Paradoks tersebut, dan juga adanya pertanyaan-pertanyaan pada awal tulisan di atas, hanyalah memperkuat dorongan pemikiran bahwasanya sudah sepantasnya dan seharusnya seni dipandang sebagai sebuah kehidupan.
Selanjutnya, sebagai makhluk, suatu karya seni harus mampu menangkap berbagai gejala di sekitarnya (proses respirasi dan perolehan nutrisi), peka terhadap setiap dinamika kesenian (proses sensorisasi dan adaptasi), untuk kemudian mensintesanya menjadi energi pembaruan dan penyegaran (proses motorisasi, regenerasi, dan replikasi), lalu mengembalikannya sebagai sumbangsih pengayaan kepada dunia seni (proses transformasi dan reproduksi).
Bila karya tersebut sanggup beranjak ke luar dunianya, bersentuhan dengan dunia lain di luar seni, seperti spiritualitas-teologi, filsafat-ideologi, politik, kultur-sosio-ekonomi, merambah sampai ke akar-akarnya, menyerap berbagai fenomena di dalamnya, dan bahkan mempengaruhi dan menggerakkannya dengan nuansa baru (proses mobilisasi), maka nilainya akan semakin tinggi.
Namun karya-karya yang demikian itu dangkal. Sebagaimana tumbuhan yang hidup hanya sebatas bagi dirinya saja, dan binatang yang --meski mampu memberi jejak yang dalam bagi lingkungan.
Namun itupun  sebenarnya terjadi tanpa direncanakan-- juga sama sekali tidak prinsipil dan jauh dari esensial, karya yang cuma sanggup mendobrak dan menancapkan pengaruh tapi tanpa orientasi seperti itupun belum merupakan karya seni yang sempurna. Karya seni yang sempurna adalah karya seni yang bermoral.
Bagaimana suatu karya seni bisa bermoral?
Ya karena dia punya moral, artinya dia bisa membedakan benar dan salah, baik dan buruk; dia memiliki kebebasan untuk memilih, memutuskan, dan bertindak, sehingga dengan demikian, ia harus --dan memang mampu untuk-- bertanggungjawab.
Untuk dapat memilih, ia harus mempunyai motivasi yang lengkap; agar keputusannya bulat, ia harus tajam dan matang intuisinya dalam merencanakan sasaran, misi, dan visi; sedangkan untuk dapat bertindak secara optimal, ia harus berinovasi, dan siap berimprovisasi terhadap situasi dan kondisi yang muncul di luar dugaan.
Pertanyaannya: betul-betul adakah suatu karya seni "sehebat" dan "sehidup" itu? Pernahkah kita mendapati lagu atau komposisi musik, misalnya, yang memiliki motif? Mampukah kita membayangkan lukisan bisa berpikir? Beranikah kita membayangkan puisi berinovasi, apalagi berimprovisasi? Dan lebih jauh lagi: membayangkan mereka bisa dimintai tanggungjawab? Apakah itu semua bukannya gagasan gila belaka? Akan kita lihat nanti.
3. Peranan Seni dan Karya Seni
Secara implisit dan garis besar, kita sudah mendapat keterangan tentang fungsi dan manfaat seni dan karya seni. Selain wajib memperkaya khasanah dunianya sendiri (dunia seni), suatu karya seni juga didorong untuk menjadi penyingkap cakrawala dunia-dunia lain yang masih tertutup paradigma-paradigma stagnan, yang diciptakan oleh kekakuan elemen-elemen dalam dunia-dunia itu sendiri.