Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Petir

27 Agustus 2018   17:17 Diperbarui: 27 Agustus 2018   17:21 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan petir pun menyambar lagi, mendamparkan Wita pada suatu siang yang lain.Ya, betul-betul siang, lagi-lagi!

Dapur penuh asap. Sia-sia sang gadis meniup-niup untuk menyalakan kompor suluh. Api tidak membesar, malah asap menyelubungi mukanya. Tahu-tahu seorang laki-laki berdiri di muka pintu dapur.

"Lagi apa, Wita-ku manis?" tanya si pemuda.

Wita, yang kini sudah lima belas tahun, mengebas-ngebaskan tangan di depan muka. Mukanya sendiri, bukan muka si pemuda.

"Mau apa lu, Wito?" katanya sambil terbatuk-batuk.

Wito berangsur mendekatinya.

"Susah ya, nyalain suluh? Sini, Sayang. Akang Wito bantu ya?"

Wito membungkuk, tapi bukan untuk membantu Wita menyalakan suluh, melainkan untuk memeluk Wita! Langsung saja Wita meronta sekuat tenaga. Ia berhasil melepaskan diri.

"Jangan macam-macam, Wito! Kalau nggak, gua teriak! Gua bilang nanti sama Mak dan Kakek perbuatan kurang ajar elu ini!"

Namun Wito yang sudah kerasukan nafsu cabul, tidak bergeming. Ia meraih Wita, kemudian membopongnya ke ruang makan. Wita yang malang meronta sia-sia. Tenaga Wito jauh lebih besar, apalagi sedang dipenuhi setan cabul. Dan di ruang makan itu kesucian Wita terenggut tanpa ada yang mendengar teriakannya, karena memang waktu itu rumah sedang kosong. Setelah puas melampiaskan hajatnya, Wito langsung pergi. 

Wita perlahan bangkit. Tertatih-tatih menuju ke luar rumah. Sakit hati dan dendam menguasainya, melebihi rasa sakit di bagian bawah perutnya. Ia tidak menangis. Sesampainya di sawah, ditemuinya ibunya. Diceritakannya semua yang baru dialami. Tangis sang ibu memecahkan keheningan sekitar. Wita yang sebelumnya tidak menangis, tidak dapat lagi menahan sesak. Ibu dan anak menangis pilu di tengah hamparan hijau sawah di kaki gunung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun