"Masalah? Yah, ada banyak sih kek." Amira menarik nafas dalam-dalam, lalu perlahan menghembuskannya. Dia pun mulai menjelaskan, "Aku tidak tahu kenapa, kek. Akhir-akhir ini, aku sering merasa sedih. Mungkin karena beberapa hal yang telah terjadi. Mantanku putus tanpa alasan yang jelas, aku kehilangan sahabat baikku, uangku menipis, dan tidak ada keluarga yang bisa kuminta tolong. Namun tidak pernah aku merasa se-putus asa ini, hingga sekarang."
Entah kenapa, tubuh Amira menggigil saat dia menjelaskan. Amira mengangkat kedua tangannya dan memeluk badannya, sambil mencoba untuk menghangatkan diri.
Namun, hal itu tidak berbuah hasil. Seolah-olah dingin itu berasal dari dirinya sendiri.
"Terkadang aku bertanya-tanya, apakah semua ini terjadi karena diriku sendiri? Kalau iya, apa kesalahan yang telah aku lakukan? Kenapa semua ini terjadi padaku?"
Tanpa disadari, air mata mulai mengucur dan membasahi pipinya. Terisak-isak, Amira bertanya dengan suaranya yang lirih dan menyedihkan, "Apakah ini karena aku tidak berguna? Apakah Dimas meninggalkanku karena dia bosan denganku? Apakah Lisa memanfaatkanku karena aku terlalu naif? Apakah keluargaku senang aku tidak ada? Apakah aku dalam kondisi seperti ini karena aku kurang kerja keras? Kenapa? Kenapa?!"
"Nak Amira, sadarkan dirimu!" Amira menoleh ke kirinya. Kakek itu telah melepas topi bowlernya---Amira menyadari bahwa wajahnya sangat pucat, seperti terjangkit penyakit mematikan---dan menatapnya dengan dua mata yang penuh kesedihan.
Dia menghela napas, "Kakek tua ini sangat sedih melihat jiwa muda sepertimu sudah menderita seperti ini, terutama dengan masa lalumu."
"Tapi tolong, untuk kakek tua ini, kamu harus bertahan. Kakek tahu hidup ini tidak adil, tapi kakek juga tahu bahwa hidup itu tidak selalu seperti yang kau kira."
"Hanya karena sekarang kau dalam kegelapan, bukan berarti kau akan terjebak di dalamnya untuk selamanya."
"Kamu harus bergerak. Kamu harus bangkit, Amira. Karena ada sebuah cahaya yang menunggumu di penghujung malam ini."
Kakek itu kembali menatap ke angkasa, dan Amira baru menyadari bahwa langit diatas mereka penuh dengan bintang-bintang yang bersinar terang, dan tak jauh dari mereka adalah---tak lain---sosok bulan purnama. Tidak seperti saat ia datang, lingkungan sekitarnya sekarang terlihat jelas karena bintang-bintang yang menyinarinya. Bahkan mengalahkan cahaya redup lampu taman diatasnya.