SEA Games di malaysia berakhir sudah, Indonesia semakin terpuruk prestasinya di urutan ke lima. Pesta olahraga antar negara-negara di wilayah Asia Tenggara digelar sejak 1959, dan Indonesia mulai terlibat sejak SEA Games 1977 di Kuala Lumpur -dan Indonesia saat itu menjadi langganan juara umum.Â
Bahkan Inodnesia sempat 10 kali menjadi juara umum. Kecuali kalah oleh Thailand di SEA Games 1985 di Bangkok dan 1995 di Chiang Mai, Indonesia kembali berjaya di ajang yang sama pada 1987, 1989, 1991, 1993 dan 1997.
Dalam tiga ajang berikutnya pada tahun 1979, 1981, 1983, Indonesia berturut-turut menjadi nomor satu, mengungguli Thailand yang dulunya sempat mendominasi. Setelah reformasi, prestasi Indonesia semakin anjlok sekali. Dalam dua tahun terkahir di era Jokowi ini justru semakin terpuruk di urutan ke lima.
Prestasi ini dinilai paling buruk dalam sejarah Indonesia di bidang olahraga. Pada SEA Games di Palembang dan Jakarta saat era SBY tahun 2011, Indonesia kembali berjaya menjadi juara umum kembali, tetapi kemudian prestasinya terus merosot.Â
Saat ini kita dikalahkan dengan negara Malaysia, Thailand, bahkan kalah dengan Vietnam dan negara berpenduduk kecil Singapura. Bahkan tradisi sapu bersih cabang bulu tangkis kali ini Indonesia terpuruk dikalahkan Thailand yang dari dulu kalah jauh peringkat dunianya di bawah Indonesia. Indonesia dalam 2 tahun ini sedang dalam darurat prestasi olahraga.
Siapa yang salah dalam amburadulnya prestasi Indonesia ini? Atletkah yang salah, nasibkah yang harus disalahkan atau pemangku dan pelaku kebijakaan yang saat ini selalu tidak pernah mau disalahkan?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat melepas kontingen atlet yang akan berlaga di SEA Games XXIX di Kuala Lumpur, Malaysia. seperti biasa selalu optimis yang berlebihan menuntut untuk Indonesia menjadi juara umum pesta olahraga dua tahunan di Asia Tenggara itu. "Ya kita sebagai negara besar mestinya targetnya seperti itu (juara umum)," kata Jokowi seperti dilansir kompas (7/8/2017). Â
"Targetnya emas, ya emas. Targetnya juara, ya juara. Dan ini menjadi batu untuk melompat ke Asian Games," kata Jokowi saat itu. Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games pada 2018. Saat itu dengan penuh semangat presiden berapi api mengtakan bahwa pembinaan harus dilakukan terus-menerus dengan kompetisi-kompetisi usia dini, remaja, dan dewasa.Â
Sistem kompetisi harus diciptakan dengan baik. Sistem pembinaan juga harus terencana. "Juga sistem anggaran yang terencana dan baik, karena tanpa pengorganisasi seperti itu dengan sistem kompetisi, kompetisi, kompetisi, ya apa pun sulit.Â
Semakin banyak kompetisi akan semakin memperbaiki prestasi atlet. Kuncinya di situ," ujar Jokowi. Tetapi uniknya seminggu setelah itu justru di era Jokowi prestasi olahraga di Indonesia anjlok dan terpuruk bahkan mencatat prestasi terburuk dalam sejarah olahraga di Indonesia di tengah keoptimisan sebagai juara umum.Â
Ada apa apa dengan negara ini? Mengapa pemangku kebijakan salah memprediksi kemampuan rakyatnya dan kemampuan diri sendiri? Ternyata bangsa harus sadar bahwa saat dalam self asessment yang lemah maka kelemahan dalam perencanaan dan kehancuran dalam pelaksaannya.Â
Kehebatan dan kebangkitan prestasi negara tetangga sangat dipengaruhi berbagai faktor, Pengamat olahraga dan atlet sebagian besar menyebut masalah di Indonesia terutama masalah dana. Pemerintah Indonesia harus menambah anggaran untuk membangun olah raga Indonesia.Â
Malaysia itu setiap tahun anggaran olahraga mencapai tiga triliun rupiah untuk program kayak Program Indonesia emas (Prima). Sementara di Indonesia, tiap tahun rata-rata hanya sekitar lima ratus miliar.
Masalah kelesuan ekonomi tidak bisa dijadikan alasan karena Indonesia mengalami hal yang sama dengan negara tetangga lainnya. Bukankah para penguasa di Indonesia sering mengklaim sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia tetapi fakta di lapangan sangat jauh berbeda. Dukungan prasarana dan finansial para atlet sangat memprihatinkan.
Banyak atlet Indonesia mengeluh seperti atlet lifter angkat berat terkenal dari Indonesia mengeluh, Atlet dituntut berprestasi tinggi tetapi dukungan akomodasi dan uang saku para atlet sangat memprihatinkan.Â
Demikian juga banyak atlet lainnya. Atlet Indonesia cabang atletik, Eki Febri Ekawati mengeluhkan akomodasi yang belum cair. Ia mengaku sejak Januari belum mendapatkan akomodasi.Â
Hal itu diketahui usai akun instagram @badmintalk_com menyebarkan keluh kesah atlet putri nomor tolak peluru itu. "Saya atlet peraih emas SEA Games 2017. Uang Akomodasi (Makan, Penginapan,dll) belum juga dibayar dari bulan Januari-Agustus. Padahal SEA Games sudah hampir selesai. Gimana mau maju? Birokrasi dan sistem olahraga di Indonesia yang ribet! @ina_seagames2017 bilang min pemerintah juga harus introspeksi terkait penyebab knp indonesia tidak maksimal di sea games skrg!" tulisnya di akun @ekifebri yang diposting @badmintalk_com.Â
Kesaksian atlet senior lainnya adalah Jintar Simanjuntak, karateka senior yang kini kembali masuk pelatnas, tak segan untuk mengutarakan unek-uneknya di hadapan Menpora Imam Nahrawi yang datang mengunjungi lokasi latihan karate di Apartemen Belleza, Permata Hijau, Jakarta, Jumat (9/6).Â
Bukan hanya soal molornya uang saku dan honor yang dialaminya selama dua bulan terakhir, tapi ternyata masih sederet persoalan yang harus dihadapi para atlet selama menjalani pemusatan latihan khususnya masalah akomodasi dan prasarana latihan.Â
Curhatan para atlet Nasional yang manusiawi itu dipandang buruk oleh beberapa kelompok masyarakat. Sebagian netizen bahkan ada yang sinis, menyindir bahkan mengumpat, para atlet sekarang tidak menjunjung tinggi aku Indonesia, sehingga nasionalismenya luntur terpengaruh materi.
Memang idealnya Nasionalisme dengan lambang merah putih atau Garuda di dada adalah motivasi terbesar untuk perjuangan membela bangsa dalam berolahraga. Tetapi atlet adalah juga manusia. Manusia yang normal di dunia modern ini pasti dituntut kebutuhan ekonomi dan kebutuhan hidup lainnya.Â
Apalagi bagi atlet yang mengorbankan waktunya sebagai seorang pedagang atau karayawan pasti akan terasa kehidupan ekonominya saat diputus dengan dunia luar harus berlatih sepanjang waktu di pelatnas.Â
Apalagi beberapa atlet masih harus menanggung beban ekonomi keluarga. Ternyata motivasi yang menyala itu akan pudar saat dukungan dana, akomodasi dan fasilitas dari pemerintah  sebagai pemangku kebijakan sangat buruk.Â
Ketika isu uang saku tidak kunjung cair saat bulan April 2017, penyelengara negara dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) mengungkapkan bahwa uang saku atlet memang masih dalam proses pencairan.Â
Begitu juga dengan honor pelatih hingga akomodasi pelatnas yang diprediksi minggu berikutnya optimis akan cair. Ternyata, janji mantan politisi yang menjadi menpora itu hanya tinggal janji. Para atlet SEA Games harus menerima kenyataan pahit, uang Akomodasi, uang Makan, penginapan dll belum juga dibayar pemerintah dari bulan Januari-Agustus hingga menjelang Sea Games.
Tampaknya tuntutan rakyat dan tuntutan pemerintah terhadap atlet yang sangat tinggi tidak diimbangi dengan dukungan sarana, prasarana dan dukungan kehidupan dasar sehari hari atlet menjadikan petaka bagi prestasi olahraga di Indonesia terburuk sepanjang sejarah.Â
Presiden Jokowi dan para pejabat yang selalu mengungkapkan di media bahwa ekonomi Indonesia masih yang terbaik, Indonesia masih banyak duit dan dengan ungakapan jargon jargon simbol kehebatan parameter ekonomi menjadi antiklimaks.Â
Hal inilah tampaknya yang disinyalir Prof Rocky Gerung akan menjadi hoaks ketika mengklaim ekonomi tangguh tetapi fakta di lapangan sangat menyedihkan. Tampaknya masalah uang atau saku akomodasi bukan sekedar masalah keterlambatan birokrasi. Karena pemangku kebijakan sekelas Menteri Olahraga saja tidak dapat menyelesaikan masalah keuangan tersebut. Rakyat tidak bisa disalahkan dan dianggap makar bila sudah mulai curiga benarkah ekonomi Indonesia membaik seperti yang selama ini digembar gemborkan.
Benarkah ekonomi Indonesia hebat hanya sekedar Hoax? Bagiamana bisa atlet untuk dituntut berprestasi tinggi bila hanya untuk memenuhi uang saku dan uang akomodasi saja tidak sanggup apalagi untuk menyediakan rasanya dan prasana gedung olahraga seperti yang dimiliki negara tetangga akan semakin sangat tertinggal jauh.
Jadi siapakah yang salah dalam terpuruknya prestasi olahraga di Indonesia. Atlet yang kurang serius berlatih dan jiwa nasionalisme tidak tangguh hanya karena masalah uang saku? Ataukah kekeliruan pemerintah dalam mengelola negara?Â
Mengapa membangun infrastruktur yang berlebihan dan belum tentu mendesak dibutuhkan rakyat banyak terus dipaksakan demi kepentingan 2019 meski kondisi keuangan  tertatih-tatih.Â
Kalau penguasa mengaku bahwa ekonominya terhebat di antara kelompok G20 atau salah satu terhebat di dunia mengapa hanya bayar uang saku atlet saja terengah engah dan hanya bisa berjanji tetapi tidak ditepati ? Apalagi harus membangun sarana olahraga untuk mendukung prestasi atlet seperti negeri jiran Malaysia.Â
Sebagai manusia yang berusaha menjadi bijak kita harus mengukti orang bijak yang berkata bahwa "Sikap suka menyalahkan orang lain hanya akan membuat hidup jauh dari rasa damai, nyaman, dan bahagia."Â
Maka sebaiknya kita tidak perlu menyalahkan pemerintah lebih meudahnya kita salahkan saja rakyat dan atlet. Darurat prestasi olahraga sepanjang sejarah ini bukan kesalahan dalam pengelolaan negara. Tetapi yang salah atlet dan rakyat. Atlet salah karena mental dan rasa nasionalisme atlet rendah.Â
Rakyat juga salah karena kurang dalam membayar pajak sehingga negara tidak bisa membayar kebutuhan dasar atlet untuk berprestasi. Maka sebaiknya sebentar lagi pajak rakyat dinaikkan lagi untuk meningkatkan prestasi olahraga Indonesia.Â
Rakyat hanya bisa berkata lirih kepada pemimpinnya, Kamu tidak salah, akan tetapi kebenaran belum seutuhnya memihak kepadamu... dan aku yakin kamu bisa berbuat dengan bijak hingga kebenaran datang membawa pencerahan bagimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H