Mohon tunggu...
Oksand
Oksand Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Storytelling dan Editor

Penulis Storytelling - Fiksi - Nonfiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Curahan Hati Seseorang yang Lahir di Tahun 80-an

25 Desember 2016   22:22 Diperbarui: 27 Desember 2016   09:26 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah masa itu, muncul lagi inovasi telepoin (ini aku lupa-lupa ingat namanya), yang jika kita hendak melakukan panggilan telepon harus menuju daerah yang ada tanda telepoinnya. Ribet sih, tapi saat itu lumayan lah, sebelum masanya telepon genggam booming.

Sekitar tahun ’96, ayahku punya telepon genggam yang menjadi terkenal karena film Matrix: Nokia Pisang! Bedanya, di film Matrix slide-nya keluar otomatis, sedangkan milik ayahku slide manual ditarik lengan, hehe. Dan untuk beli nomor saat itu masih sekitar Rp 250.000. Wow banget, mungkin ada juga yang beli nomor lebih dari harga itu. Dan sampai saat ini nomor sebelas dijit itu masih aku pakai. Nomor turun temurun dari ayahku, lalu kakakku, dan sekarang aku masih menggunakannya. Berarti umur nomor itu sudah 20 tahun.

Saat itu ayahku masih gemar menggunakan handphone-nya untuk keperluan telpon. Beberapa lama kemudian barulah kami sadar, ternyata ada fitur SMS di dalamnya! Bisa hemat biaya pulsa, lumayan 160 karakter, Rp 300 sekali SMS.

Aku bergabung di organisasi Pramuka saat SMP. Saat itu sistem komunikasi tercanggih adalah telepon rumah (karena handphone baru ramai di 1996, aku sedang ujian untuk masuk SMA). Menggunakan telepon rumah, tentu kita tidak tahu siapa yang mengangkat telepon di ujung sana. Apakah langsung teman kita, atau kakaknya, adiknya, ibunya, bapaknya, atau pembantunya? Sehingga kalimat standar yang digunakan adalah, “Assalamualaikum, bisa bicara dengan Fulan…? Ini aku temannya.” Lalu terdengarlah teriakan di ujung telepon, “Fulaaannn, ini temennya nelpoonn…” Terdengar jelas di teleponku. Kadang kakakku jahil saat ada telepon dari teman lelaki adikku yang perempuan. Dibilang tidak ada, kadang suaranya diubah-ubah, kadang menyamarkan suaranya menjadi suara perempuan! Kami di belakangnya hanya cekikikan menahan tawa.

Yang aku salut saat berpramuka, komunikasi dari kakak pembina ke peserta didik adalah dengan menyelipkan selembar kertas di kaca dalam sanggar, sebagai pesan untuk latihan besok. Biasanya si kakak pembina saat itu menuliskan pesan di saat anak-anak sudah masuk kelas, dan pembina pulang lebih awal (karena ia harus kuliah sore harinya). Selembar kertas diselipkan di dalam kaca sanggar, dan anak-anak berkumpul sepulang sekolah membaca pesan tersebut. Membawa ini dan itu, berseragam ini, bawa itu, dan lain-lain. Pesan sampai, tugas dilaksanakan. Komunikasi yang efektif.

Memasuki tahun 2000an, aku sudah mulai meninggalkan game komputer. Terakhir aku hanya memainkan FIFA 2002, karena jika aku terus mengikuti perkembangan teknologi, komputerku tidak sanggup untuk terus meng-install game terbaru dari FIFA. Grafisnya terus membaik, sedangkan komputerku tidak mulus ter-upgrade karena biaya terbatas. Di masa itu aku mulai suka mengulik program di PC. Mulai dari mengedit foto, video, dan musik. Komputer pun terasa lebih manfaat dibandingkan saat aku hanya bermain FIFA.

Awal 2000an, di lab komputer kampusku sedang heboh mIRC, sebuah program chatting yang hits. Kita bisa mengobrol di chat room seluruh dunia. Dengan kalimat inisiasinya yang terkenal, “asl pls”. Dan juga jawaban singkat yang khas, “20 m bdg.” Kemudian datanglah Friendster, sebuah media sosial yang kita bisa memberikan testimoni tentang teman yang kita kenal. Kita pun menunggu-nunggu testimoni dari teman-teman, kira-kira apa ya komentarnya tentangku? Biasanya isinya positif dan lucu-lucu. Dari Friendster juga, kita bisa mencari kawan baru, biasanya sih lawan jenis. Hehe.

Kemunculan Friendster seperti membawa angin segar untuk media sosial lainnya. Sempat membuat akun di Multiply, yang cukup lengkap fiturnya. Di situ bisa mengunggah foto, video, dan musik kita, apalagi tulisan semacam blog. Barulah situs blog bermunculan, situs musik semacam Myspace juga muncul. Dan kemudian, muncullah Facebook.

Facebook mulai booming, dalam perkembangannya setiap orang rasanya punya akun di situs media sosial tersebut. Bagaimana tidak menarik, isi hati, curahan jiwa, pemikiran pribadi, bisa ditumpahkan secara leluasa di situ. Orang yang introvert, pendiam, baru kita ketahui isi hatinya, pemikirannya, gara-gara status di Facebook miliknya. Menuju 2010, dunia telepon genggam yang sudah merambah ke telepon pintar, mulai dikenalkan dengan aplikasi Whatsapp.

Senangnya menikmati permulaan Facebook dan Whatsapp begitu terasa ketika teman-teman lama bertemu kembali, cerita-cerita lama beredar untuk membangkitkan memori, keseruan di masa lalu. Tak lama dari rentang itu, mulai banyak bermunculan situs jejaring media sosial lainnya. Ada Twitter, Path, Instagram, yang aku sudah repot untuk mengikutinya. Akhirnya hanya sekadar punya saja, jarang unggah, banyak memantau alias menyimak.

Dan, keseruan semua itu, keriangan bersama semua kawan, haha-hihi, memori lama, banyolan seru, mendadak buyar gegara pemilihan presiden 2009. Berulang di 2014. Dan sampai sekarang, setiap ada pemilihan kepala daerah, isu politik, isu sosial, menyebar begitu cepat. “What is in your mind?” sebuah pertanyaan untuk update status di Facebook, berubah menjadi opini yang menggiring kesana kemari. Unggahan kabar dari sumber yang – dengan situs-situs blogger bisa dibuat bebas sekarang – semua orang dapat membuat berita macam apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun