Mohon tunggu...
Oksand
Oksand Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Storytelling dan Editor

Penulis Storytelling - Fiksi - Nonfiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Curahan Hati Seseorang yang Lahir di Tahun 80-an

25 Desember 2016   22:22 Diperbarui: 27 Desember 2016   09:26 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku, seorang yang lahir di awal 80an. Kita flash back sebentar, ya.

Masih ingatkah kau, Kawan? Saat itu Nintendo belum lahir, anak-anak yang orangtuanya punya kelebihan duit, bermain Atari di rumahnya. Sebuah permainan yang kasetnya harus dimasukkan ke kulkas. Entah untuk apa, sepupuku yang melakukannya.

Masih ingatkah kau, Kawan? Setelah itu datanglah Nintendo, dengan ikon yang melegendanya: Mario Bros! Tidak hanya Mario dan rekannya Luigi yang meramaikan Nintendo, masih ada Contra – game perang yang saya belum berhasil untuk mendapatkan 30 nyawa dengan cara menekan “atas-atas-bawah-bawah-kanan-kiri-A-B-select-start” sebelum permainan dimulai! Saat permainan mulai, nyawaku masih saja tiga. Ngenes. 

Ada juga permainan Soccer, yang orang-orangnya bergerak seperti Unyil, dengan grafis yang sudah hebat pada masanya. Dan aku masih heran, sejak kapan di permainan bola ada cheerleader saat jeda istirahat? Inovasi yang lebih “wah” lagi, ada permainan Duck, dengan alat pistol tambahan pengganti stick. Setiap bebek yang muncul arahkan pistol ke layar TV lalu tembak! Main game itu serasa jadi koboi.

Setelah itu, muncullah Sega, yang ingin menemani Nintendo dalam dunia “gadget” masa lampau. Mortal Kombat rata-rata dimainkan setiap anak. Dan tak lupa ikon Sonic the Hedgehog, yang sampai muncul pula kartun animasinya di layar kaca. 

Di dunia komputer, aku juga asyik main Digger yang dioperasikan dengan PC berkecepatan RAM 8. Ada tombol turbonya lho di CPU, naik speed jadi 16. Jangan coba memainkan Digger dengan kecepatan 16, dijamin kalah cepat dari musuhnya. Dan kamu tahu, pencapaianku main Digger sudah sampai level-5, dengan skor di atas 20.000!

Bosan bermain dalam rumah, di luar sudah menunggu anak-anak lainnya saling berinteraksi dengan petak umpet, galah asin, boy-boyan, injit-injit semut, bola beklen, congklak, dan seabreg mainan fisik lainnya. Tidak ada permainan individu, minimal dilakukan berdua.

Capek dengan permainan fisik, ada lagi permainan kartu remi. Tapi saat itu aku belum tertarik. Masih lebih menarik main kartu kwartet, yang dimainkan harus berempat. Lalu kita tebak apakah teman kita punya kartu sejenis yang kita pegang? Kangen main kwartet.

Beranjak tahun 90an, masa yang lebih menyenangkan lagi. Pada masa ini hidup begitu bervariasinya. Musik 90an punya warna yang berbeda dengan 80an. Di Indonesia ada Gigi, Project-P, Kla Project, Stinky, Naif, Sheila on 7, masih banyak lagi. Aku masih saja ingat ketika Denny Chandra Project-P menyanyikan lagu “Cantik tapi Bau”. Hahaha.

Komputer mulai dikenalkan dengan Win95, mulai meninggalkan versi 311. Saat itu di komputer, aku pun asyik bermain FIFA 94, jamannya Romario-Bebeto lagi top-topnya. Ronaldo masih duduk di bangku cadangan Brazil kala itu. Kakakku yang saat itu baru menjadi mahasiswa, sudah melek komputer lebih dulu. Dia mengenalkan fitur pencarian di internet, menggunakan jasa Yahoo dan Altavista. Berkomunikasi via email begitu canggihnya saat itu, di saat dunia sahabat pena mulai ditinggalkan.

Masih ingatkah kau, Kawan? Tahun 90an dunia telekomunikasi juga sedang banyak perkembangan. Telepon koin, lalu telepon dengan kartu telepon magnetiknya, sampai dikoleksi karena pilihan latar kartunya berbeda-beda. Setiap beres telepon dengan kartu tersebut, kita cek lubangnya sudah di posisi mana, berapa lagi sisa pulsa kita. 

Setelah masa itu, muncul lagi inovasi telepoin (ini aku lupa-lupa ingat namanya), yang jika kita hendak melakukan panggilan telepon harus menuju daerah yang ada tanda telepoinnya. Ribet sih, tapi saat itu lumayan lah, sebelum masanya telepon genggam booming.

Sekitar tahun ’96, ayahku punya telepon genggam yang menjadi terkenal karena film Matrix: Nokia Pisang! Bedanya, di film Matrix slide-nya keluar otomatis, sedangkan milik ayahku slide manual ditarik lengan, hehe. Dan untuk beli nomor saat itu masih sekitar Rp 250.000. Wow banget, mungkin ada juga yang beli nomor lebih dari harga itu. Dan sampai saat ini nomor sebelas dijit itu masih aku pakai. Nomor turun temurun dari ayahku, lalu kakakku, dan sekarang aku masih menggunakannya. Berarti umur nomor itu sudah 20 tahun.

Saat itu ayahku masih gemar menggunakan handphone-nya untuk keperluan telpon. Beberapa lama kemudian barulah kami sadar, ternyata ada fitur SMS di dalamnya! Bisa hemat biaya pulsa, lumayan 160 karakter, Rp 300 sekali SMS.

Aku bergabung di organisasi Pramuka saat SMP. Saat itu sistem komunikasi tercanggih adalah telepon rumah (karena handphone baru ramai di 1996, aku sedang ujian untuk masuk SMA). Menggunakan telepon rumah, tentu kita tidak tahu siapa yang mengangkat telepon di ujung sana. Apakah langsung teman kita, atau kakaknya, adiknya, ibunya, bapaknya, atau pembantunya? Sehingga kalimat standar yang digunakan adalah, “Assalamualaikum, bisa bicara dengan Fulan…? Ini aku temannya.” Lalu terdengarlah teriakan di ujung telepon, “Fulaaannn, ini temennya nelpoonn…” Terdengar jelas di teleponku. Kadang kakakku jahil saat ada telepon dari teman lelaki adikku yang perempuan. Dibilang tidak ada, kadang suaranya diubah-ubah, kadang menyamarkan suaranya menjadi suara perempuan! Kami di belakangnya hanya cekikikan menahan tawa.

Yang aku salut saat berpramuka, komunikasi dari kakak pembina ke peserta didik adalah dengan menyelipkan selembar kertas di kaca dalam sanggar, sebagai pesan untuk latihan besok. Biasanya si kakak pembina saat itu menuliskan pesan di saat anak-anak sudah masuk kelas, dan pembina pulang lebih awal (karena ia harus kuliah sore harinya). Selembar kertas diselipkan di dalam kaca sanggar, dan anak-anak berkumpul sepulang sekolah membaca pesan tersebut. Membawa ini dan itu, berseragam ini, bawa itu, dan lain-lain. Pesan sampai, tugas dilaksanakan. Komunikasi yang efektif.

Memasuki tahun 2000an, aku sudah mulai meninggalkan game komputer. Terakhir aku hanya memainkan FIFA 2002, karena jika aku terus mengikuti perkembangan teknologi, komputerku tidak sanggup untuk terus meng-install game terbaru dari FIFA. Grafisnya terus membaik, sedangkan komputerku tidak mulus ter-upgrade karena biaya terbatas. Di masa itu aku mulai suka mengulik program di PC. Mulai dari mengedit foto, video, dan musik. Komputer pun terasa lebih manfaat dibandingkan saat aku hanya bermain FIFA.

Awal 2000an, di lab komputer kampusku sedang heboh mIRC, sebuah program chatting yang hits. Kita bisa mengobrol di chat room seluruh dunia. Dengan kalimat inisiasinya yang terkenal, “asl pls”. Dan juga jawaban singkat yang khas, “20 m bdg.” Kemudian datanglah Friendster, sebuah media sosial yang kita bisa memberikan testimoni tentang teman yang kita kenal. Kita pun menunggu-nunggu testimoni dari teman-teman, kira-kira apa ya komentarnya tentangku? Biasanya isinya positif dan lucu-lucu. Dari Friendster juga, kita bisa mencari kawan baru, biasanya sih lawan jenis. Hehe.

Kemunculan Friendster seperti membawa angin segar untuk media sosial lainnya. Sempat membuat akun di Multiply, yang cukup lengkap fiturnya. Di situ bisa mengunggah foto, video, dan musik kita, apalagi tulisan semacam blog. Barulah situs blog bermunculan, situs musik semacam Myspace juga muncul. Dan kemudian, muncullah Facebook.

Facebook mulai booming, dalam perkembangannya setiap orang rasanya punya akun di situs media sosial tersebut. Bagaimana tidak menarik, isi hati, curahan jiwa, pemikiran pribadi, bisa ditumpahkan secara leluasa di situ. Orang yang introvert, pendiam, baru kita ketahui isi hatinya, pemikirannya, gara-gara status di Facebook miliknya. Menuju 2010, dunia telepon genggam yang sudah merambah ke telepon pintar, mulai dikenalkan dengan aplikasi Whatsapp.

Senangnya menikmati permulaan Facebook dan Whatsapp begitu terasa ketika teman-teman lama bertemu kembali, cerita-cerita lama beredar untuk membangkitkan memori, keseruan di masa lalu. Tak lama dari rentang itu, mulai banyak bermunculan situs jejaring media sosial lainnya. Ada Twitter, Path, Instagram, yang aku sudah repot untuk mengikutinya. Akhirnya hanya sekadar punya saja, jarang unggah, banyak memantau alias menyimak.

Dan, keseruan semua itu, keriangan bersama semua kawan, haha-hihi, memori lama, banyolan seru, mendadak buyar gegara pemilihan presiden 2009. Berulang di 2014. Dan sampai sekarang, setiap ada pemilihan kepala daerah, isu politik, isu sosial, menyebar begitu cepat. “What is in your mind?” sebuah pertanyaan untuk update status di Facebook, berubah menjadi opini yang menggiring kesana kemari. Unggahan kabar dari sumber yang – dengan situs-situs blogger bisa dibuat bebas sekarang – semua orang dapat membuat berita macam apapun.

Aku mulai jengah. Gempuran opini di Facebook, merembet juga ke copy paste sana sini, forward ini itu di Whatsapp, sungguh membuat jengah, lelah hati.

Hai kawan-kawanku yang lahir di era yang sama, rasanya aku tidak perlu tahu isi pikiranmu. Cukuplah kau simpan dalam hati saja. Rasanya pertemanan kita lebih baik tanpa harus mengetahui curahan hatimu dalam media sosial. Rasanya curahan hatimu dalam surat “sahabat pena” masih lebih baik dan positif. Rasanya semua mulai kebablasan. Demokrasi yang “dibebaskan” sejak 1999 dampaknya ya kita rasakan sekarang ini, Kawan.

Apakah kau tidak kangen masa lalu? Yang mana toleransi antarumat beragama terasa begitu asli di kehidupan nyata. Kita saling menghormati, tidak ada ribut-ribut semacam masa sekarang. Yang mana kalau kita ingin ngobrol panjang lebar, aku telepon kau lalu kita ketemu di tempat biasa. Tatap muka lebih seru daripada obrolan teks Whatsapp, yang mana interpretasi kalimat bisa berbuah dugaan yang meleset.

Ah, Kawan. Ini baru tahun 2016. Kalau kita diijinkan hidup oleh-Nya hingga umur pensiun, entah apa yang akan terjadi di dunia teknologi, informasi dan telekomunikasi nanti? Rentang sepuluh tahun saja sudah akan banyak perkembangannya. Sanggupkah mental kita untuk menghadapi itu semua? Mental untuk mendidik anak cucu kita menghadapi gempuran teknologi, media sosial di masa mendatang.

Dan Kawan, rasanya setelah aku menulis ini, akan ada banyak orang juga yang setuju atau tidak setuju, komentar langsung dan tidak langsung, adu argumen, opini, merasa benar, dan… ya kau tahu lah. Kita hidup di masa yang sama.

Kawanku, aku sedang tidak membahas majalah remaja populer di masa lalu, aku bicara padamu. Maukah kamu aku ajak berbuat sesuatu? Gunakan media sosial untuk menyebar perilaku positif, penuh keriangan, berbagi cerita, memberi manfaat. Menggunakan telepon pintar kita untuk komunikasi yang efektif, positif, dan juga manfaat. Aku yakin kau mau, tapi tak perlulah kau jawab di status FB-mu. Cukuplah kita bergerak bersama-sama.

Aku kangen masa lalu, tapi kita harus menghadapi masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun