"Sang Ibu begitu rajin meneror langit dengan segenap doa dan rindunya, hingga tiba suatu ketika, semuanya itu meledak, tak mampu tertahankan lagi.
"Sang Ibu memutuskan mencari mutiaranya di kejauhan. Maka, bertolaklah dia menuju tempat di mana kemahsyuran mutiaranya berasal.
"Di perjalanan, sang Ibu bersenandung akan kerinduan disertai bahagia akan tersegerakannya sebuah pertemuan. Wajah rentanya segar tertimpa cahaya mentari. Mulutnya yang biasanya kelu, kini berceloteh layaknya burung pipit yang bernyanyi.
"Sudah lama wajah cerita itu hilang dan akhirnya dia tampakkan lagi. Setelah halau-rintang samudera terlewat, sang Ibu singgah di tanah yang menyimpan mutiaranya.
"Dengan segala binar bahagia di hatinya, sang Ibu membayangkan wajah mutiaranya, betapa hebat putranya sekarang dan betapa bangga dirinya akan hal itu".
Aku mulai sedikit mendekap kepada Ibuku.
"Namun, harap dan realita terkadang tak kompak, tak sejalan, hingga menghadiahkan sang pemohon menuai kekecewaan.
"Sang Ibu mendapati anaknya yang paling gagah, paling tampan, dan paling baik. Dia tengah berdiri di sebuah balkon yang tampak bagai mimbar keagungan legenda raja-raja yang pernah dia dengar, sembari bergumam, 'Itu mutiaraku ...'
"Maka, layaknya gunung merapi yang tak mampu menanggung lahar yang dikandungnya, sang Ibu berlari berusaha menyibak kerinduan yang tinggal beberapa langkah lagi terentaskan. Digenggamnya tangan sang mutiara hilang itu, lantas dipeluknya penuh haru dan rindu".
"Alih-alih harap disambut hangat, sang Ibu terenyak, karena tubuh renta? lelahnya dihempas menjauh dari mutiara yang dulu dijaganya. Tersuruk pada debu-debu di atas permukaan tanah.
"Akan tetapi, sang Ibu tersenyum. Senyum kerinduan sekaligus bingung mengapa mutiaranya yang begitu dia cintai menjauhkan diri darinya.