“Wah sama dong kita, nunggu Riung-Dago. Jam segini lagi penuh-penuhnya kali, ya.”
“Biasanya sih ada aja yang kosong.” Obrolan mendadak sepi. Pris menunggu datangnya angkot, menatap jauh. Rino berharap angkotnya tidak datang.
Namun dari kejauhan tampak sorot lampu angkot Riung-Dago. Yahh, ada angkot, batin Rino.
“Nah tuh ada angkotnya.” Rino memecah keheningan. Angkot pun berhenti setelah telunjuk kiri Rino menari-nari.
“Hiji deui, Kang.” Sahut supir angkot.
“Wah, satu lagi. Kamu aja deh duluan, saya gampang.” Senyum Rino dikirim dengan sukses ke Pris.
“Gak apa-apa nih?”
“Udaah, gampang saya sih.”
“Oke deh, duluan yaa. Makasih, No.” Anggukan Pris dan senyumannya memisahkan pertemuan mereka berdua.
Pris naik angkot putih-hijau itu. Duduk di dekat pintu karena sudah penuh. Penumpang di dalamnya melihat Pris dan Rino menduga-duga, mungkin teman, mungkin pedekate, mungkin pacarnya. Padahal boro-boro pacar, skor aja belum imbang 4-4.
Rino lalu menunggu cukup lama. Angkot yang ditunggu tidak kunjung datang. Ada yang datang, penuh. Benar juga kata Pris. Yang tadi rejeki dia berarti. Akhirnya Rino pilih jalan kaki ke arah SMANSA karena di sana angkot Kelapa-Dago lebih banyak lewat. Tak apalah jalan lagi jauhan dikit, yang penting angkot tersedia banyak. Peluang berdesakan pun berkurang. Bedanya, yang ini jalannya lurus dan lebar. Tidak akan kebasahan karena jatuh ke got atau sawah. Paling kecipratan genangan air di aspal.