Mohon tunggu...
Sandro Tambe
Sandro Tambe Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penjelajah

Anak muda yang suka menulis tentang sejarah, hukum, sosial, dan psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pentingnya Payment for Environmental Service (PES) Bagi Kelangsungan Hidup Komodo

22 Mei 2023   14:46 Diperbarui: 22 Mei 2023   14:53 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Komodo, Reptil Endemik Indonesia yang Terancam Punah

Liburan akhir tahun selalu menjadi momen yang ditunggu banyak orang. Apalagi bagi mereka yang ingin melepaskan kesibukan pekerjaan atau sekadar healing dengan mencari suasana baru.  

Berekreasi bersama keluarga, sahabat atau kerabat adalah pilihan terbaik untuk mengisi waktu luang di akhir tahun sebelum kembali pada rutinitas harian. Kegiatan rekreasi di penghujung tahun ini pun cukup bervariasi, ada yang memilih menghabiskannya dengan keluarga di rumah, berbelanja ke luar negeri, atau berkunjung ke alam sekitar. 

Berbicara mengenai wisata alam, beberapa tahun terakhir kunjungan ke destinasi wisata satu ini terus menunjukkan tren meningkat. Berdasarkan hasil Survei Wisata Favorit Saat Libur Akhir Tahun (2022) yang dilakukan Populix terhadap 1.010 responden, ditemukan bahwa  67% responden berencana melakukan wisata alam saat liburan akhir tahun. Pemandangan indah yang disajikan menjadi salah satu katalisator adanya peningkatan minat masyarakat untuk menghabiskan waktu liburannya di alam. 

Berdasarkan survei yang dilakukan agen perjalanan Pegipegi yang bekerja sama dengan lembaga survei internasional YouGov kepada lebih dari 2.000 responden di seluruh Indonesia ditemukan bahwa 78 persen responden memilih traveling ke destinasi yang menyajikan pemandangan yang indah. Pada kategori ini, Raja Ampat, Gunung Bromo, Dieng, Nusa Penida dan Labuan Bajo merupakan lima destinasi dengan pemandangan yang paling diminati oleh responden. 

Tingginya animo masyarakat untuk menghabiskan waktu liburannya di alam adalah hal positif karena menjadi cara baru mengapresiasi keindahan alam Indonesia. 

Memang, tak dapat dimungkiri Indonesia kaya akan berbagai keindahan alam. Dengan cakupan wilayahnya yang luas Indonesia kaya akan berbagai sumber daya alam lautan dan daratan. 

Satu di antara kekayaan endemik yang dimiliki Indonesia adalah Komodo. Reptil besar khas Indonesia ini bernama latin Varanus komodoensis yang banyak ditemukan di Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Gili Motang, dan sebagian kecil di utara serta barat Flores. Gugusan pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. 

Dengan adanya status taman nasional, habitat komodo yang semakin terancam akan dilestarikan sekaligus dimanfaatkan untuk tujuan penelitian dan rekreasi. Habitatnya yang hanya bisa ditemukan di Pulau Komodo, Manggarai Barat, NTT ini mampu menarik wisatawan untuk datang berkunjung langsung. 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan TNK sepanjang 2021 mencapai 2021 mencapai 64,66 ribu kunjungan. Meski sempat mengalami penurunan akibat pandemi, pertumbuhan wisatawan ini sudah meningkat 25,27% dibanding awal pandemi tahun 2020 yang totalnya hanya 51,62 ribu kunjungan. 

Perkembangan potensi wisata pun terus naik setiap tahunnya apalagi setelah Labuan Bajo dijadikan Kawasan Destinasi Wisata Super Prioritas oleh Presiden Joko Widodo. 

Tentunya, peningkatan kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara membawa angin segar bagi perekonomian masyarakat sekitar yang sebagian besar telah beralih profesi ke bidang pariwisata. 

Dampak ekonomi juga berimbas pada pendapatan asli daerah (PAD) Nusa Tenggara Timur dan devisa negara yang turut mendapatkan keuntungan dari pengelolaan kawasan Taman Nasional Komodo. 

Namun, pertumbuhan angka wisatawan ini juga menjadi tugas penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk mulai memikirkan langkah berkelanjutan dalam menjaga kelangsungan habitat asli komodo. Pasalnya, fakta di lapangan seringkali menunjukkan wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Komodo berperilaku kurang bertanggung jawab dengan membuang sampah plastik sembarangan. Padahal, Komodo merupakan salah satu hewan endemik Indonesia yang tergolong sebagai spesies hampir punah. Di tahun 2021 jumlah komodo yang masih hidup hanya sekitar 3.303 ekor. 

Teori dan Landasan Yuridis 

Senin, 6 September 2021 lalu, Kompas.com memberitakan sebuah laporan terbaru dari organisasi konservasi keanekaragaman hayati internasional yang mengatakan bahwa kehidupan komodo berada di ujung kepunahan global. Pada penilaian komodo, Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), mengubah kategori populasi komodo dari yang dikategorikan "rentan" menjadi "terancam punah". 

Dalam laporannya, IUCN menggarisbawahi perubahan iklim berupa peningkatan suhu global dan kenaikan permukaan laut sebagai faktor utama terancamnya habitat komodo dalam 45 tahun ke depan. Hasil penelitian IUCN ini tentunya menjadi keprihatinan bersama. Populasi komodo yang semakin terancam memantik empati semua pihak untuk memikirkan solusi tepat dalam menjaga kelangsungan hidup reptil raksasa ini. Sebab, kelangsungan ekosistem alam juga ditujukan untuk kepentingan manusia yang saling terhubung dalam kosmos ekologi dengan alam sekitarnya. 

Berdasarkan teori kepentingan, hak alam lahir karena adanya kepentingan manusia akan lingkungan yang baik dan sehat. Di Indonesia hak tersebut dijamin konstitusi dasar dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Setiap orang berhak sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan". Dengan demikian hak atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak asasi manusia yang menurut konstitusi wajib dilindungi oleh negara. 

Hukum juga mewajibkan kepada setiap orang untuk memelihara kelestarian lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup guna mewujudkan lingkungan yang baik dan sehat. Melalui, kewajiban tersebut dipupuk rasa tanggung jawab bahwa merusak lingkungan adalah perbuatan melanggar hak lingkungan yang sekaligus akan merugikan kepentingan manusia. 

Sebuah langkah kecil yang dapat mulai dilakukan adalah mengubah cara pandang dalam mengelola alam dari paradigma antroposentrisme menjadi ekosentrisme. Paradigma antroposentrisme merupakan paradigma etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta. Dalam paradigma ini manusia ditempatkan sebagai pusat tatanan ekosistem baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, paradigma ini membangun pandangan bahwa pemanfaatan, pengelolaan, hingga pelestarian alam ditujukan untuk kebaikan dan keberlangsungan hidup manusia.

Sementara itu, jikalau paradigma antroposentrisme melihat manusia sebagai pusat alam semesta, paradigma ekosentrisme sebaliknya yaitu mensejajarkan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Paradigma ekosentrisme menempatkan seluruh subjek yang ada di alam semesta (biotis maupun abiotis) memiliki nilai karena keduanya akan terikat satu sama lain dalam sebuah ekosistem. Paradigma ini mendefinisikan lingkungan hidup dalam skala yang lebih luas yang memusatkan etika pada seluruh anggota komunitas ekologis baik makhluk hidup maupun makhluk tidak hidup. Oleh karena semua berada pada kedudukan yang sama, maka setiap anggota komunitas memiliki tanggung jawab  yang sama dalam mengelola alam lingkungan sekitarnya. 

Pandangan ekosentris mengantarkan manusia pada cara berpikir baru yang selalu mempertimbangkan dampak lingkungan dalam rencana pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, pengelolaan Taman Nasional Komodo, seharusnya tidak memberatkan timbangan di satu sisi saja yaitu memperoleh keuntungan ekonomi. Untuk menjaga kelangsungan habitat hewan endemik Indonesia ini, pemerintah harus memberikan porsi yang sama antara kelangsungan lingkungan hidup dan profit ekonomi.

Payment For Environmental Service Bagi Kelangsungan Hidup Komodo

Dalam rangka menjamin keberlangsungan hak alam dan lingkungan tersebut, dibutuhkan suatu instrumen ekonomi lingkungan. Pada dasarnya instrumen ekonomi merupakan suatu sistem di mana pemerintah memberi rangsangan atau insentif untuk mengurangi aktivitas dan perilaku yang merusak lingkungan hidup. 

Salah satu instrumen ekonomi lingkungan yang dapat digunakan adalah Payment For Environmental Service (PES). PES atau kompensasi jasa ekosistem merupakan pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan/atau non finansial kepada pengelola lahan atau jasa ekosistem yang dihasilkan. Payment For Environmental Service dijalankan dengan dasar mekanisme pasar dengan menuntut hak berupa suatu "hubungan timbal balik" dari manfaat yang digunakan manusia dari alam. Mekanisme seperti ini juga membantu menangani berbagai persoalan sumber daya alam lingkungan hidup. 

Sebagai sebuah instrumen, PES memiliki kekuatan di antaranya berdasarkan pada evaluasi layanan, sehingga harus ada upaya valuasi yang tepat untuk jasa-jasa lingkungan, memperhitungkan property-right untuk jasa-jasa lingkungan, dan mendorong kesadaran masyarakat atas pentingnya penilaian jasa lingkungan. Penerapan PES juga sejalan dengan Pasal 3 Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2017 Tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup menyebutkan instrumen Ekonomi untuk melindungi keberadaan sumber daya alam, termasuk habitat komodo tersebut: a) perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b) Pendanaan Lingkungan Hidup; dan c) Insentif dan/atau Disinsentif.  Dengan demikian, PES hadir sebagai tameng yang mampu memberikan perlindungan terhadap kegiatan ekonomi yang dilakukan dengan mengelola atau memanfaatkan alam. 

Selama ini kawasan Taman Nasional Komodo yang sering dimanfaatkan untuk tujuan rekreasi oleh wisatawan tidak memperhatikan aspek keberlanjutan. Salah satu indikatornya dapat ditemukan dari data Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Manggarai Barat yang mencatat jumlah sampah plastik selama tahun 2019 yang berhasil dikumpulkan mulai dari perairan Labuan Bajo hingga kawasan Taman nasional Komodo (TNK) bisa mencapai 10 ton per hari. Tentunya, kapasitas sampah yang tidak sedikit ini dapat melahirkan potensi bahaya karena mengancam kelangsungan hidup komodo dan ekosistem laut yang ada di sekitar kawasan Taman Nasional Komodo. 

Untuk mencegah kerusakan lingkungan dan memberikan efek jera bagi wisatawan, mekanisme PES dapat menjadi jawaban. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, PES akan bekerja dengan memberikan besaran iuran tertentu yang didasarkan pada pertimbangan biaya konservasi dan kemanfaatan lingkungan kepada wisatawan yang berkunjung. Adapun PES untuk kawasan konservasi dan rehabilitasi juga sudah mulai dilakukan di kawasan ekosistem terumbu karang Taman Nasional Perairan Raja Ampat, di mana setiap wisatawan yang datang berkunjung dikenakan biaya tambahan yang dikumpulkan melalui operator wisata. Langkah serupa sekiranya sempat direncanakan pemerintah dengan menaikkan tarif masuk 3,75 juta di kawasan Pulau Komodo dan Pulau Padar. Kenaikan tarif tiket ini merupakan hasil kajian Daya Tampung Daya Dukung Taman Nasional Komodo yang juga merekomendasikan adanya pembatasan jumlah pengunjung hanya sekitar 200 ribu orang per tahun. 

Adapun rencana ini ditolak masyarakat dan pelaku usaha di Labuan Bajo karena merasa dirugikan dengan keputusan yang belum memiliki kekuatan hukum tersebut sehingga berpotensi disalahgunakan. Sementara itu, Daya Tampung Daya Dukung Berbasis Jasa Ekosistem di TNK mengkaji bahwa biaya konservasi di sana butuh dana hingga lebih dari 5 juta per tahun.  Biaya konservasi itu digunakan untuk pemulihan habitat komodo meliputi penanaman pohon yang biasanya digunakan untuk melindungi bayi-bayi dari serangan komodo dewasa. Selain itu, dengan adanya PES biaya pengelolaan dan perawatan yang selama ini masih mengandalkan APBN dapat dialihkan dengan iuran yang diberikan kepada pengunjung yang datang berkunjung. 

Dalam konsep ekonomi sumber daya alam, setiap orang yang memperoleh manfaat dari keberadaan sumber daya alam, maka mereka harus membayar kompensasi kepada pemilik sumber daya. Adanya, pengaturan ini tentunya memperhitungkan biaya ekologi yang muncul dari setiap aktivitas wisatawan. Biaya tersebut juga merupakan kompensasi bagi pengunjung karena adanya jasa ekosistem yang berkurang setiap adanya kedatangan wisatawan. 

Catatan Akhir

Lewat instrumen Payment For Environmental Service, dapat diwujudkan konsep pembangunan berkelanjutan di sekitar kawasan Taman Nasional Komodo. Selain untuk kepentingan kelestarian habitat asli komodo, ini juga merupakan perwujudan dari pembangunan berkelanjutan yang menitikberatkan paradigma pembangunan berjangka panjang dengan mempertimbangkan efek pembangunan bagi kemanfaatan generasi sekarang dan di masa depan. Melalui, instrumen lingkungan Payment For Environmental Service, paradigma antroposentrisme ditransformasi ke paradigma baru tentang cara manusia mengelola alam ciptaan yaitu ekosentris. 

Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, mekanisme PES sangat bergantung pada ekosistem pengelolaan yang sehat. Dalam hal ini birokrasi memegang kunci penting dalam pembenahan manajemen pengelolaan dan masyarakat menjadi pengawas yang juga membenah diri dengan banyak belajar untuk lebih bertanggung jawab terhadap alam sekitarnya. 

Dengan demikian, kelangsungan konservasi habitat komodo akan memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan, serta secara bersamaan meniadakan degradasi atau deplesi sumber daya alam. Pembangunan berkelanjutan sangatlah penting karena dapat memangkas porsi dominan ekonomi dan menggantikannya pada tingkatan yang sama dengan pembangunan sosial dan lingkungan. Sebab, layaknya manusia alam juga mempunyai hak.

*Daftar pustaka dapat diakses di https://docs.google.com/document/d/1E4uM7H_H3Ke_kBssW6VABBE2LAKkTV2_lM-A8WYA_1c/edit?usp=sharing

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun