Kakek menghela napas. Lalu menyambungnya.
"Ucapan selamat itu harus tulus, harus benar-benar tulus dari dalam hati. Tidak harus menunggu hari ketika tanggalnya tiba. Buktikan dalam bentuk tindakan yang nyata, bukan hanya sekedar kata-kata yang tidak ada manfaatnya dan sangat menyebalkan. Happy father's day, selamat hari Pancasila, selamat hari ibu. Udah? Itu saja?"
Kakek beranjak dari tempat duduknya dan melanjutkan menggali tanah dengan linggisnya.
"Dengan sadar mari mulai dari kita sendiri." Kedua tangan kakek bekerja dengan lincah mengambil bongkahan tanah. "Dengan mendoakan ayahmu dan tidak membuat nama beliau menjadi buruk Itu lebih baik dari hanya sekedar ucapan happy father's day," ucap Kakek.
Setelah mendengar ucapan kakeknya, Edwin berpikir bahwa ternyata benar juga apa yang telah dilontarkan oleh kakeknya. Seharusnya ia tak mengucapkan seperti itu, lebih baik mendoakan orang tuanya yang sudah tidak ada supaya mendapatkan ampunan dari Tuhan yang Maha Esa.Â
"Ayo, bantu kakek angkat pohon jambu itu," pinta kakek.
Pohon jambu kakek yang dulu ditanam kini telah berbuah lebat. Buahnya menjuntai ke bawah hampir menyentuh tanah. Warnanya sudah banyak yang kuning dan siap untuk dipanen.
Ketika matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, dengan raut wajah sangat bahagia, kakek mengajak joni memanen buah jambu itu.
Setiap beberapa buah dipotong , lalu dimasukkan ke dalam plastik berwarna hitam.Â
"Ini mau dijual, Kek?" tanya joni menerka-nerka.Â
"Gak usah banyak tanya. Nanti kamu ikut kakek keliling desa."Â