Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merevolusi Mental dan Kesehatan Reproduksi Generasi Muda: Pendidikan Nikah, bukan Sekadar Pendidikan Seks!

11 Juli 2016   15:18 Diperbarui: 11 Juli 2016   15:37 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita ragu sekali, apakah mereka bisa mengerti dan menerima, lalu sekaligus kita juga takut kalau-kalau jawaban itu justru membuat mereka mengajukan pertanyaan berikutnya yang jauh lebih membuat kita pusing! Padahal, jawab saja, “Kamu itu diciptakan Tuhan melalui pernikahan dan cinta Mama/Mami/Ibu/Bunda dengan Papa/Papi/Ayah/Bapak, Sayang!” Singkat, padat, jelas, gamblang, tetapi begitu sederhana sehingga bisa dicerna dan diterima pemikiran anak-anak, bukan? Dan, kita sadari ataupun tidak, jawaban seperti itu akan terukir sangat dalam di hati dan jiwa anak-anak! Dan, hebatnya lagi, bukan kata-kata dari jawaban itu saja yang terukir begitu dalam, namun juga kesan dan persepsi yang sangat indah tentang Tuhan, asal-muasal kehidupan, cinta, pernikahan, dan kedua orangtua mereka, bahkan juga keluarga!

Setelah mengenal dan menginternalisasi dasar-dasar dari kehidupan, yaitu asal-mula kehidupan, yang diperoleh dari inisiatif Tuhan dan kolaborasi Beliau dengan orangtua melalui perkawinan yang dibuka, dijalankan, dan kelak juga bakal ditutup oleh cinta, anak-anak pun siap untuk diajari oleh pernikahan tentang pengenalan awal akan makhluk hidup. Teristimewa, manusia. Khususnya, diri si anak itu sendiri. Sebagaimana telah kita lihat sebelumnya, perkawinanlah yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan sesuai gambaran dan citra diri Tuhan sendiri. Dengan demikian, sejak awal sekali, tanpa ia sendiri sadari, si anak sudah menanamkan informasi tersebut di dalam jiwanya. Informasi terawal dalam kehidupanlah yang akan menentukan bentuk, pola, dan gerak mental seseorang pada tahap-tahap selanjutnya dari kehidupannya. Jika yang tertanam adalah informasi tentang keberhargaan manusia terkait eksklusivitas kemiripannya dengan Tuhan, maka sikap, perilaku, dan bahasa tubuh orang tersebut akan mencerminkan mental yang menghargai manusia, termasuk dirinya sendiri, tentunya.

Penghargaan akan Tuhan dan manusia itu sesungguhnya merupakan tanah yang paling ideal untuk benih cinta dan kasih-sayang. Karena itu, setelah menginternalisasi ke-mahasegala-an Tuhan dan nilai tinggi manusia, si anak pun siap untuk belajar mengenai cinta. Pernikahanlah yang dapat mengajarkan, seperti yang sudah kita simak di atas, bahwa cinta itu seperti roh, tidak kelihatan, maka supaya bisa terlihat, cinta membutuhkan bantuan komitmen sebagai tubuhnya. Dan yang menjadi otot dari tubuh yang bernama “komitmen” itu adalah sesuatu yang bernama “perjuangan” alias “pengorbanan”. Semakin sering otot-otot “perjuangan” atau “pengorbanan” diolah dan digerakkan, makin kuat, sehat, bugar, dan kokoh pula tubuh “komitmen” itu, sehingga roh “cinta” yang ada di dalamnya pun ikut kuat, sehat, bugar, dan kokoh. Dan itu berlaku untuk semua bentuk dan manifestasi dari cinta.

Maka, ketika pelajaran sudah mengarah dan menjurus ke dimensi dan manifestasi yang lebih spesifik dari cinta, yaitu asmara, cinta yang berkaitan dengan seksualitas, maka di dalam mental si anak pun sudah terbakukan paradigma bahwa cinta asmara pun harus dibuktikan oleh komitmen dalam memperjuangkan cinta itu sendiri, demi si dia yang dicintai. Komitmen terhadap pengorbanan dan perjuangan inilah yang harus sungguh-sungguh kuat, sedemikian kuatnya, sehingga mampu menahan libido yang tenaganya besar bukan kepalang dalam meronta-ronta mencari pelampiasan. Apabila komitmen sekuat itu sudah tertanam dalam-dalam pada relung-relung kesadaran dan alam bawah sadar si anak, sampai nanti menjadi remaja dan dewasa pun ia akan terlatih dalam menahan berahinya hingga saatnya tiba untuk dilepaskan di satu-satunya tempat yang memang disediakan untuk sang nafsu, yaitu pernikahan, dan terhadap satu-satunya obyek yang halal, yakni isteri atau suaminya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun