Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Menyoroti "Spotlight", Memberi Ruang Bercerita bagi Korban Pelecehan Seksual

28 Februari 2018   16:41 Diperbarui: 16 Juni 2020   08:55 1976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film Spotlight yang rilis tahun 2015, disutradarai oleh Tom McCarthy bercerita tentang pengungkapan besar-besaran kasus pelecehan seksual pada anak oleh para pastor di Boston tahun 2002 oleh tim reportase investasi The Boston Globe, Spotlight. 

Film ini diperankan oleh Michael Keaton, Mark Ruffalo dan Rachel McAdams.

Saya tidak akan me-review film Spotlight dari segi teknis, karakter ataupun plotnya. Gelar Best Picture yang diraih film ini dalam Academy Awards tahun 2016 seharusnya sudah cukup menjadi alasan untuk menonton film ini. 

Saya lebih ingin membahas ciri-ciri klasik kasus pelecehan seksual sampai bisa menjadi sebesar kisah Boston Globe melalui beberapa kutipan dalam film ini.

Phil Saviano,

When you're a poor kid from a poor family, religion counts for a lot. And when a priest pays attention to you, it's a big deal. He asks you to collect the hymnals or take out the trash, you feel special. It's like God asking for help. So maybe it's a little weird when he tells you a dirty joke, but now you got a secret together, so you go along. Then he shows you a porno mag, and you go along. 

And you go along, and you go along, until one day he asks you to jerk him off or give him a blow job. And so you go along with that, too, because you feel trapped, because he has groomed you. How do you say no to God, right? See, it is important to understand that this is not just physical abuse, it's spiritual abuse, too. And when a priest does this to you, he robs you of your faith. So you reach for the bottle or the needle. Or if those don't work, you jump off a bridge. That's why we call ourselves survivors.

Phil Saviano adalah salah satu korban yang paling pertama mendesak Boston Globe untuk mengungkap kasus ini. Phil dilecehkan secara seksual oleh Pastor David Holley saat usianya 12 tahun. Phil Saviano menjelaskan kepada tim Spotlight, bagaimana dia bisa terjebak dalam situasi tersebut.

Seperti mayoritas korban pelecehan anak di seluruh dunia, Phil berasal dari keluarga miskin. Kemiskinan adalah faktor utama anak menjadi korban pelecehan. Kemiskinan ini yang kemudian dimanfaatkan oleh pelaku yang memiliki naked power untuk secara perlahan memanipulasi korban sampai korban mau melayani nafsu bejatnya seakan tanpa paksaan.

Pastor dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia, perkataan dan perbuatan pastur dianggap sebagai perkataan dan perbuatan Tuhan sehingga anak-anak merasa tidak tidak ada yang salah dengan tindakan pastor, orang tua yang dilapori oleh si anak juga akan lebih mempercayai pastor dan menganggap anak mengada-ada.

Joe Crowley, salah satu korban Pastor John Geoghan, ketika ditanya oleh Sacha Pfeiffer, wartawan Spotlight, apakah pernah berusaha memberitahu orang lain, menjawab "Like who, a priest?" Pastor yang seharusnya menjadi pembela kebaikan dan kebenaran, tempat anak-anak mencari perlindungan justru menjadi monster yang menyalahgunakan wewenangnya. Bila sudah begini, kemana lagi korban harus mengadu?

Peter Canellos, salah satu editor Boston Globe, berkata:

They say it's just physical abuse but it's more than that, this was spiritual abuse. You know why I went along with everything? Because priests, are supposed to be the good guys.

Faktor kedua penyebab anak rentan menjadi korban pelecehan adalah perpecahan keluarga. Patrick McSorley, korban Pastor John Geoghan lainnya, datang menemui Mike Rezendes, wartawan Spotlight, mengatakan bahwa dia berasal dari keluarga miskin dan ibunya baru saja bercerai dari ayahnya. 

Dia menemukan kenyamanan dari Pastor Geoghan yang dengan sigap segera membantu ibunya melewati masa sulit dalam rumah tangganya. Nyatanya kepercayaan Patrick dan ibunya justru disalahgunakan bertahun-tahun.

Patrick McSorley datang dengan wajah murung, kesal karena harus membuka luka lama ini kembali, sepintas Mike Rezendes dapat melihat bekas-bekas tusukan jarum di siku Patrick. Seperti dikatakan oleh Phil Saviano, korban pelecehan anak akan tumbuh besar dengan keimanan yang telah tercabik sehingga mereka rentan jatuh pada alkohol dan obat terlarang. Atau bila itu tidak berhasil, mereka bunuh diri.

Mitchell Garabedian, pengacara para korban, mengatakan bahwa Patrick termasuk yang beruntung karena dia masih hidup. Saya bertanya-tanya, siapa yang lebih beruntung, yang sudah meninggal atau yang masih hidup? Apakah hidup dalam trauma bisa dikatakan lebih beruntung?

Phil Saviano,

Maybe you should have clarified it five years ago when I sent you all of this stuff! It's all... right here!

Walter Robinson,

This is how it happens, isn't it Pete? Guy leans on a guy. And suddenly the whole town just looks the other way.

Dua kutipan dialog di atas menunjukkan betapa masyarakat seringkali tidak mau melihat permasalahan ini, termasuk orang-orang yang seharusnya bisa menolong, termasuk polisi, pengacara dan wartawan. Jim Sullivan, salah satu pengacara yang membela para pastor predator, ketika dikonfrontasi oleh Walter Robinson, menjawab "I was just doing my job."

Berita mengenai pelecehan seksual jarang disukai masyarakat karena menimbulkan ketidaknyamanan, padahal sekeras apapun masyarakat berusaha menutup mata, kejadiannya akan tetap berlangsung di depan mata kita. Terbukti berdasarkan pembicaraan Marty Barton, pemimpin redaksi baru Boston Globe, saat rapat perkenalan pertama.

Artikel yang ditulis Eileen McNamara mengenai Pastur Geoghan hanya mendapat jatah beberapa kolom kecil, tidak diperhatikan sama sekali, bahkan oleh sesama rekan wartawannya. Tidak ada yang menganggap berita ini menarik dan berniat untuk mencari tahu lebih lanjut. Entah mengapa.

Mike Rezendes bahkan harus berteriak-teriak memaksa editornya, Walter Robinson, untuk segera menerbitkan serial reportase ini,

It's time, Robby! It's time! They knew and they let it happen! To KIDS! Okay? It could have been you, it could have been me, it could have been any of us. We gotta nail these scumbags! We gotta show people that nobody can get away with this; Not a priest, or a cardinal or a freaking pope!

Mike Rezendes menyadari bahwa waktu yang tepat selalu "Sekarang!" Dia juga merasa bersalah Boston Globe terlambat mengangkat kisah ini. Kisah dan laporan pelecehan seksual tidak boleh ditunda-tunda, semua orang harus menganggap cerita-cerita ini penting, semua lapisan masyarakat harus bekerja sama memberikan spotlight pada setiap cerita pelecehan agar tidak ada predator yang bisa merasa bebas berkeliaran memangsa perempuan dan anak-anak.

Semua orang harus belajar berempati, menempatkan dirinya dalam situasi korban, ikut merasa bertanggung jawab karena siapapun bisa menjadi korban, termasuk Anda dan saya. 

Saya tutup artikel ini dengan kutipan dari Mitchel Garabedian,

If it takes a village to raise a child, it takes a village to abuse them.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun