Kalau memang terbukti sangat bagus dan bermanfaat, kenapa Negara tidak menyelenggarakan “pendidikan pernikahan” yang wajib?
Itulah garis-besar dari semua hal tentang perkawinan. Itulah garis-besar yang harus diketahui, dipahami, dipelajari, dan diinternalisasi oleh semua orang di seluruh dunia dan di segala zaman, tanpa terkecuali. Mengetahui dan mengerti semua itu, kita harusnya menyimpulkan, langkah jitu untuk melakukan revolusi mental dan kesehatan reproduksi generasi muda Indonesia ialah dengan pendidikan nikah. Bukan sekadar pendidikan seks.
Kegiatan pendidikan pernikahan sendiri merupakan aktivitas yang sudah ratusan, bahkan ribuan, tahun dilakukan di seluruh dunia oleh Gereja bagi pasangan jemaat yang hendak menikah. Sekarang ini, organisasi Islam dan organisasi agama-agama lain di Indonesia pun sudah ikut menerapkan keharusan pendidikan nikah semacam ini bagi pasangan umat yang mau menikah. Ini tentunya sebuah langkah yang sangat tepat dan benar. Kian banyaknya umat yang bercerai dari hari ke hari adalah sebuah pelajaran penting, yang biarpun pahit namun tetap mengandung manfaat yang tak terhingga jika mau ditarik hikmahnya.
Maka, pertanyaan besarnya, mengapa Negara tidak belajar dari pengalaman pahit yang sama yang menimpa warganya, dengan cara segera mengadaptasi kegiatan pendidikan pra-nikah ini sebagai kegiatan yang wajib diikuti oleh warganegaranya? Dalam hal ini, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (B.K.K.B.N.), selaku representasi Negara, seyogyanya menjadi pemrakarsa, atau sponsor, atau bahkan sekaligus menjadi operator, dari kegiatan pra-nikah ini. Perlu juga koordinasi dan gotong-royong terpadu dengan berbagai kementerian lain, misalnya Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak, Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, juga dengan para biro konsultasi psikologi, serta tentunya juga organisasi-organisasi keagamaan serta kelompok-kelompok masyarakat adat. Ini diperlukan guna mengumpulkan materi dan mendiskusikan metode pendidikan yang tepat-guna sehingga menjadi berdimensi sekaya mungkin, sebab topik pernikahan memang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang: agama, kesehatan, kearifan lokal, budaya, dan lain sebagainya.
Kenapa pendidikan nikah itu mesti wajib? Terus juga, apa manfaatnya buat anak-anak, khususnya untuk merevolusi mental dan kesehatan reproduksinya?
Pendidikan nikah itu wajib? Ya! Siapa saja yang perlu diwajibkan mengikuti pendidikan ini? Ya jelas, semua warganegara tanpa terkecuali, termasuk dan terutama para pemimpinnya, baik pemimpin pemerintahan, pemimpin budaya, pemimpin agama, maupun pemimpin-pemimpin lainnya. Bukankah namanya saja “revolusi mental dan kesehatan reproduksi generasi muda”? Kalau “revolusi”, ya sifatnya harus semesta! Tetapi, bukankah revolusi itu untuk membentuk mental dan kesehatan reproduksi generasi muda? Jadi, harusnya cuma generasi muda saja yang diwajibkan, bahkan semestinya hanya generasi muda saja yang ikut pendidikan ini, bukan? Tidak!
Bukankah kita sudah lihat di atas, generasi muda itu perlu dibimbing supaya mental dan tatanan kehidupan reproduksinya kembali sehat dan benar, cuma, masalahnya, yang mau membimbingnya saja nyaris seluruhnya sama-sama sakit mental dan kehidupan reproduksinya lantaran tak mengindahkan nilai ilahi pernikahan? Maka, justru para pemimpinlah yang terlebih dahulu harus dibenarkan mental dan tatanan kehidupan reproduksinya, dengan membenahi paradigma mereka akan perkawinan! Hanya orang-orang dengan pandangan dan penghormatan yang benar dan sehat terhadap pernikahan sajalah yang pantas membimbing mental dan tatanan reproduksi anak-anak muda bangsa ini!
Lalu, mungkin sekali banyak di antara kita yang bertanya-tanya, “Baiklah, bisa dimengerti apabila para pemimpin, dokter, psikolog, relawan, dan calon pembimbing lainnya bagi anak-anak muda itu diharuskan mengikuti pendidikan nikah. Karena, sebagian besar dari mereka memang sudah menikah, dan sebagian lagi yang belum menikah pun usianya sudah dewasa dan matang sehingga sudah pantas dan siap untuk menikah? Jadi, pendidikan pernikahan itu betul-betul berguna untuk mereka. Tetapi, untuk remaja, apalagi anak-anak yang usianya belum sepuluh tahun? Apa manfaatnya membekali mereka dengan pendidikan nikah? Toh, masih sangat jauh sekali mereka dari masa perkawinan?”
Justru itu! Justru karena remaja, apalagi kanak-kanak, masih jauh dari perkawinan! Dan justru karena mereka masih jauh pula perjalanannya mengarungi kehidupan! Itulah mengapa disebut “pendidikan sejak dini”! Maka, sejak sedini mungkinlah seorang manusia seharusnya dibekali pengetahuan yang komprehensif akan kehidupan yang sehat dan benar, supaya kelak yang mereka jalani pun adalah kehidupan yang sehat dan benar pula. Dan semua hal tentang kehidupan bisa didapatkan dari perkawinan. Terlebih, sebagaimana kita lihat tadi, pernikahan itu sendiri pun ialah sebuah kehidupan.
Ketika Tuhan menciptakan semua makhluk fisik di bumi ini, termasuk manusia, Ia memberi perintah agar mereka memenuhi bumi dengan cara memperbanyak kehidupan baru. Alias, menghasilkan individu-individu baru yang sesuai dengan spesies masing-masing. Bagaimana cara para makhluk fisik, termasuk Adam dan Hawa, melakukan perintah tersebut? Tidak ada metode dan cara lain! Hanya lewat perkawinan, yang dalam dunia manusia ditambahkan lagi satu unsur pengesahan Tuhan ke dalamnya sehingga juga menjadi bernama “pernikahan”! Artinya, satu-satunya metode untuk menghasilkan lebih banyak lagi kehidupan ialah pernikahan atau perkawinan! Jadi, dengan apa kita dapat merangsang mental anak-anak bangsa kita yang masih sangat muda itu guna menghasilkan beraneka-ragam “kehidupan” di dalam jiwa mereka? Dengan menanamkan nilai-nilai pernikahan ke dalam pikiran dan emosi mereka!
Bukankah pertanyaan yang termasuk paling awal ditanyakan anak-anak kepada orangtuanya atau kepada orang dewasa di dekatnya, tetapi yang juga membuat kita paling kewalahan menjawabnya, adalah: “Saya datang dari mana? Adik keluar dari mana?” Mau sampai kapan kita mau menyadari bahwa pertanyaan paling awal dari anak-anak sendiri pun adalah pertanyaan yang sangat kental dan amat nyata bernuansa perkawinan? Pernah bertanya-tanya, kenapa kita kesulitan menjawab mereka kala mereka melontarkan pertanyaan itu? Sebab, alih-alih menggunakan paradigma dan sudut pandang pernikahan ketika merumuskan jawabannya, yang mana memang seharusnya begitu, kita malah memakai mindset seksualitas, yang justru akibatnya malah membawa diri kita sendiri ke dalam dilema, karena kita risih sendiri karena gamang, apakah pantas membicarakan proses seksualitas kepada anak-anak, atau kalau kita bungkus topik seksualitas itu dengan keilmiahan.