Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bodoh Itu Apa Sih?

27 Agustus 2018   19:25 Diperbarui: 28 Agustus 2018   12:57 2290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar: lehmeh.me)

Anda pernah bertanya-tanya seperti judul saya di atas? Saya sering. Saking seringnya, lama-lama saya merasa bodoh juga, kurang paham apa itu "bodoh" (plus sanak-familinya yang lain, seperti "bego", "tolol", "goblok"), duspake mikirin pertanyaan bodoh itu pula. Lucunya, kata yang kurang saya mengerti karena begitu bodohnya saya itu justru kerap saya pakai untuk mengatai orang (termasuk diri sendiri, lebih sering malah!).

Tapi setolol-tololnya saya, ada juga kesimpulan yang kesampaian.

Pertama, orang bisa disebut bodoh kalau dia tertimpa retardasi mental. Debil, embisil, idiot. IQ-nya jauh di bawah normal akibat cacat pada otak yang didapatnya sewaktu dalam kandungan, atau oleh hal-hal lain yang membuat perkembangan otaknya terhambat.

Bodoh juga dapat berarti tidak tahu. Pernah suatu saat sepasang teman saya yang berpacaran ribut. Sang arjuna, kebetulan satu kos dengan saya, hendak curhat. Tapi belum ada tiga kalimat pembuka dia bicara, srikandinya menelepon saya.

Tanpa menjelaskan dulu duduk perkaranya, si gadis langsung mencerocos di sela isak-tangisnya tentang kekesalannya pada si pria.

Selesai menumpahkan isi hati penuh emosional itu, dia langsung menutup telepon. Saya maklum, mungkin dia ingin menenangkan diri.

Sudah itu, teman saya itu langsung menanyakan apa yang dikatakan pacarnya. Saya kasih tahu saja apa adanya.

Eh, malah gantian dia yang mengumpat-umpat. Busyet dah! Saya terbengong, merasa seperti orang tolol, mendapati diri terjebak di tengah-tengah dua orang yang sedang berselisih, tapi tidak tahu masalahnya apa.

Kita juga akan merasa bodoh jika kita tidak menguasai atau tidak mengerti sesuatu.

Bayangkan seandainya dalam suatu perjalanan, kita (amit-amit) mengalami insiden kapal terdampar atau pesawat jatuh di daerah yang sama sekali asing.

Kemudian kita berjumpa dengan penduduk asli setempat. Mereka mengatakan sesuatu tapi kita tidak mengerti bahasanya. Saat itu kita bakal merasa dungu sekali, karena kita berada di kerumunan orang banyak tapi hanya kita yang tidak mengerti satu patah katapun.

Kebodohan juga sering dikaitkan dengan sesuatu yang tidak logis. Beberapa tahun yang lalu, Rieke Dyah Pitaloka memerankan karakter komedi-situasi bernama "Oneng" yang kondang dengan ke"o-on"annya. Omongannya nggak nyambung, analisanya tidak sinkron.

Pendek kata, dia dibilang "o-on" karena ketidaklogisan daya pikirnya. Dan bagaimana bila ada yang dengan yakin mengatakan bahwa ada laki-laki melahirkan anak? Tentu orang itu akan disebut "bodoh", atau bahkan "gila", karena apa yang dikatakannya itu tidak logis.

Tapi tidak ada yang lebih bodoh daripada orang yang "sengaja" tidak mau tahu, "sengaja" tidak mau belajar, dan "sengaja" tidak mau berpikir logis.

Okelah kalau ada orang melakukan sesuatu yang tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan kita. Meskipun awalnya mungkin kuping jadi merah, kita akan maklum juga dengan langgam bicara yang keras dari orang-orang suku tertentu, pembawaan mereka memang begitu.

Kita tahu, tidak ada maksud mereka untuk kasar. Namun tidak termaafkan jika kita melakukan sesuatu yang kita tahu pasti menyakiti orang lain atau membawa keburukan namun kita tidak mau tahu.

Orang mana yang sebegitu bodohnya sampai-sampai tidak tahu kalau sampah yang terus dibuang ke kali lama-lama akan membukit, menyumbat aliran air sehingga menyebabkan air itu meluap, yang disebut dengan banjir? Namun ironisnya, mengapa kita masih saja kerap melakukan itu? Tidakkah kita lebih bodoh daripada yang bodoh?

Pengalaman adalah guru terbaik, kata orang. Tapi, hanya orang bodoh yang mau belajar dari pengalaman, kata orang lain lagi.

Saya tidak tahu, orang yang menyatakan pendapat terakhir ini sebenarnya bijaksana atau bodoh bukan main.

Bagaimanapun, kita dapat belajar dari siapapun dan dari apapun, termasuk dari pengalaman. Belajar tidak selalu identik dengan menempuh pendidikan formal.

Belajar merupakan proses tak berkeputusan selama kita hidup. Semua yang kita lakukan harus mulai dari titik awal, yaitu belajar. Kita bisa berjalan karena pernah belajar jalan waktu bayi. Kita bisa baca-tulis-hitung karena pernah mempelajarinya di sekolah.

Apapun yang sekarang kita kerjakan dimulai dari tahap belajar, bukan dari potensi. Coba saja pikir kalau anak Anda punya tungkai dan kaki yang sehat tapi tidak mau belajar berjalan. Anak itu jelas punya potensi bagus, tapi sampai kapanpun dia takkan pernah bisa berjalan.

Jadi bukan potensi yang membuat kita kapabel, menjadikan kita sukses, melainkan proses belajar. Jadi, betapa bodohnya kita kalau selalu bermimpi akan sukses, bakal hidup sejahtera, namun tidak ada keinginan untuk belajar berjuang meraih cita-cita.

Ketidaksudian kita berpikir logis, malas pake otak, pun adalah bentuk kebodohan yang sangat parah. Saya selalu tidak sabar dengan perilaku sebagian sopir angkot. Jelas-jelas orang di pinggir jalan itu menolak angkot sebelumnya, padahal angkot itu relatif kosong, masih juga sopir angkot trayek yang sama di belakangnya menawari.

Bodohnya, di belakangnya lagi angkot lain, dengan trayek yang juga sama, menawari pula. Saya sering dengar dalih mereka: namanya juga usaha.

Kalau seperti itu, kita tentu akan memaklumi para maling, pembunuh bayaran, dan koruptor. Toh, namanya juga usaha. Tidak masuk akal, bukan? Tapi, celakanya, kita memang memakluminya. Buktinya, kita sendiri melakukan hal yang sama, 'kan?

Tapi di atas semua, tidak ada ketololan yang lebih menyedihkan ketimbang perbuatan sengaja "membodohi" atau "membodohkan" orang lain. Membodohi berarti memberi kebodohan. Membodohkan berarti membuat jadi bodoh.

Dua-duanya puncak segala kebodohan yang bisa dicapai manusia. Siapa yang dapat memberi uang banyak selain dia yang punya sangat banyak uang? Siapa lagi yang mampu menjadikan seseorang ahli matematika selain begawan matematika? Jadi, analoginya, siapa lagi yang dapat memberi kebodohan dan mampu menjadikan seseorang bodoh, selain orang yang sudah "piawai" bodohnya?

Orang seperti itu tidak sadar, dengan membodohi (kata lain: membohongi) orang lain, ia menimbulkan opini yang salah dari orang yang mendengarnya. Orang terakhir ini kemudian meneruskannya kepada orang lain lagi. Karena dipercaya lebih dari satu orang, opini berubah menjadi paham. Seterusnya, suatu saat, publik seluruh populasi akan menganut paham sesat tersebut. Makin lama mengendap, paham itu mengkristal menjadi pola pikir dan budaya.

Sama juga, dengan membodohkan orang lain, sang "pakar" kebodohan itu tidak sadar bahwa ia telah menebarkan benih "kontraproduktivitas". Dan gawatnya, benih ini sangat subur. Dia akan tumbuh dan menyebar cepat sekali seperti virus H5N1. Tidak produktifnya satu orang cepat sekali menulari etos kerja orang lain. Buntutnya, perekonomian makro menjadi mandeg, stagnasi global di segala bidang terjadi.

Dan si pandir itu, tentu takkan menyadari efek berantai yang mematikan dari kedua tindakan bodohnya itu. Dia takkan merasa bersalah dan bertanggungjawab atas semua itu.

Contoh konkret hasil panen sang "jago" kebodohan itu dapat kita lihat sendiri di sekitar kita; betapa bobroknya mental bangsa kita akibat budaya yang salah-kaprah, betapa acak-adutnya keadaan ekonomi nasional kita, dan betapa jauhnya bangsa kita tertinggal dalam banyak hal saat ini.

Sebagai pengakhir, kita perlu ikhlas mengakui bahwa kita semua bodoh. Siapa juga yang tidak? Selama manusia hidup dalam raga fananya, ia serba terbatas, termasuk kemampuannya. Keterbatasan itulah kebodohan. Tidak mungkin selama masih di dunia ini kita mampu melenyapkan kebodohan kita.

Namun tugas kita ialah terus mendaki, setinggi mungkin yang kita sanggup. Semakin bertambah ketinggian sebuah titik dari permukaan laut, semakin tipis lapisan udara di situ. Semakin tinggi jenjang kebijaksanaan kita, semakin tipis pula lapisan kebodohan kita.

Jadi kita harus terus naik, bukan malah menerpurukkan diri kita dalam sumur "kesengajaan" --yang sama dengan membodohi diri kita sendiri-- yang kadar gas beracun "kebodohan"nya pekat sekali.

Dan bagaimana kalau kita mulai menjejak di step pertama, yaitu pertanyaan: "bodoh itu apa sih?"?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun