Pernikahan memang harus dipermudah dan dimudahkan. Tetapi, pernikahan itu sama sekali bukan sesuatu yang gampangan! Bukan sesuatu yang murahan. Tidak satu pihak pun yang boleh menganggap enteng perkawinan. Karena, kebenarannya, justru sebaliknya: pernikahan adalah sesuatu yang bobotnya tak terhingga. Perkawinan pun sesuatu yang misterius dan tak terduga. Sebab, perkawinan adalah suatu kehidupan. Dan tak seorang pun yang mampu membaca jalan kehidupan yang masih membentang di depan dan belum dijalani.
Perkawinan adalah perwujudan tertinggi dari hakekat manusia sebagai makhluk sosial. Tidak ada bentuk sosialisasi dan sosialitas yang lebih intim, lebih harmonis, lebih indah, lebih agung, dan lebih paripurna ketimbang bersatunya dua insan yang berbeda jenis kelamin di dalam mahligai pernikahan. Namun, di sisi lain, semua masalah sosialisasi dan sosialitas pun ada di dalam perkawinan. Bahkan, semua masalah itu lebih kompleks terdapat dalam pernikahan, sebab pernikahan memiliki masalah sosialisasi dan sosialitas yang unik yang hanya ada di dalam pernikahan dan tidak akan dijumpai di kelompok sosial lain. Itu artinya, oleh pernikahan, pasangan suami-isteri dapat mengukur tingkat kemahiran diri masing-masing dalam bersosialisasi.
Pernikahan pun merupakan aktualisasi paling nyata dan paling indah dari cinta dan asmara. Di dalam pernikahanlah kita dapat melihat, betapa cinta itu tak lain adalah penyerahan diri penuh untuk melayani sang obyek cinta, sang kekasih hati. Perkawinanlah yang memperlihatkan sebuah hakekat dan kebenaran bahwa cinta yang sejati hanyalah cinta yang menjunjung tinggi kesetiaan. Dan karena perkawinan telah begitu mengangkat harkat cinta, maka cinta pun membalasnya dengan menjunjung tinggi pernikahan. Cinta di dalam pernikahan itu membuktikan bahwa pernikahan itu punya harga diri tinggi sehingga tidak menyediakan tempat bagi pendamping hidup lain, tidak ada tempat bagi orang ketiga, apalagi orang keempat, kelima, dan seterusnya, sebab cinta yang hidup di dalam perkawinan itu adalah cinta yang menuntut semua tempat yang tersedia di hati masing-masing suami dan isteri, tidak memperbolehkan masih adanya ruang kosong sekecil sekalipun!
Dan pernikahan juga adalah salah satu aspek termulia dari kemanusiaan. Aspek kemanusiaan bisa dikatakan paling mulia apabila bersifat ilahi. Jadi, pernikahan ialah sesuatu yang bersifat ilahi. Sebab, bukan saja kita harus senantiasa terhubung dengan Tuhan dalam menjalani perkawinan agar selamat dari segala badai, tantangan, halangan, rintangan, dan bahaya, tetapi perkawinan itu sendiri adalah hal yang dapat secara paling sempurna memperlihatkan Tuhan!
Mengapa Tuhan menciptakan manusia dengan jenis kelamin yang berpasangan? Karena, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mirip Sang Mahapencipta! Tidak mungkin bayangan global Tuhan akan terefleksikan seluruhnya jika manusia hanya terdiri dari satu jenis kelamin saja. Pria merepresentasikan kekuatan, kepemimpinan, ketegasan, kewibawaan, dan semua “sisi api” lainnya dari Tuhan. Sedangkan, wanita mewakili keindahan, kecantikan, kelembutan, kesabaran, dan semua “sisi air” lainnya dari Tuhan. Maka, ketika Adam dan Hawa menjadi satu, keduanya menyatukan pula kedua sisi gambaran pribadi Tuhan! Dan saat cinta laki-laki berfusi dengan cinta isterinya dalam peleburan paripurna secara spiritual, emosional, dan badaniah, terbentuklah cerminan dari syahdu dan panas-membaranya cinta-kasih Tuhan!
Serta, yang paling menggetarkan hati, sesungguhnya kemenyatuan pria dan wanita dalam seksualitas perkawinan adalah sebuah pewahyuan akan apa yang bakal terjadi kelak, yaitu bahwa pada akhir zaman nanti, Tuhan akan menyatu secara sempurna dan takkan terpisah lagi dengan mempelai-Nya, yakni umat-Nya dari kalangan manusia! Jadi, lihatlah: pernikahan manusia, terutama dan khususnya seksualitasnya, adalah sesuatu yang sangat ilahi! Bahkan, paling ilahi dari antara semua hal di dalam kemanusiaan! Itu sebabnya, Kerajaan Kegelapan di bawah pimpinan Iblis menjadikan seksualitas manusia sebagai target nomor satu untuk dihancurkan! Dan, tidak ada cara lain yang lebih efektif untuk menghancurkan kemuliaan seksualitas manusia selain dengan memisahkannya dari “perisai” pelindung kemuliaan itu sendiri, yakni institusi pernikahan!
Lagipula, bagaimanapun juga, perkawinan bukan melulu seksualitas, kendatipun hubungan seks memang merupakan puncak pengejawantahan penyatuan dua manusia dalam perkawinan. Seperti sudah disinggung juga di atas, pernikahan merupakan sebuah kehidupan. Dan sesuatu bisa disebut sebagai “kehidupan” jika sesuatu tersebut memenuhi empat syarat atau tanda atau ciri mutlak sebuah kehidupan. Pertama, adanya pertumbuhan dan perkembangan. Kedua, adanya proses reproduksi atau perkembangbiakan atau multiplikasi. Ketiga, memiliki kemampuan beradaptasi. Serta, yang keempat, mempunyai kemampuan memulihkan atau merehabilitasi atau merekondisi diri sendiri. Berarti, sebuah perkawinan seharusnya memperlihatkan keempat tanda atau ciri tersebut. Satu saja ada syarat yang belum atau tak terpenuhi, itu pertanda pernikahan yang bersangkutan sedang sakit dan disfungsi. Kalau keempat-empatnya tidak ada, maka patut dicurigai, pernikahan itu sudah lumpuh atau malah barangkali sudah mati!
Berkaitan dengan hal itu, ada kabar buruk dan kabar baik. Kabar buruknya, keempat tanda kehidupan tersebut harus ada dalam pernikahan bukan hanya pada satu saat tertentu saja, melainkan harus di sepanjang waktu. Padahal, untuk mengadakan satu syarat saja, diperlukan perjuangan yang sangat berat! Ambil saja sebagai contoh, tanda kehidupan yang kedua, yakni adanya proses reproduksi atau multiplikasi. Proses ini jangan diartikan sebagai mempunyai anak. Adanya proses reproduksi atau multiplikasi berarti adanya proses pelipatgandaan kehidupan. Maksudnya, sebuah perkawinan dikatakan bereproduksi atau bermultiplikasi sama sekali bukan karena pasangan yang kawin melahirkan anak biologis. Melainkan karena kedua insan tersebut mampu menjadi inspirasi dan memberi motivasi bagi banyak orang lewat perkawinan mereka.
Dengan begitu, artinya, pasangan suami-isteri tersebut telah menanamkan dan menstimulus tumbuh-kembangnya kehidupan yang berkualitas dan bermakna di dalam diri dan kehidupan orang lain. Misalnya, tidak usah muluk-muluk, dengan selalu tampak saling kompak, saling mendukung, dan saling mesra saja, suami-isteri itu sudah menciptakan kedamaian di hati orang yang melihat. Nah, coba saja pikir, apa tidak berat melakukan seperti itu? Itu baru satu tanda kehidupan. Hitung saja, bagaimana kalau kita dan isteri/suami kita harus terus-menerus mengupayakan adanya keempat tanda kehidupan di dalam perkawinan kita? Ya! Perkawinan memang adalah proses perjuangan mahaberat seumur hidup!
Namun, kabar yang menggembirakannya lebih hebat! Pertama-tama, andaikatapun sebuah perkawinan sudah tidak punya keempat syarat kehidupan lagi, alias sudah lumpuh atau malah sudah mati, terlebih lagi apabila keadaan tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun, akan tetapi, asalkan jalinannya masih ada, pernikahan tersebut tetap dapat terselamatkan. Dapat dihidupkan lagi. Sehingga kembali dapat memunculkan sedikitnya satu tanda kehidupan, dan bahkan keempat-empatnya! Kabar baik yang kedua, karena pernikahan memperlihatkan keagungan diri Tuhan, maka jelas, Tuhan punya kepentingan penuh agar pernikahan manusia bukan hanya tetap terjalin dan hidup, tetapi juga terjalin dan hidup secara berkualitas dengan mutu yang terus meningkat! Itu berarti, asalkan kita bersama suami/isteri kita bertekad kuat merealisasikan hal tersebut dalam perkawinan kita, kita tidak akan berjuang sendirian dengan kekuatan kita sendiri. Tuhan pun, tidak hanya menolong, juga ikut berjuang secara aktif bersama kita, yang mana tentu saja menggunakan kekuatan-Nya!
Kesimpulannya, pernikahan adalah perjuangan terbesar yang bisa dijalani umat manusia, namun itu adalah perjuangan yang sangat layak dilakoni kalau perlu sampai mati sekalipun! Karena, perkawinan menjanjikan sesuatu yang paling berharga yang bahkan tidak pernah bisa dibayangkan oleh manusia. Pernikahan menjanjikan kehadiran Tuhan!