Mohon tunggu...
Oksand
Oksand Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Storytelling dan Editor

Penulis Storytelling - Fiksi - Nonfiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjumpaan di Bis Jatinangor-Dipatiukur

7 Februari 2017   05:26 Diperbarui: 7 Februari 2017   05:34 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jatinangor, 2002

Rasanya, waktu berjalan begitu lambatnya. Masih pukul empat sore. Baru setengah jam mata kuliah metode statistik dimulai, masih ada sekitar lima puluh menit lagi. Kaki Rino sudah berulangkali bergoyang, mengetuk-ngetuk. Pena tak kalah memainkan beat-nya. Beat kebosanan. Kadang beat kencang, kadang lebih kencang lagi. Hadehhh, orang kimia ngapain kuliah statistik, sih??? Apalah gunanya dalam kehidupan nyata? Batin Rino. Nampaknya dalam batinnya sudah berkumpul keluh kesah karena segera ingin pulang.

Entah apakah teman yang lain merasakan hal yang sama. Bagi mereka yang akan pulang ke Bandung, kuliah sore di Jatinangor adalah suatu hal yang membuat jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Pasalnya, bis Damri Jatinangor-Dipatiukur biasanya hanya sampai pukul lima sore. Setelah itu, habis. Pulang terlalu sore risikonya harus ke Bandung naik bis antarkota yang dari Garut, Tasikmalaya, menuju Cicaheum. Bagi Rino yang tinggal di Dago, turun di Cicaheum berarti harus dua kali lagi naik angkot. Ujung-ujungnya bagi mahasiswa yang selalu cari cara irit, ngeteng adalah keborosan. No way!

“Dang, maneh ka Bandung moal?” tanya Rino berbisik pada Endang.

“Teuing euy geus sore kieu. Nginep di himpunan sigana.” Endang memang kuncennya himpunan. Ruang himpunan sudah seperti kamar kosan baginya. Fasilitasnya cukup lengkap. Dua sekat ruangan, televisi dan komputer di ruangan terpisah, kamar mandi di dalam, lantai beralaskan karpet. Cukup untuk tidur.

“Duh urang balik jeung saha yeuh. Yog, maneh ka Bandung teu?” giliran Yoga yang duduk di samping kanan Rino ditanya.

“Hoream ah No, sore teuing. Ngabaturan si Endang sigana, rek me-es, hehehe.” Mereka berdua ini sedang gemar-gemarnya main Winning Eleven di tempat penyewaan play station, daerah paspud alias pas pudunan. Dinamai begitu karena letaknya pas di turunan jalan. Rental-rental PS banyak menjamur di Jatinangor karena awal 2000an memang sedang hits. Yang membuat ramai tempat rental tidak hanya anak kecil, mahasiswa pun turut andil. Hiburan di kala suntuk.

“Euh aing mah, olangan ateuh urang balikna.” 

“Nebeng we nebeng, tuh jeung si Mira. Mayan pan, haratis! Bisi we nyantol hiji mah. Hehehe.” Endang menawarkan opsi. Opsi mobil dan pacar.

“Jemuran sugan nyantol, Ndang. Ah aya-aya wae maneh mah. Mobil Mira mah biasana pinuh ku gengna. ” Rino kurang berminat bergabung ke mobil Mira, karena memang biasanya sudah penuh. Kalau kosong lain soal.

Pukul empat lebih empat puluh lima menit. Lima menit lagi! Mata kuliah 2 SKS berarti berdurasi delapan puluh menit, idealnya. Tapi jika dosen memasang extra time pada arlojinya, maka kuliah pun mendapat bonus perpanjangan waktu, yang artinya bagi mahasiswa yang merasa jenuh dengan statistik adalah perpanjangan penderitaan.

Rino sedang berpikir, jalan mana yang akan ditempuh. Jalan lurus atau berkelok? Naik angkot ke gerbang lama, jalan kaki ke tanjakan cinta, atau lewat danau? Banyak jalan menuju pangdam, pangkalan damri. Naik angkot berarti keluar ongkos tambahan, plus berburu tempat duduk. Tapi kalau sudah balap antri dengan mahasiswi, apa boleh buat, mengalah sudah. Kalau mengalah berarti perpanjangan waktu lagi untuk menunggu angkot. Yang artinya, semakin lama menuju pangdam. Boro-boro memikirkan statistik, Rino malah berpikir jalur pulang tercepat.

Kalau jalan kaki lewat tanjakan cinta, walaupun dari kampus kimia jalannya menurun, bisa lebih cepat. Tapi dari gerbang lama ke pangdam, lumayan juga jaraknya. Ah, lewat danau saja berarti. Keputusan telah ditetapkan. Baiklah!

“Pak, tingkat kemungkinan 95% itu maksudnya bagaimana ya? Kenapa tidak 99%.” Ampuuuun itu si Pai pake nanya pas injury time! Semua warga kelas menatap tajam padanya, kenapa gak nanya dari tadi sih??? Rino yang sudah tipis tingkat konsentrasinya sejak mulai mata kuliah ini, sekarang makin tipis lagi, cenderung hilang. Jawaban dari dosen statistik ini sudah tidak ada yang melekat satu pun. Rino yang duduk paling belakang hanya mendengar suaranya samar, seperti “wraaa…wra…wra…” layaknya suara Mr. Bean. Kalau ada songtrack, sepertinya yang cocok untuk Rino adalah Aku Ingin Pulang, karya Ebiet G. Ade.

Kuliah yang aslinya delapan puluh menit sekarang sudah menjadi seratus menit. Jarum panjang jam dinding depan kelas sudah mengarah ke angka sepuluh. Keringat dingin mulai mengalir perlahan di dahi Rino. Jalan kaki sepuluh menit, jam lima lebih dua puluh sampai pangdam… masih ada bis gak ya? Batin Rino terus bergumam.

“Baik, kita akhiri mata kuliah hari ini, selamat week end ya…” kalimat penutup itu yang ditunggu-tunggu sedari tadi. This is it! Ayo bergegas!

“Kamana No rusuh kitu? Geus nginep weh hayu urang me-es!” Endang mencoba memengaruhi, tapi Rino tetap teguh pendiriannya untuk pulang ke Bandung.

“Teu bisa euy, ngudag ka Bandung, isuk ngabina urang.” Rino menjawab sambil beres-beres buku dan pena. Zip! Tas sudah diresleting, tali bahu dikaitkan pada bahu kanannya. Sudah menjadi gaya Rino membawa tas ransel hanya dengan bahu kanan.

“Ngabina naon?” Yoga ikut nimbrung.

Pramuka, hehehe. Peuting ieu rek meeting heula, meeting.” Jawab Rino sambil nyengir.

“Wayah kieu pramuka keneh, hahaha. The real scout lah maneh, edas!” Ogi yang duduk di depannya menimpali perbincangan yang agak rusuh itu.

“Geus ah urang cabut heula nya, assalamualaikum” Rino bergegas menuruni anak tangga kampus kimia dari lantai dua.

Rino yang biasa berjalan kaki agak cepat, sekarang lebih cepat dari biasanya, cenderung berlari-lari kecil. 

“Sori-sori rusuh euy, hehe, ti heula nya!” Rino menyapa cepat rekannya yang lain di tangga menuju lapang parkir kimia.

“Kamana No? Moal meng bal heula yeuh? Sasepak dua sepak lah.” Agus memprovokasi untuk main bola di lapang parkir kimia.
Rino terdiam. Hening. “Hayang euy.”

“Geus hayuu, ganjil lawan genap, buru!” Belum selesai Rino menimbang tawaran main bola, datang Mira.

“Nooo, mau bareng ke Bandung gak?” Mira menawarinya naik Kijang pribadinya. “Eh, tapi kita berdelapan ya Mei?” menoleh pada Mei dengan kalimat tanya.

“Udah penuh kali Mir. Bisa sih No, di atap yak.” Jawab Mei santai sambil terkekeh.

“Eh sori No, penuh ding hehe.”

“Gak apa-apa Mir, naik bis aja, mudah-mudahan masih ada.” Rino berharap masih ada bangku kosong sebenarnya.

“Emang masih ada ya No? Udah sore kali.”

“Mm… mungkin. Namanya juga H2C, Mir. Harap-harap cemas. Lu sih delapan orang. Bikin geng fashion jangan banyak-banyak coba. Hehe.”

“Ah elu No, geng fashion apaan sih.”

“Udah ah, cabut dulu ya.”

“Cabut? Kapan nanemnya?”

“Besok.” Mira cekikikan. “Gak kelar-kelar nih ngobrolnya, Mir. Nanti supir gua nanyain.”

“Gaya lu No, pake supri ya sekarang.”

“Supri?”

“Iya supri. Supir pribadi. Hehehe.” Mira ngajakin bercanda. Waktu terus berjalan.

“Guuss… urang ti heula ah, ngke deui we meng balna.”

“Heu euh, sok…sok.” Agus jawab berteriak sambil ngos-ngosan. Untuk tubuh yang gemuk, pergerakannya cukup lincah. Gak bisa lari sih, tapi operan bolanya lumayan akurat.

“Nooo, jadi bareng gaaa…” Mira iseng.

“Miiirrrr… heu.”

“Hehehe, hati-hati, No. Nanti diculik.”

“Gak apa-apalah kalo hatiku yang diculik mah, Mir.”

“Iya, diculik supri. Hahaha.”

“Daahh Miraaa…” Rino menanggapi sambil melengos pergi.

***

Pukul lima lebih lima belas menit. Rino masih setengah perjalanan. Sudah tidak terlihat lagi jalan raya. Jalan yang dilaluinya adalah arboretrum tempat praktiknya mahasiswa pertanian. Hijau di sana sini. Biasanya mereka melakukan uji tanam di sini. Dipagari bambu, dilabeli, sebagai tanda sedang penelitian. Agak curam, Rino memperlambat langkahnya. Sebagian paving block sudah terlepas, tinggal tanah. Jika hujan menjadi licin, jika kemarau berdebu. Sore itu cuaca mendukung Rino untuk melewati jalan setapak tersebut, matahari sudah hendak masuk ke garis horizontal.

Hati-hati sekali Rino melompat kecil. Sekarang dia berjalan tepi got saluran air. Di sebelah kanannya sawah milik warga kampung. Sebelah kirinya tebing. Jalan mepet kiri terlalu sempit, sehingga akhirnya harus jalan di beton saluran sisi kanan. Kepeleset sedikit, jatuhlah dia. Kalau jatuh ke kiri, masuk saluran air. Airnya agak bening, cukup bersih. Kalaupun terpeleset, airnya aman, tidak ada yang mengambang. Saluran air sebenarnya tidak lebar, hanya lima puluh sentimeter, tapi tingginya lumayan, satu meter. Lebar beton saluran air untuk ditapaki juga tidak lebar, empat puluh sentimeter saja. Kalau jatuh ke kanan, berarti sukses nyemplung ke sawah. Opsinya tak ada yang enak. Tapi yang paling malu sih, jatuh ke sawah. Gak seberapa sakitnya, tapi malunya yang banyak. Berjalan di sana seperti di atas titian balok keseimbangan. Plus, Rino sedang bergegas.

Cukup panjang jalur itu, sekitar tiga ratus meter. Sebenarnya pendek, jika lurus dan lebar. Tapi jalur ini sempit dan berkelok sehingga terasa lebih panjang. Sesekali Rino menyapa ibu-ibu yang sedang menggerakkan orang-orangan sawah.

“Punten, Bu…”

“Mangga, Sep…” Di tatar Sunda, semua anak laki disapa Ujang atau Asep. Tidak heran nama ini menjamur cukup banyak di Jawa Barat. Sampai-sampai, ada perkumpulan nama Asep. Mungkin nanti bakal ada Hari Asep Nasional. Bisa jadi.

Rino akhirnya keluar dari jalur sawah, memasuki jalur danau. Danau buatan yang biasanya dipakai warga untuk iseng mancing ikan. Atau sekedar berperahu dari drum kosong. Jika sudah menginjak jalan setapak paving block sisi danau, artinya pangdam sudah dekat. Rino mempercepat langkahnya kembali. Dia potong jalur ambil sisi miring pitagoras, manaiki jalan setapak pepohonan yang baru ditanam. Lebih cepat sampai, walau lebih ngos-ngosan, karena jalurnya menanjak.

Pukul lima lebih dua puluh tiga menit. Rino harap-harap cemas apakah masih ada bis menuju Dipatiukur. Biasanya bis terakhir pukul setengah enam. 

Dia berharap keberuntungan di pihaknya.

Gerbang belakang sudah terlihat, Rino melangkah lebih cepat. Sekarang sedikit berlari. 

“Tos liwat Pak bisna?” Rino bertanya pada pihak keamanan yang sedang berdiri di posnya.

“Lisna? Saha eta? Teu wawuh”

“Bis, Pak. Bisna tos dongkap?”

“Ooo bisna mah teu acan, sakedap deui mestina mah.”

“Alhamdulillah, nuhun, Pak.” 

“Salam ka si Lisna.”

“Lisna saha, Pak?”

“Duka atuh teu wawuh.” Perbincangan yang cukup lieur dengan penjaga pos keamanan.

Rino melewati gerbang tersebut, dan tampaklah bejibun massa di sana. Satu tujuan: Bandung. Huh, alamat berjibaku ini sih, batin Rino.

Melihat massa penunggu bis favorit sejuta umat Jatinangor-Dipatiukur, Rino berpikir lagi. Kalau nunggu di sini pasti riweuh, heurin, ngulibek. Dia pilih berjalan kaki agak jauh lagi, supaya bisa naik bis sebelum menuju pangdam. Strategi pasaran, karena beberapa orang juga mempraktikkan itu. Tapi saingan tidak seberat yang di pangdam karena mereka malas untuk berjalan lebih jauh lagi. Yang paling parah, ada yang niat berjalan sampai kampus STPDN (sekarang IPDN), demi mendapatkan posisi duduk dalam bis. Belum ditemukan yang berniat jalan kaki sampai Bandung. Kalau ada, coba kasih tahu Rino. Nanti biar dapat tanda kecakapan khusus dari Pramuka. Hehe.

Sekitar sepuluh orang menunggu di tempat yang sama dengan Rino. Berancang-ancang. Berharap cemas. Semoga masih ada bis terakhir.

Lalu tampaklah dari kejauhan bis Damri tua yang reot. Asap hitamnya ngebul kemana-mana. Bis tua yang terbatuk-batuk. Kosong melompong. Isinya hanya supir dan kondektur yang sedang bergelayut di pintu depan. Kok bisa kosong banget ya. Rino mulai curiga.

“Teu narik, Teh, rek balik ieu mah.” Kondektur menjawab isyarat dari calon penumpang perempuan di ujung sana yang berharap bis itu akan ke Bandung.

“Aya tuh di tukang sakedap deui, tungguan we. Bis ieu mah rek ngopi syantik heula.” Pak Supir menimpali jawaban sang kondektur. Mahasiswi yang tadi nanya cekikikan.

Di pangdam sudah nampak kekacauan massa. Para calon penumpang ada yang berlari, berjalan cepat, menghampiri bis yang sedang memutar. Kondektur dari jauh sudah memberi isyarat tangan “gak narik”. Tapi kerumunan massa tidak peduli. Begitu bis berhenti, kerumunan massa penggemar bis Damri langsung merangsek ke dalam bis. Pilih-pilih kursi dengan bahagianya karena kosong. Kondektur lalu menatap supir. Supir pun menatap kondektur. Mereka saling bertatapan, berkode mata. Kondektur mengangkat alis menjawab kode. Dijawab supir dengan santai, “Keun we antep. Sinah dariuk heula nu tenang. Hehe.”

Kerumunan massa ada yang kakinya masih di tanah, setengah badannya sudah di pintu bis, tangannya sudah menyentuh kursi depan, matanya sudah memandang jatah kursi. Ternyata perebutan kursi tidak hanya di DPR, tapi di dalam bis Damri juga sama serunya.

Ada juga di pintu belakang yang seluruh badan dan jiwanya sudah melewati pintu bis, tapi dia seperti ada yang nahan dari belakang. 

“Eehhh, jangan ditarik dooonggg…” Mahasiswi ini berteriak kesal.

“Mbak, itu tasnya nyangkut.” Ujar orang di belakangnya.

Semua orang di belakangnya tertawa bahagia, dapat hiburan gratis. Si mahasiswi tadi memerah mukanya. Menahan malu.

“Nah baiklah akang teteh sekalian, bapak ibu yang terhormat. Perkenalkan saya Jupri sebagai awak supir di bis Damri ini. Dan perkenalkan ini Asep, kenek saya. Silakan semuanya duduk manis, yang tertib ya. Boleh menunggu di sini, tidak apa, kami persilakan. Karena kami berdua mau ngopi-ngopi syantikk dulu. Bis ini gak narik. Mau pulang ke pool. Demikian sambutan singkat ini. Wassalamualaikum.” Pak supir bernama Jupri itu langsung turun bis diikuti Asep sang kondektur sambil tertawa renyah.

Semua yang sudah masuk dalam bis kompak mengeluarkan nada minor, “Euuuu… lain tatadi!”

Jupri masih tertawa puas di warung kopi. Asep menyomot gehu dan cengek bersamaan.

***

Memang benar kata kondektur bernama Asep tadi, tak perlu lama menunggu sudah muncul di belakangnya bis Damri yang ditunggu-tunggu. Mirip lagu Koes Plus. 

Bis masih melaju menuju arah Rino. Beberapa ratus meter lagi. Tidak terlalu banyak penumpang karena memang kalau sore hari sudah jarang orang dari Bandung menuju Jatinangor. Di pintu depan kondektur mengacung-acungkan tangan kirinya ala demonstran di Gedung Sate, berteriak, 

“Bandung… Bandung… terakhir… terakhir!”

Lajunya melambat lalu menepi. Rino dan sepuluh orang naik dengan senyum kemenangan. Alhamdulillah bisa duduk. Helaan nafas terdengar sedikit berbarengan. Tidak percuma jalan sedikit lebih jauh demi mendapatkan bangku kosong. Perjalanan waktu menuju Bandung cukup lumayan soalnya, sekitar satu setengah jam. Bisa kurang, tergantung mood supir.

Akhirnya bis belok kiri masuk pangdam. Sudah tampak para calon penumpang bergegas, bergerak maju mendekati bis. Ada yang menyebrang menunggu bis di pengkolan berharap bisa menghentikan bis dan masuk lebih awal. Sayang, bis setelah belok kiri tidak berhenti, tapi langsung melaju untuk manufer berputar dekat gerbang kampus. Orang-orang yang menunggu di pengkolan terpaksa menyebrang lagi, berlari menghampiri bis sedekat mungkin. Gondok.

Antrian panjang dan padat. Supir belum menentukan titik berhenti. Sebenarnya sudah jelas bis harus berhenti di titik kumpul karena memang di situ tempatnya, tapi entah mengapa orang-orang mengantri cukup panjang dan padat. Secara matematis, sudah jelas orang-orang yang berada di titik terjauh dari tempat kumpul bis tidak akan dapat tempat. Namanya juga berharap keberuntungan bis melambat, jadi mereka dapat berlari kecil sambil melompat naik lewat pintu belakang. Pak supir lalu memperlambat laju bisnya, walau masih di dekat gerbang pos keamanan. Melambat, tapi belum cukup lambat bagi penumpang untuk melompat naik. Karena mereka masih berlari terseok-seok. Mau pegang gagang pintu saja susah, apalagi lompat. 

Rem, gas. Rem, gas. Pak Supir sengaja menggoda penumpang yang sedang berlari. Jahilnya kumat. Bis tetap berhenti di tempat pemberhentian bis. 

“Di payun, Kang… Teh… di payun nya.” Supir menjawab sambil terkekeh isyarat calon penumpang yang tengah berlari agar mereka menunggu di tempat henti bis saja.

Desis rem khas bis Damri terdengar jelas. Penumpang dari Bandung segera berdiri dan menuju pintu depan dan belakang jika tidak ingin terjebak gelombang penumpang yang terburu-buru untuk naik.

“Kalem… kalem… turun heula, ayo nu turun heula.” Supir mengingatkan calon penumpang yang sudah tidak sabar untuk naik. Pintu yang hanya cukup untuk satu orang terpaksa berbagi untuk orang-orang yang naik dan turun. “Nu lungsur heula… nu lungsur heula,” kondektur bantu supir mengingatkan penumpang yang sedang naik. Tapi para calon penumpang yang menuju Bandung ini nampak setengah hati mendengar himbauan supir dan kondektur, atau mungkin memang tidak mendengar. Karena mereka masih berjejalan di pintu depan dan belakang.

“Aduuhh… sabar dong, Mas!” seorang lelaki terjepit badannya saat sedang turun. Setengah badannya sudah melayang di luar pintu, kakinya masih nyangkut di tangga turun bis.

“Sakedap, Sep… bade lungsur heula nya…” seorang ibu berusaha menembus kerumunan penumpang yang naik. Giliran ibu-ibu tua, semua beri jalan. Mahasiswi cantik juga hendak turun. Dia turun sambil senyum simpul. Semua kompak buka jalan. Lebih semangat membuka jalan daripada waktu ibu-ibu tua tadi yang turun. Maklum, yang sedang mau naik bis mahasiswa semua di bawah. Mereka pilih-pilih audiens.

Pintu belakang cukup hectic. Dan ini seperti sudah kebiasaan rutin penumpang bis. Tidak sabaran. Tidak berlaku antrian. Yang penting kumpul, desak, dapat. Padahal di situ isinya rata-rata mahasiswa.

Gelombang penumpang turun sudah habis. Giliran yang naik sekarang. Satu orang sedang naik, dan dua kaki orang di belakangnya sudah berada di anak tangga bis. Sisi kanan dan kiri. Tangan sambil berpegang pada gagang pintu bersiap naik begitu orang di depannya sudah di atas. Begitu seterusnya. Siapa cepat dia dapat. Lelaki, perempuan, peluang sama.

Di pintu depan tidak kalah seru. Dua mahasiswi naik berbarengan. Akhirnya kepala mereka beradu. Jadi tontonan orang di belakangnya, sambil menertawakan. Setelah dua mahasiswi tadi berhasil naik, dua mahasiswa pun segera ancang-ancang. Yang satu tangannya sudah di gagang pintu. Tapi yang satu seluruh badannya sudah naik, hanya satu kaki yang masih di tanah. Orang yang tangannya masih di gagang pintu segera mendorong naik. Akhirnya bokong ketemu muka.

“Aasemmmm…” orang yang tangannya masih di gagang pintu tadi tidak terima mukanya bertemu bokong mahasiswa di depannya.

Orang-orang di belakangnya segera belajar dari pengalaman dua mahasiswi dan mahasiswa tadi. Akhirnya mereka naik bergantian.

Sesampainya mereka yang berhasil naik, saatnya pilih-pilih kursi. Ada yang langsung duduk dimanapun bangku kosong berada. Ada yang menerima umpan tas dari jendela untuk booking-kan posisi untuk temannya. Ada yang masih sibuk melihat kursi dari depan ke belakang. Bingung duduk dimana. Kebanyakan bingung, akhirnya direbut orang. Dia harus puas duduk bertiga di posisi paling luar dekat lorong bis. Penumpang lainnya juga kecele begitu berhasil naik bis, melihat bangku ingin segera duduk, tapi di bangku tersebut sudah ada tas-tas tanda ada orang. Kecele juga.

Rino nampak menikmati pemandangan itu, karena dia sudah duduk dengan nyamannya di sisi kiri bis, formasi dua bangku, dekat jendela. Sengaja dia pilih di situ karena kalau di sisi kanan harus bersempit-sempitan dengan dua orang lainnya. Belum lagi di tengah bis kadang juga disediakan bangku panjang untuk mengakomodasi penumpang yang tidak kebagian duduk. Rino pilih duduk tiga bangku dari depan.

Cukup padat bis menuju Bandung itu. Semua bangku sudah terisi. Lorong tengah bis juga terisi dengan orang-orang yang berdiri. Di lorong depan ada dua bangku panjang yang dijajarkan, lumayan untuk menampung enam orang supaya dapat duduk. Bisa sih delapan orang, tapi setengah pantat saja, setengah lagi melayang di udara.

“Bandung… Bandung… terakhir… terakhir!” Aneh, kondektur masih saja menawarkan tempat, padahal di dalam sumpeknya bukan main. Jendela samping dibuka oleh rata-rata penumpang, angin segar pun masuk. Asap knalpot juga masuk. Bau badan sore hari, bau rokok di bangku belakang, turut menambah kancah aroma. Selamat datang di bis Damri!

“Ya permisi bapak supir dan kondektur, numpang jualan heula. Persib melakukan persiapan khusus melawan Persija! Halaman utama. Seorang mahasiswa berhasil membuat penemuan mobil hemat bahan bakar! Halaman tiga. Cerita-cerita tentang artis! Halaman belakang. Lima ribuan bapak ibu. Lima ribuan! Berhubung sudah sore saya korting jadi empat ribuan. Empat ribuan!” Suaranya nyaring menggelegar lorong bis. Cocok jadi orator.
Belum selesai berjualan, dari belakang terdengar suara petikan ukulele. Masih distem. Penjual koran tadi masih berusaha menembus padatnya lorong bis. Beragam bau badan sudah terakumulasi dengan sempurna di situ. Sayangnya aroma parfum mahasiswi kalah tajam dengan bau keringat penjual koran tadi. Alhasil, tiga menit penjajakan koran yang sukses. Sukses mengubah aroma ruangan lorong bis.

“Ya permisi pak supir, pak kondektur. Ijinkan kami, pengamen jalanan, menjual suara beberapa lagu.” Entah dimana posisi pengamen cilik tersebut, karena dia hilang di tengah lorong. Lorong yang penuh dengan penumpang berdiri. Yang terdengar hanya suara yang belum beger bersenandung nada minor yang kurang pas dengan kunci ukulelenya, “…daripada mencopet, lebih baik mengamen saja…”

Rino duduk memerhatikan keadaan di luar bis. Masih tampak beberapa orang dengan tatapan nanar memandang bis yang bergerak maju. Mereka pilih pulang dengan bis antarkota, atau angkot. Daripada berjejalan di bis terakhir ini. 

Duduk di sebelah Rino seorang mahasiswa. Di sebelahnya lagi juga mahasiswa, berdiri berpegangan pada rel yang menempel ke atap bis. Kalau ada mahasiswi, mungkin sudah diumpan lambung bangkunya Rino. Tapi dia bersyukur tidak ada mahasiswi. Hehe. Tidak ada percakapan basa basi antara Rino dan orang di sebelahnya. 

Macam-macam kegiatan untuk mengisi waktu dalam bis. Di sebelah Rino sedang baca buku teks. Suara kertas terdengar dibolak-balik. Sepertinya dia sedang menghubungkan rumus di halaman depan dan belakang. Pusing. Sore hari di ujung Jumat, masih sempat buka buku teks yang tebal. Rino sudah cukup pusing dengan mata kuliah statistik, yang dia tidak tahu isi mata kuliah tadi apa, selain sibuk berpikir cari jalan tercepat ke pangdam.

Di depannya seorang bapak sedang tidur. Kepalanya terantuk-antuk ke penumpang sebelah kanannya. Yang sebelah kanannya sibuk menghindar, akhirnya bahunya jadi korban sandaran kepala si bapak. Setelah jadi sandaran, dia coba condongkan badannya ke depan, dengan harapan kepala si bapak akan lepas. Maksudnya lepas dari bahu sandaran. Makin lama makin berat. Si bapak tidur pulas. Nyenyak. Kemana bahu pergi, di situ kepala si bapak mengikuti. Lain cerita kalau kepala mahasiswi yang bersandar. Tak usah kabur, malah menawari diri. Haha.

Di belakang Rino terdengar dua suara lantang berbicara politik. Kalau tidak lantang, kalah dengan deru bis Damri yang meraung cukup ganas. Sedangkan dua bangku di depan Rino, dua mahasiswi sibuk ketawa-ketiwi. Senda gurau begitu bahagia, entah apa yang dibahasnya.

***

Bis baru sampai di Cibiru, bergerak pelan menepi. Ada dua muda mudi berdiri di sana, berharap bisa naik dan duduk. Tapi mereka kurang beruntung, situasi bis sampai Cibiru masih padat berjejalan. Masih untung mereka diangkut supir. Hari sudah masuk maghrib.

Si wanita nampak terus memerhatikan si lelaki, yang entah sadar atau tidak sedang diperhatikan. Si lelaki sedang sibuk mencari sesuatu. Dirogohnya saku celana belakangnya. Dia menggelengkan kepala. Mulutnya tidak mengeluarkan suara, tapi andaikan iya mungkin akan terdengar "ck.. ck".
Lalu tangan kirinya merogoh saku kiri bagian depan. Kembali menggelengkan kepala. Saku kanannya juga bernasib sama, dirogoh, dan dia mulai nampak cemas. 

Si wanita sesekali menatap lurus, sesekali tatapannya melintasi mata Rino, selewat saja. Lalu kembali memandangi si lelaki. Si wanita mengulum senyumnya memerhatikan si lelaki. 

Dari penampilan keduanya, sepertinya masih kuliah. Si lelaki nampak sekali masih kuliahnya. Entah mereka berpacaran atau masih pendekatan. Posisi mereka berdiri kurang begitu dekat. Saat awal masuk bis, map si wanita dibawakan oleh si lelaki lalu diberikan kembali padanya. 

Sekarang si lelaki membuka resleting tasnya. Dia mengubek-ubek isinya. Mata si wanita bolak-balik memandangi muka dan isi tas si lelaki. Tetap mengulum senyum. Mungkin dia geli melihat kelakuan si lelaki. 

Akhirnya si lelaki mendapatkan yang dia cari. Bukan dompet. Bentuknya seperti tas kamera saku. Mukanya masih cemberut dan cemas. 

Dibukanya tas kecil itu, kembali dia mencari-cari. Dia pun mengeluarkan benda yang dia cari sedari tadi. Uang! Keluarlah selembar sepuluh ribuan. Tapi mukanya belum juga menghilangkan ekspresi cemas. Apa lagi? Uang itu ia serahkan kepada si wanita. Senyuman mengalir dari kedua sudut bibir si wanita, seakan berkata "akhirnya...." Ekspresi si lelaki hanya berubah sedikit saja, menjadi lebih tidak cemberut. 

Datanglah kondektur bis menagih ongkos. Si wanita memberikan uang itu. Lalu kondektur menyerahkan kembaliannya. Uang itu hanya sebentar saja ada di tangan si wanita, karena langsung diserahkan kepada si lelaki. Kondektur melihat hal tersebut, terjadilah dialog yang tidak terdengar oleh Rino karena tertutup deru mesin. Tapi dari adegan ketiganya Rino bisa mengira-ngira mungkin kondektur bilang, "Eh, dua?" Si wanita mengiyakan. Lalu uang kembalian dioper balik pada kondektur, yang menjadikan muka si lelaki kembali pada default nya, bahkan lebih cemas dari keadaan awal. 

Uang sepuluh ribu kini menjadi lebih sedikit jumlahnya setelah dibayarkan ongkos. Adegan berikutnya ternyata masih membuat si lelaki menampakkan wajah default, karena si wanita mendapat tempat duduk di depan Rino. Sepertinya si lelaki masih harus berdiri agak lama.

Bis terus melaju menembus pekatnya malam di Cicaheum. Beberapa penumpang mulai agak banyak turun. “Caheum abis… Caheum abisss…” Entah kenapa, kondektur selalu mengucapkan kalimat yang sama berulang. Mungkin menekankan kalimat sebelumnya. Dan tak lama, si lelaki muka default akhirnya dapat tempat duduk berseberangan dengan si wanita. Itulah saat Rino melihat ekspresi mukanya tersenyum. Aturan default-nya sudah berubah ke mode senyum. Akhirnya, senyum kemenangan.

Rino tampak sedikit tertidur dalam perjalanan Cicaheum menuju Pusat Dakwah Islam (Pusdai). Tanpa sadar kini makhluk di sebelahnya sudah berubah bentuk, dari mahasiswa menjadi mahasiswi. Rambutnya lurus sebahu, hidungnya mancung sedikit, dagunya lancip. Kulitnya kuning, bukan putih. Matanya agak bulat, dengan alis cukup tebal berbentuk. Rino curi-curi pandang. Wah, cewek cantik nih, batin Rino. Ngobrol apa ya, cari topik, lekas!

Rino berpikir sambil melihat ke jendela luar, cari ide. Rino bukanlah tipe pria ibarat supir tembak langsung. Dia harus mencari topik yang memang benar-benar bukan basa-basi. Topiknya harus dimengerti dua pihak. Sekarang bagaimana mau dimengerti dua pihak, orang belum kenal. Rino melihat toko kue, apa bahas kue? Kuliner? Toko kue sudah lewat. Sekarang lewat toko material. Mau bahas pipa? Batu bata? Duh lieur, Rino masih berdiskusi dengan dirinya sendiri.

Sesekali ada baiknya dia harus belajar ngegombal ke temannya semacam Helmi, yang kalau ada cewek cantik lewat tinggal disahut doang, “Ce…wek… mau kemana…? Mau ditemenin nggak? Uhuyyy” Rino tidak bisa seperti itu. Nyalinya belum setinggi Helmi.
Akhirnya Rino dapat ide, langsung lempar serangan. “Ke Dipatiukur, Teh?” Serangan pertama.

“Iya.” Tipis sekali jawaban cewek di sebelah Rino yang sekarang lagi memainkan hp nya. Tidak ada serangan balik. Rino berpikir lagi sejenak, lalu melancarkan serangan kedua.

“Kuliah statistik juga?”

“Eh?” Cewek itu kaget ditanya pertanyaan spesifik.

“Iya, kalo saya tadi kuliah statistik. Jam setengah empat baru mulai. Beresnya jadi sore, udah gitu pas injury time temen malah nanya, pulang jadi tambah sore deh.” Rino mulai speak-speak.

“Oo, enggak sih. Emang biasa pulang jam segini.” Lagi-lagi tipis, belum ada senyuman. Skor 2-0, belum berbalas.

“Saya kira kuliah statistik juga. Rese tuh emang dosennya, eh, mata kuliahnya.” Serangan ketiga. Rino nampak putus asa, skor 3-0. Cewek sebelahnya tidak menggubris. Asik main handphone.

Mereka berdua terdiam. Rino memandang keluar jendela yang gelap. Hanya terlihat warung-warung pinggiran dan kios kecil. Cewek sebelahnya masih asik dengan handphone-nya.

Tiga serangan sudah cukup, pikir Rino. Tidak ada serangan balik, kurang seru nih. Kehabisan bahan basa-basi.

“Yaahh…” tiba-tiba saja cewek sebelah Rino berteriak. Rino melirik sedikit, lalu cuek dengan pandangannya keluar jendela. Keun ah, geus 3-0, hoream. Rino membatin. Pundung.

“Mmm… Mas, boleh pinjem hapenya gak ya untuk nelpon… urgent nih. Hape saya abis batre…” Akhirnya cewek itu menyahut duluan. Skor berubah, 3-1.

“Ngg… boleh sih Teh, mudah-mudahan pulsanya cukup ya.” Rino nyengir pulsanya mepet.

“Gak lama kok, Mas, sebentar aja.”

“Saya pencetin aja nomernya ya, soalnya saya set bahasa Spanyol hapenya, takut bingung nanti tetehnya. Teteh siapa namanya ya?”

“Waduh gaya bener pake bahasa Spanyol segala. Panggil aja saya Pris. Makasih ya hapenya.” 

“Saya Rino.” Entah apa Pris mendengar Rino memperkenalkan dirinya. Tapi suasana mulai cair, skor 4-2! Bis mulai belok ke arah SMA PGII.

“Ay, aku udah mau sampe DU, nih. Jemput di halte aja ya. Paling lima menit lagi sampe. Dah ya, pinjem hape orang nih, hape ku mati. Dah yaa…” Klik. Sambungan singkat dari Pris ke orang yang diteleponnya.

“Dijemput pacarnya ya teh Pris.” Rino kembali membuka pembicaraan.

“Iya dijemput nih, Mas. Makasih ya hape nya.” Pris melempar senyum ringan, dan beranjak dari bangkunya, pindah ke depan dekat pintu. Meyisakan wangi parfum di bangku kosong sebelah Rino.

Rino reflek mengecek sisa pulsanya. Masih bisa sepuluh kali SMS, amanlah. Dia masih membuka slot Nokia pisangnya, lalu melakukan miss call cepat tiga kali. Tak lama, hapenya berbunyi, satu kali dering lalu senyap. Oh, berarti kumpul jadi nih, gumam Rino sambil tersenyum. Dia mempunyai kode miss call dengan kelompoknya. Tujuannya sederhana, hemat pulsa. Dan karena pertanyaannya sudah jelas, “kumpul di tempat biasa?” dilakukan miss call tiga kali. Jika jawabannya ya, maka miss call satu kali. Dua kali jika tidak.

Rino pun berdiri menuju pintu bis. “Pak, di payun nya.” Rino minta berhenti di gerbang Unpad. “Mangga, Sep…” Supir menepi sesuai permintaan Rino.

“Duluan ya Teh, belum maghrib nih, mumpung masih keburu.” Rino pamit ke Pris, yang masih menunggu bis berputar untuk menuju halte Dipatikur.

“Yaa DU…DU… abissss… DU… DU… abissss…!”

Kondektur menutup perjalanan Jatinangor-Dipatiukur hari ini dengan gaya kalimat pengulangan khasnya.

***

Rino keluar dari gerbang Unpad, baru beres sholat maghrib yang mepet waktunya. Dia berjalan menuju trotoar tempat menunggu angkot Riung-Dago. Ada pandangan yang agak aneh.

“Lho, teh Pris? Kirain udah pulang tadi dijemput pacarnya.”

“Bukan pacar kok,” jawab Pris sambil senyum, “tadi itu teman, namanya Ayu, jadi dipanggil Ay, gitu.”

“Lha gak jadi bareng dia?”

“Dianya lagi buru-buru teryata, nyokapnya sakit. Jadi mau ke dokter dulu.”

“Oo gitu. Mau naik angkot apa?”

“Lagi tunggu Riung-Dago, nih. Banyak yang penuh dari tadi.” Pandangan Pris mencari-cari angkot Riung-Dago.

“Wah sama dong kita, nunggu Riung-Dago. Jam segini lagi penuh-penuhnya kali, ya.”

“Biasanya sih ada aja yang kosong.” Obrolan mendadak sepi. Pris menunggu datangnya angkot, menatap jauh. Rino berharap angkotnya tidak datang. 

Namun dari kejauhan tampak sorot lampu angkot Riung-Dago. Yahh, ada angkot, batin Rino.

“Nah tuh ada angkotnya.” Rino memecah keheningan. Angkot pun berhenti setelah telunjuk kiri Rino menari-nari.

“Hiji deui, Kang.” Sahut supir angkot.

“Wah, satu lagi. Kamu aja deh duluan, saya gampang.” Senyum Rino dikirim dengan sukses ke Pris.

“Gak apa-apa nih?”

“Udaah, gampang saya sih.”

“Oke deh, duluan yaa. Makasih, No.” Anggukan Pris dan senyumannya memisahkan pertemuan mereka berdua.

Pris naik angkot putih-hijau itu. Duduk di dekat pintu karena sudah penuh. Penumpang di dalamnya melihat Pris dan Rino menduga-duga, mungkin teman, mungkin pedekate, mungkin pacarnya. Padahal boro-boro pacar, skor aja belum imbang 4-4.

Rino lalu menunggu cukup lama. Angkot yang ditunggu tidak kunjung datang. Ada yang datang, penuh. Benar juga kata Pris. Yang tadi rejeki dia berarti. Akhirnya Rino pilih jalan kaki ke arah SMANSA karena di sana angkot Kelapa-Dago lebih banyak lewat. Tak apalah jalan lagi jauhan dikit, yang penting angkot tersedia banyak. Peluang berdesakan pun berkurang. Bedanya, yang ini jalannya lurus dan lebar. Tidak akan kebasahan karena jatuh ke got atau sawah. Paling kecipratan genangan air di aspal.

Rino pun berjalan menuju SMANSA. Sambil berjalan dia senyum-senyum sendiri. Entah apa yang sedang dirasakannya. Senyum karena akan bertemu kelompok sohib Pramukanya. Atau senyum karena perkenalannya dengan Pris. Hanya dia yang tahu. Mungkin nanti Rino bakal bercerita. Tapi yang Rino ingat pasti, Pris ingat namanya! Itu sudah cukup untuk membuat sisa malam Rino penuh kebahagiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun