Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Bukan Tes Darah atau Tes Kulit, Oral Food Challenge Memastikan Penyebab Alergi

3 Mei 2024   14:59 Diperbarui: 3 Mei 2024   15:05 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TES KULIT

Pemeriksaan alergi lain yang direkomendasikan adalah tes kulit alergi, karena telah terbukti secara ilmiah sensitifitasnya. Terdapat beberapa jenis uji kulit untuk mengetahui penyebab alergi, diantaranya adalah : uji tusuk, uji gores dan uji tempel. Pemeriksaan yang sering dilakukan adalah pemeriksaan uji tusuk. Banyak disukai oleh penderita adalah uji tempel, karena tidak terlalu menyakitkan dan praktis. Hasil uji kulit bukanlah hasil akhir atau penentu diagnosis. Sering informasi yang diterima penderita menyesatkan, bahwa dianggap dengan tes alergi dapat diketahui pasti penyebab alergi. Tes kulit alergi sangat terbatas sebagai alat diagnosis. Bila hasil tes kulit alergi positif mungkin alergi terhadap makan bahan makanan tersebut, sebaliknya bila hasilnya negatif belum tentu bukan alergi makanan.

Tes kulit dapat dilakukan dengan uji gores (scratch test), uji tusuk (prick test), uji suntik intradermal (intrademal test) atau uji tempel. Dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penyaring dengan menggunkan ekstrak allergen yang ada di lingkungan penderita seperti debu, bulu kucing, susu, telur, coklat, kacang dan lain-lain. Cara pemeriksaannya adalah kulit digores atau ditusuk ringan kemudian ditetesi cairan penguji tersebut. Setelah sekitar sepuluh menit atau lebih, dilakukan pengamatan pada kulit tersebut. Bila terdapat kemerahan atau lepuhan pada kulit dibandingkan dengan pembanding atau cairan netral pada titik lainnya akan memberi petunjuk adanya alergi.

Tes tusuk kulit (SPT) mampu mendeteksi keberadaan antibodi IgE spesifik alergen (sensitisasi), namun memiliki spesifisitas rendah untuk alergi makanan yang signifikan secara klinis. Uji kulit mempunyai keterbatasan sebagai alat diagnostik. Nilai diagnosisnya tidak begitu baik. karena hanya bisa mendiagnosis alergi tipe cepat. Tes kulit alergi hanya bisa menduga adanya alergi, selanjutnya harus dikonfirmasi dengan eliminasi dan provokasi makanan. Cara ini seringkali tidak akurat, karena masih ditemukan hasil negatif palsu (false negatif) atau hasil negatif belum tentu bukan alergi. Sebaliknya hasil Positif palsu (false positif) artinya hasil positif belum tentu alergen tersebut sebagai penyebab alergi.

Pada tes kulit seringkali yang terdeteksi adalah proses alergi reaksi cepat (reaksi terjadi kurang 8 jam). Seperti, bila makan udang dalam beberapa jam timbul gatal-gatal. Tetapi proses alergi makanan reaksi lambat (reaksi terjadi lebih dari 8 jam) seringkali negatif atau tidak terdeteksi. Sehingga sering terjadi pada tes kulit yang positif hanyalah debu yang merupakan alergi tipe reaksi cepat dan makanan lainnya negatif. Fenomena inilah yang mengakibatkan timbul persepsi bahwa gejala alergi sebagian besar disebabkan karena debu dan alergi makanan sering tidak dianggap sebagai penyebab alergi.

Karena hasil tes kulit itu banyak para klinisi atau penderita yang masih menjadikan tes kulit alergi sebagai pedoman untuk menghindari makanan tersebut hingga jangka panjang. Atau sebaliknya terus mengkonsumsi makanan yang dalam tes dinyatakan negatif. Sehingga menghindari makanan penyebab alergi atas dasar tes tersebut seringkali tidak menunjukkan hasil yang optimal.

Beberapa pemeriksaan laboratorium melalui pemeriksaan darah dapat dilakukan untuk mencari penyebab alergi. Pemeriksaan konvesional lainnya adalah pemeriksaan darah dengan cara RAST (Radio-allergo-sorbent test). Pemeriksaan ini adalah untuk melihat antibodi terhadap makanan tertentu, debu, serbuk bunga, bulu kucing dan lainnya. Namun pemeriksaan ini cukup rumit dan mahal. Satu jenis alergen misalnya debu harganya mencapai sekitar 350 -- 600 ribu rupiah. Bisa dibayangkan bila jenis makanan yang demikian banyak diperiksa semuanya. Seperti halnya tes kulit tes darah ini memang sensitifitas baik dan terebukti secara ilmiah, namun spesifitasnya rendah dan belum bisa memastikan alergi makanan tipe lambat. Sedangkan pemeriksaan darah lainnya tidak direkomendasikan untuk memastikan penyebab alergi.

Pemeriksaan IgE total dengan PRIST (Paper radioimmunosorbent test) berguna untuk menentukan status alergi penderita. Harga normal adalah 100 u/ml sampai usia 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 30 u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi sistem imun. Sebenarnya periksaan ini tidak terlalu penting bila tanda dan gejala alergi sudah jelas. Pemeriksaan pendukung lainnya namun jarang dilakukan adalah tes Sitotoksik, pemeriksaan lemak tinja, immunoglobulin, AntibodI monoclonal dalam sirkulasi, pelepasan histamine oleh basofil (Basofil histamine release assay/BHR), kompleks imun dan imunitas seluler, intestinal mast cell histamine release (IMCHR), provokasi intra gastral melalui endoskopi, biopsi usus setelah dan sebelum pemberian makanan.

Referensi

  • Meera Thalayasingam Michelle Meiling Tan Cesar Brence Labastida Lynette Shek Pei-Shi. Oral food challenges still the most reliable test for a diagnosis of food allergy. World Allergy JournalVOLUME 6, SUPPLEMENT 1 2064.
  • Calvani M, Bianchi A, Reginelli C, Peresso M, Testa A. Oral Food Challenge. Medicina (Kaunas). 2019 Sep 27;55(10):651.
  • Peters RL, Gurrin LC, Allen KJ. The predictive value of skin prick testing for challenge-proven food allergy: a systematic review. Pediatr Allergy Immunol. 2012 Jun;23(4):347-52. doi: 10.1111/j.1399-3038.2011.01237.x. Epub 2011 Dec 4. PMID: 22136629.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun