Di muka pintu yang menuju ruang kantor direktur keuangan, sang sekretaris menyambut bosnya.
"Selamat pagi, Bu Wita."
"Pagi."
"Ada manajer promosi yang baru. Sesuai pesan Ibu, saya suruh dia menunggu di dalam."
"Terimakasih."
Wita melangkah dan membuka pintu. Seorang pria muda tampan berdiri menyambutnya. Wita tidak ingat bagaimana detail pertemuan pertama itu, namun yang dia tahu bahwa sejak itu hatinya untuk pertama kali tersentuh gairah cinta
Dua puluh enam tahun sudah perceraiannya dengan Wahyu. Perceraian yang menyakitkan, bukan hanya karena ketahuan kalau Wahyu ternyata sudah beristeri --Wati nama istri tuanya itu-- tapi terlebih karena Wahyu mengambil anak yang dilahirkannya, dan tidak mengizinkannya untuk merawat dan, bahkan, menjenguk anak itu.
Hidup Wita pasca-perceraian diisi dengan meneruskan sekolah hingga S-3. Hari-hari selanjutnya disibukkan oleh karier dan pekerjaan, hingga mencapai jenjang setinggi saat ini. Tak ada cinta. Tiada laki-laki diizinkan masuk. Hatinya membatu. Kegetiran hidup masa kecil dan masa remajanya membuat Wita menjadi wanita tangguh namun berhati es.
Pertemuan dengan Wisnu itulah saat pertama Wita mengenal cinta. Kepolosan, kejujuran, keterbukaan, juga kehangatan Wisnu mampu menjebol tembol batinnya, serta melumerkan es itu.
Hubungan dengan Wisnupun mengarah ke tingkat yang lebih serius. Mereka bertunangan setelah setahun berpacaran; satu setengah tahun setelah pertemuan itu. Di antara mereka sudah tidak ada batasan lagi. Kini Wita dengan bebas mencurahkan hasrat kepada orang yang dicintai. Keintiman bukan lagi sekadar wacana. Persetubuhan bukan lagi kejadian penuh trauma fisik dan psikis.
Seminggu lagi Wisnu akan mengenalkan Wita dengan kedua orangtuanya yang akan datang dari Eropa tempat mereka bertugas. Perbedaan usia tampaknya tidak menjadi hambatan bagi mereka, meski bisa diprediksi apa komentar orangtua Wisnu soal itu.