PENDAHULUAN
Agama telah lama menjadi bagian integral dari kehidupan manusia, tidak hanya sebagai pedoman spiritual tetapi juga sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial dan memberikan makna dalam situasi penuh ketidakpastian (Durkheim, 1912). Sejak kecil, agama mengajarkan nilai-nilai moral dan membentuk ikatan sosial melalui tradisi seperti sholat berjamaah atau berbagi makanan selama Ramadan. Namun, di era modern, peran agama menghadapi tantangan baru, seperti sekularisasi, tekanan ekonomi, dan konflik sosial yang sering kali memperburuk ketimpangan yang ada (Giddens, 2006).
Salah satu contoh nyata dari tantangan ini adalah insiden sosial di Magelang, di mana seorang pedagang es teh menjadi korban olok-olok dalam sebuah acara publik. Peristiwa ini mencerminkan tidak hanya ketimpangan sosial tetapi juga pentingnya peran agama dalam menciptakan empati dan solidaritas. Dalam kasus ini, Gus Miftah, sebagai seorang tokoh agama yang memiliki pengaruh besar, mendapat kritik karena tindakannya yang dianggap tidak mencerminkan nilai-nilai keagamaan yang seharusnya menyerukan kasih sayang dan keadilan. Insiden ini menjadi pengingat akan tanggung jawab tokoh agama dalam membangun harmoni sosial, terutama di tengah masyarakat yang menghadapi ketidakpastian ekonomi dan sosial.
Dari sudut pandang sosiologi agama, Emile Durkheim memandang agama sebagai perekat sosial yang menciptakan solidaritas melalui norma dan ritual bersama. Dalam konteks ini, agama menjadi "lem" yang menghubungkan individu dalam komunitas, memberikan rasa aman dan arah di saat mereka menghadapi tantangan hidup. Di sisi lain, Karl Marx melihat agama sebagai "candu masyarakat," yang meskipun memberikan pelipur lara, dapat mengalihkan perhatian dari upaya untuk memperbaiki kondisi sosial secara struktural. Sementara itu, Max Weber menyoroti potensi agama sebagai motor perubahan sosial, seperti bagaimana etika kerja Protestan mendorong perkembangan kapitalisme di Eropa.
Dalam dunia modern yang semakin kompleks, media sosial telah menjadi alat komunikasi utama, tetapi juga sering memicu polarisasi. Insiden Magelang menunjukkan bagaimana media sosial dapat digunakan sebagai ruang publik untuk menyoroti ketidakadilan, tetapi juga dapat memperburuk situasi melalui penyebaran informasi yang tidak terkontrol. Dalam teori Anthony Giddens tentang budaya yang dimediasi (mediated culture), media sosial menjadi platform yang mencerminkan interaksi sosial dalam era digital, di mana nilai-nilai agama sering kali diuji dalam konteks yang lebih luas.
Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi relevansi agama dalam menghadapi tantangan modernitas, menggunakan teori sosiolog klasik untuk memberikan perspektif yang mendalam. Dengan menganalisis kasus pedagang es teh di Magelang, tulisan ini menyoroti peran tokoh agama dalam menciptakan harmoni sosial, pentingnya empati dalam interaksi sosial, dan bagaimana media sosial dapat menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Dengan demikian, tulisan ini mengajukan bahwa agama, jika dipraktikkan dengan nilai-nilai keadilan dan solidaritas, tetap relevan sebagai sumber harmoni sosial di tengah dinamika dunia modern.
 AGAMA SEBAGAI KONSTRUKSI SOSIAL
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan bahwa agama hadir tidak hanya sebagai kepercayaan pribadi, tetapi juga sebagai pengikat hubungan antar manusia. Misalnya, tradisi seperti saling berbagi makanan selama Ramadan atau membantu tetangga yang membutuhkan adalah contoh nyata bagaimana agama mengajarkan solidaritas dan kepedulian.
Menurut sosiolog Emile Durkheim, agama membantu menciptakan rasa kebersamaan dengan menyusun sistem nilai dan norma yang bisa diikuti bersama. Ini seperti membangun "lem sosial" yang menyatukan individu menjadi komunitas melalui nilai dan norma bersama (Durkheim, 1912), terutama saat menghadapi situasi sulit. Dengan begitu, agama memberikan arah sekaligus penguatan ketika kehidupan terasa penuh ketidakpastian.
Pandangan Klasik tentang Agama
1. Karl Marx: Agama sebagai Candu Masyarakat