Mohon tunggu...
Sandro Tambe
Sandro Tambe Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penjelajah

Anak muda yang suka menulis tentang sejarah, hukum, sosial, dan psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pentingnya Payment for Environmental Service (PES) Bagi Kelangsungan Hidup Komodo

22 Mei 2023   14:46 Diperbarui: 22 Mei 2023   14:53 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tentunya, peningkatan kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara membawa angin segar bagi perekonomian masyarakat sekitar yang sebagian besar telah beralih profesi ke bidang pariwisata. 

Dampak ekonomi juga berimbas pada pendapatan asli daerah (PAD) Nusa Tenggara Timur dan devisa negara yang turut mendapatkan keuntungan dari pengelolaan kawasan Taman Nasional Komodo. 

Namun, pertumbuhan angka wisatawan ini juga menjadi tugas penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk mulai memikirkan langkah berkelanjutan dalam menjaga kelangsungan habitat asli komodo. Pasalnya, fakta di lapangan seringkali menunjukkan wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Komodo berperilaku kurang bertanggung jawab dengan membuang sampah plastik sembarangan. Padahal, Komodo merupakan salah satu hewan endemik Indonesia yang tergolong sebagai spesies hampir punah. Di tahun 2021 jumlah komodo yang masih hidup hanya sekitar 3.303 ekor. 

Teori dan Landasan Yuridis 

Senin, 6 September 2021 lalu, Kompas.com memberitakan sebuah laporan terbaru dari organisasi konservasi keanekaragaman hayati internasional yang mengatakan bahwa kehidupan komodo berada di ujung kepunahan global. Pada penilaian komodo, Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), mengubah kategori populasi komodo dari yang dikategorikan "rentan" menjadi "terancam punah". 

Dalam laporannya, IUCN menggarisbawahi perubahan iklim berupa peningkatan suhu global dan kenaikan permukaan laut sebagai faktor utama terancamnya habitat komodo dalam 45 tahun ke depan. Hasil penelitian IUCN ini tentunya menjadi keprihatinan bersama. Populasi komodo yang semakin terancam memantik empati semua pihak untuk memikirkan solusi tepat dalam menjaga kelangsungan hidup reptil raksasa ini. Sebab, kelangsungan ekosistem alam juga ditujukan untuk kepentingan manusia yang saling terhubung dalam kosmos ekologi dengan alam sekitarnya. 

Berdasarkan teori kepentingan, hak alam lahir karena adanya kepentingan manusia akan lingkungan yang baik dan sehat. Di Indonesia hak tersebut dijamin konstitusi dasar dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Setiap orang berhak sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan". Dengan demikian hak atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak asasi manusia yang menurut konstitusi wajib dilindungi oleh negara. 

Hukum juga mewajibkan kepada setiap orang untuk memelihara kelestarian lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup guna mewujudkan lingkungan yang baik dan sehat. Melalui, kewajiban tersebut dipupuk rasa tanggung jawab bahwa merusak lingkungan adalah perbuatan melanggar hak lingkungan yang sekaligus akan merugikan kepentingan manusia. 

Sebuah langkah kecil yang dapat mulai dilakukan adalah mengubah cara pandang dalam mengelola alam dari paradigma antroposentrisme menjadi ekosentrisme. Paradigma antroposentrisme merupakan paradigma etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta. Dalam paradigma ini manusia ditempatkan sebagai pusat tatanan ekosistem baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, paradigma ini membangun pandangan bahwa pemanfaatan, pengelolaan, hingga pelestarian alam ditujukan untuk kebaikan dan keberlangsungan hidup manusia.

Sementara itu, jikalau paradigma antroposentrisme melihat manusia sebagai pusat alam semesta, paradigma ekosentrisme sebaliknya yaitu mensejajarkan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Paradigma ekosentrisme menempatkan seluruh subjek yang ada di alam semesta (biotis maupun abiotis) memiliki nilai karena keduanya akan terikat satu sama lain dalam sebuah ekosistem. Paradigma ini mendefinisikan lingkungan hidup dalam skala yang lebih luas yang memusatkan etika pada seluruh anggota komunitas ekologis baik makhluk hidup maupun makhluk tidak hidup. Oleh karena semua berada pada kedudukan yang sama, maka setiap anggota komunitas memiliki tanggung jawab  yang sama dalam mengelola alam lingkungan sekitarnya. 

Pandangan ekosentris mengantarkan manusia pada cara berpikir baru yang selalu mempertimbangkan dampak lingkungan dalam rencana pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, pengelolaan Taman Nasional Komodo, seharusnya tidak memberatkan timbangan di satu sisi saja yaitu memperoleh keuntungan ekonomi. Untuk menjaga kelangsungan habitat hewan endemik Indonesia ini, pemerintah harus memberikan porsi yang sama antara kelangsungan lingkungan hidup dan profit ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun