Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Petir

27 Agustus 2018   17:17 Diperbarui: 27 Agustus 2018   17:21 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba saja itu terjadi. Seperti petir menyambar bumi pada siang hari --padahal saat itu malam, tengah malam, jam 11.20. Wita terbangun dengan dahi dan tubuh penuh keringat. Ada yang membuatnya terjaga tapi entah apa. Seperti mimpi buruk tapi ia tidak merasa bermimpi. Kalau tidak bermimpi, mana mungkin bisa jadi mimpi buruk, bukan?

Limbung kepala membuat Wita tak bisa berpikir. Sejenak dipejamkannya mata. Ah, itu mungkin memang cuma mimpi buruk, pikirnya. Sambil menarik nafas panjang ia meneliti sekitarnya. Di mana aku ini? tegunnya. Dua detik setelahnya ia baru ingat kalau sekarang ia sedang berada di kamar sebuah hotel. Kepalanya lamat-lamat menengok. Lelaki yang di sampingnya tertidur pulas.

Siapa...? Wita tersentak. Lagi-lagi dua detik emas dianugerahkan. Itu Wisnu, bawahannya di kantor yang kini jadi kekasih gelapnya, walau ia sendiri tak tahu apanya yang gelap. Karena Wisnu dan dirinya sendiri berkulit kuning terang. Dan hubungan mereka bukan rahasia di mana pun dan terhadap siapa pun. Pemandangan akan tubuh kekar kekasihnya yang telanjang membuat senyum Wita mengembang, terkenang perbuatan mereka beberapa jam lampau.

Wita kembali meluruskan kepala. Tarik nafas lagi. Diulurkannya kaki turun dari ranjang. Tapi mendadak ia kaget. Ada yang terinjak! Ia mendamprat sejadi-jadinya. Maklum, interupsi demi interupsi mengganggunya semalaman. Ia mencoba melihat apa yang barusan diinjaknya. Namun hanya kegelapan yang terlihat, meski ia sendiri ragu apakah kegelapan dapat dilihat.

Dengan malas ia berjalan ke sisi ranjang. Lampu tidur menyala seketika. Dinyalakan Wita, tentu saja, bukan menyala sendiri! Barulah tampak ada dompet di lantai. Dompet Wisnu. Secara refleks Wita mengambil dompet itu dan membuka untuk melihat isinya. Entah apa yang dicarinya, tapi ia merasakan insting aneh bahwa isi dompet, sesuatu di dalamnya, berhubungan dengan terjaganya dari tidur. Kedengaran absurd? Mungkin. Wita tercenung, lagi-lagi selama dua detik.

Tahu-tahu, tanpa disadarinya, telunjuk dan jari tengahnya mengempit sesuatu di dalam lipatan pinggir sebelah dalam dompet itu. Perlahan Wita menariknya keluar. Aneh, jantungnya berdebar kencang! Keringat semakin deras mengucur. Dan akhirnya.... Ah, ternyata cuma foto! pikir Wita. Ditariknya nafas panjang untuk ketiga kalinya pada malam itu, seraya mengarahkan pandangan pada foto di tangannya.

Belum lagi udara tuntas mengisi rongga paru-paru, sesuatu dalam foto itu menyalakan ledakan dalam otaknya. Laci memori terkuak keluar oleh ledakan yang seperti petir di siang hari, lagi-lagi! Petir dan laci bersinergi mengeluarkan bank memori yang terpendam, kembali pada suatu waktu di siang hari. Ya, betul-betul siang kali ini!

Sang ibu berjalan gontai di jalan desa. Gendongan bawaan di punggung, bungkusan kain di tangan kiri, dan anak perempuannya yang baru lima tahun di tangan kanan.

"Buat apa kita ke rumah Kakek, Mak?" tanya sang anak.

"Kamu tahu 'kan, Wita? Semua ini gara-gara bapakmu!" sergah sang ibu.

Wita kecil tidak mengerti gerutu sang ibu selebihnya tentang suaminya yang kawin lagi; tentang perceraiannya; tentang kembalinya ke kampung, ke rumah ayahnya. Yang Wita tahu cuma satu. Ia tidak suka berada di kampung. Bukan cuma karena ia sudah terbiasa di kota. Bukan cuma karena ia tidak begitu suka pada kakeknya dan nenek tirinya yang suka membentak-bentak. Tapi terlebih karena di sana ada Wito, adik tiri ibunya, yang suka sekali mengganggunya.

Dan petir pun menyambar lagi, mendamparkan Wita pada suatu siang yang lain.Ya, betul-betul siang, lagi-lagi!

Dapur penuh asap. Sia-sia sang gadis meniup-niup untuk menyalakan kompor suluh. Api tidak membesar, malah asap menyelubungi mukanya. Tahu-tahu seorang laki-laki berdiri di muka pintu dapur.

"Lagi apa, Wita-ku manis?" tanya si pemuda.

Wita, yang kini sudah lima belas tahun, mengebas-ngebaskan tangan di depan muka. Mukanya sendiri, bukan muka si pemuda.

"Mau apa lu, Wito?" katanya sambil terbatuk-batuk.

Wito berangsur mendekatinya.

"Susah ya, nyalain suluh? Sini, Sayang. Akang Wito bantu ya?"

Wito membungkuk, tapi bukan untuk membantu Wita menyalakan suluh, melainkan untuk memeluk Wita! Langsung saja Wita meronta sekuat tenaga. Ia berhasil melepaskan diri.

"Jangan macam-macam, Wito! Kalau nggak, gua teriak! Gua bilang nanti sama Mak dan Kakek perbuatan kurang ajar elu ini!"

Namun Wito yang sudah kerasukan nafsu cabul, tidak bergeming. Ia meraih Wita, kemudian membopongnya ke ruang makan. Wita yang malang meronta sia-sia. Tenaga Wito jauh lebih besar, apalagi sedang dipenuhi setan cabul. Dan di ruang makan itu kesucian Wita terenggut tanpa ada yang mendengar teriakannya, karena memang waktu itu rumah sedang kosong. Setelah puas melampiaskan hajatnya, Wito langsung pergi. 

Wita perlahan bangkit. Tertatih-tatih menuju ke luar rumah. Sakit hati dan dendam menguasainya, melebihi rasa sakit di bagian bawah perutnya. Ia tidak menangis. Sesampainya di sawah, ditemuinya ibunya. Diceritakannya semua yang baru dialami. Tangis sang ibu memecahkan keheningan sekitar. Wita yang sebelumnya tidak menangis, tidak dapat lagi menahan sesak. Ibu dan anak menangis pilu di tengah hamparan hijau sawah di kaki gunung.

Dan petirpun menyambar lagi!

Kali ini bukan siang, tapi sore menjelang magrib. Di ruang tamu itu ada dua pihak yang sedang menjajaki hal yang sensitif. Di satu sisi: Wita, ibu, kakek, nenek tirinya, dan beberapa uwak dan paman-bibinya, dengan beban berupa kehamilan Wita yang sudah berumur tiga bulan. 

Di sisi lain: Wahyu, juragan dan pemilik penggilingan padi tempat Wito bekerja, dengan kesediaan untuk menikahi Wita. Ada niat apa di balik kesediaan itu, tiada seorang pun tahu. Tampaknya, semua satu suara: kesediaan itu jalan keluar untuk menghapus aib --kalau itu bisa disebut aib. Namun anehnya, tak ada satupun suara terdengar menggugat perbuatan bejad Wito, yang menghilang entah ke mana. Entah bagaimana perasaan Wita remaja saat itu. Ia tidak bisa mengingatnya.

Sementara petir menyambar lagi!

Kali ini bukan lagi siang, bahkan bukan pula magrib. Melainkan malam. Ya, malam pengantinpun tiba. Kamar berhias, kelambu berenda, seprai warna-warni, semerbak bunga setaman, dan, apa lagi, selain sepasang pengantin baru.

Wita merasa pening, pusing, penat, lelah seharian penuh di kursi pelaminan. Wahyu pun sama. Namun saat Wita mulai melepas kebaya pengantinnya, menggerai rambut dari susuk dan sanggul, serta-merta hilang semua penat pada Wahyu. Hilang juga ingatan pada janjinya untuk tidak menyentuh Wita. Karena, sesuai perjanjian sebelum nikah, Wahyu hanya memberi status kepada Wita dan bakal anak yang dikandungnya.

Dan, sesuai perjanjian itu lagi, setelah Wita melahirkan, Wahyu akan segera menceraikannya. Kini ikatan perjanjian itu seakan terlepas seiring terlepasnya pakaian di tubuh Wita satu per satu. 

Gejolak hasrat Wahyu berkibar melihat kemolekan tubuh ranum remaja Wita. Tanpa banyak kata-kata, direnggutnya Wita, dihempaskan ke atas tempat tidur. Tak dihiraukannya protes Wita, karena ia tahu, secara hukum dan agama ia berhak penuh atas tubuh isteriya; hal mana juga disadari dengan sesak hati oleh Wita.

Batin Wita menjerit lagi. Tapi kali ini lebih pilu, karena ia tidak punya hak untuk melawan. Semua haknya untuk menyerahkan tubuh dan menikmati persetubuhan dengan orang yang dicintainya secara sukarela dan sukacita, telah dipasung oleh hukum atas nama agama. Lebih sakit lagi, orang yang melakukannya kali ini tidak dapat dihukum. Padahal ia telah melanggar janji, juga tidak mempedulikan keadaan Wita yang tengah hamil empat bulan.

Dan petir kembali menyambar keras!

Pagi! Betul dugaan semua! Kali ini gelombang pasang kenangan mengempas pagi. Wanita itu berjalan anggun menuju kantornya. Mengenakan pasangan blus dan rok warna kelabu dengan corak minimalis dan menonjolkan potongan tubuh sintalnya; arloji emas di pergelangan lengan kanan; kalung, gelang, dan cincin yang juga emas; serta tatarias; yang semuanya serba sederhana namun malah menambah nilai elegan pemakainya. Dengan senyum yang selalu terbayang oleh bibir yang menampakkan garis keras, serta rambut lurusnya yang dibiarkan tergerai sebahu, tidak akan ada yang percaya kalau wanita eksekutif ini sudah berusia empat puluh dua tahun.

Di muka pintu yang menuju ruang kantor direktur keuangan, sang sekretaris menyambut bosnya.

"Selamat pagi, Bu Wita."

"Pagi."

"Ada manajer promosi yang baru. Sesuai pesan Ibu, saya suruh dia menunggu di dalam."

"Terimakasih."

Wita melangkah dan membuka pintu. Seorang pria muda tampan berdiri menyambutnya. Wita tidak ingat bagaimana detail pertemuan pertama itu, namun yang dia tahu bahwa sejak itu hatinya untuk pertama kali tersentuh gairah cinta

Dua puluh enam tahun sudah perceraiannya dengan Wahyu. Perceraian yang menyakitkan, bukan hanya karena ketahuan kalau Wahyu ternyata sudah beristeri --Wati nama istri tuanya itu-- tapi terlebih karena Wahyu mengambil anak yang dilahirkannya, dan tidak mengizinkannya untuk merawat dan, bahkan, menjenguk anak itu.

Hidup Wita pasca-perceraian diisi dengan meneruskan sekolah hingga S-3. Hari-hari selanjutnya disibukkan oleh karier dan pekerjaan, hingga mencapai jenjang setinggi saat ini. Tak ada cinta. Tiada laki-laki diizinkan masuk. Hatinya membatu. Kegetiran hidup masa kecil dan masa remajanya membuat Wita menjadi wanita tangguh namun berhati es.

Pertemuan dengan Wisnu itulah saat pertama Wita mengenal cinta. Kepolosan, kejujuran, keterbukaan, juga kehangatan Wisnu mampu menjebol tembol batinnya, serta melumerkan es itu.

Hubungan dengan Wisnupun mengarah ke tingkat yang lebih serius. Mereka bertunangan setelah setahun berpacaran; satu setengah tahun setelah pertemuan itu. Di antara mereka sudah tidak ada batasan lagi. Kini Wita dengan bebas mencurahkan hasrat kepada orang yang dicintai. Keintiman bukan lagi sekadar wacana. Persetubuhan bukan lagi kejadian penuh trauma fisik dan psikis.

Seminggu lagi Wisnu akan mengenalkan Wita dengan kedua orangtuanya yang akan datang dari Eropa tempat mereka bertugas. Perbedaan usia tampaknya tidak menjadi hambatan bagi mereka, meski bisa diprediksi apa komentar orangtua Wisnu soal itu.

Semua tampak membahagiakan. Semua rintangan seolah tak berarti bagi pasangan yang dimabuk asmara dan bersemangat menyongsong hidup baru ini. Segalanya beres.... Setidaknya hingga malam ini....

Kini petir membawa Wita kembali. Foto masih dalam genggaman. Wisnu masih terlelap. Malam masih panjang. Kamar hotel tetap sunyi, hanya diterangi lampu tidur. Tapi benak Wita penuh gemuruh guntur dan kilatan cahaya petir yang akhirnya berubah menjadi ledakan dahsyat! Wita tersungkur di lantai. Foto terlepas. 

Di dalamnya tampak empat orang sedang berpose dengan latar menara Eiffel. Tiga laki-laki, satu perempuan. Semua dikenal Wita. Ada sesuatu dalam foto itu yang menimbulkan semua hiruk-pikuk model parade --atau perang-- dalam pikiran Wita. Bukan menara Eiffel. Tapi keempat orang tersebut. Pria yang satu adalah Wisnu.

Namun gambar keempat orang itu hanyalah kutub positif. Sedangkan kutub negatifnya, yang menyalakan percikan kilat saat bersentuhan dengan kutub positif, adalah tulisan di belakang foto: "Kenangan di Paris dengan Papa Wahyu, Mama Wati, dan Om Wito"!

Dan seketika semua menjadi senyap dan gelap-gulita.........!

_________________________________________________

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun