang menampungmu, menjagamu, dan membersamaimu. Kini, setelah jutaan cinta, doa, bahkan apapun di dunia ini aku haturkan pada Tuhan agar diberi-Nya kebaikan ke atasmu, engkau melupakan wanita renta ini ...
'Engkau menjanjikan surga, berkata akan menjadikan dunia mudah bagi wanita tua ini, bertabur kebahagiaan di setiap detiknya. Namun, kini kau enyahkan tubuh rentaku, tak kau gubris bagai melihat seonggok najis yang datang mendekatimu ...