Mohon tunggu...
samuel purba
samuel purba Mohon Tunggu... Administrasi - PNS, pemerhati sosial

Penikmat alam bebas dan bebek bakar; suka memperhatikan dan sekali-sekali nyeletuk masalah pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan; tidak suka kekerasan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tulus dalam Heterogenitas, Meretas Sekat "Aku" dan "Kalian" di Masyarakat

20 Mei 2018   19:14 Diperbarui: 20 Mei 2018   19:25 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya tergelitik, sedikit terkejut, sekaligus terharu saat membaca status teman lama di dinding facebook miliknya. Teman saya yang baik ini seorang wanita Muslim, membagikan kisah yang disebutnya sebagai kenangan penuh damai.

Kenangan tersebut sudah lebih 20 tahun lalu, dimana kami, satu angkatan sekolah mulai pendidikan dasar sampai tingkat menengah, berada dalam satu lingkungan yang sama, yaitu komplek perumahan milik perusahaan negara yang cukup besar di Riau.

Teman saya tersebut membagikan bagaimana pertemanan yang sangat dekat meskipun kami berasal dari suku dan agama yang beragam. Sebagai sesama anak dari para pegawai BUMN tersebut, kami memang sudah terbiasa saling berkunjung ke rumah teman dan tetangga, nonton film, atau makan bersama. Ada saja yang bisa dilakukan sepanjang hari sehingga tidak terasa waktu berlalu begitu cepat.

Salah satu yang paling berkesan memang adalah suasana bulan Ramadhan dan perayaan Hari Raya Idul Fitri. Sebagian besar pegawai (dan keluarganya tentunya) beragama Islam, sehingga nuansa keislaman sangat terasa terutama di momen-momen tersebut.

Saya masih sangat ingat permainan rakyat yang biasa dimainkan setelah lewat mahgrib sambil menunggu sholat tarawih. Misalnya meriam dari bambu, kembang api, mercon, gasing, dan lain sebagainya. Bahkan saat malam takbiran datang kami semua berkumpul bersama, saya ikut menumpang mobil keluarga teman saya, atau bus milik perusahaan sambil menikmati gema takbir dikumandangkan di sepanjang jalan.

Dan saat hari raya tiba, kami pun turut menikmati berbagai sajian khas lebaran berupa lontong opor ayam, ketupat, mpek-mpek, tekwan, dan berbagai penganan manis lainnya. Saling berkunjung ke rumah teman, ikut membeli baju baru, dan berbagai kegiatan lainnya.

Saya sendiri bahkan hampir setiap hari bermain di rumah teman dekat saya yang orang tuanya adalah seorang Haji yang dihormati di lingkungan kami. Di rumah itu saya sangat mengetahui bagaimana ibu teman saya tersebut begitu kuatnya mengingatkan anak-anaknya jika waktu sholat sudah tiba. Mereka sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran saya, bahkan saya sering disuguhi berbagai makanan di rumah tersebut.

Balik lagi dengan curhat teman saya di FB tersebut. Dia mengungkapkan rasa syukurnya karena pernah menjadi bagian dalam komplek perumahan tersebut, memiliki teman dengan berbagai latar belakang, dan mengalami berbagai momen indah bersama teman-temannya tersebut.

Tulus dalam heterogenitas, begitu konsep yang dipakai teman saya tersebut. "Kami hanya berbicara mengenai 'kita' bukan tentang 'siapa aku'. Itulah sebabnya semua merasa menjadi saudara..." Itulah salah satu kalimatnya yang begitu mengena di hati saya.

Sekali lagi bagi teman saya itu, momen 20 tahun lalu adalah momen yang penuh kedamaian, di mana tidak ada apripori satu dengan lainnya, tidak ada sekat, yang ada hanya pertemanan yang saling memahami dan saling mendukung. Dan lebih menarik lagi, ternyata cerita teman saya itu mengundang reaksi yang sama dari ratusan teman-teman lainnya. Kami yang kini sudah terpencar di berbagai penjuru nusantara, merasa dipersatukan dengan kisah dan pengalaman bersama di masa lalu.

***

Mengapa cerita teman saya tersebut menggelitik hati saya? Sebetulnya tidak ada yang aneh atau hal yang sangat special dari kisah tersebut. Hanya saja (terus terang dan minta maaf) akhir-akhir ini perbincangan antara teman lama khususnya di media sosial tidak begitu menarik bagi saya.

Sudah beberapa grup WA alumni sekolah yang memasukkan saya sebagai anggota. Namun saya merasa perbincangan di dalam grup tersebut cukup banyak yang menyinggung hal-hal yang sinsitif, yaitu agama dan politik.

Entah siapa yang memulainya, kemudian isi percakapan mengarah kepada dua topik tersebut. Memang benar dan harus diakui bahwa kedua topik tersebut telah menjadi warna dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya menjadi wajar jika itu juga yang ramai dibicarakan di media sosial.

Saya tidak mau menyinggung atau memberi pandangan bagaimana fenomena tersebut terjadi yang mana akselerasinya terasa semakin cepat khususnya di tahun-tahun politik. Namun rasa-rasanya koq tidak adil jika hubungan pertemanan yang selama ini baik berubah menjadi kaku dan berjarak akibat isu-isu tersebut.

Yang saya lihat masyarakat dengan "gampang"nya dikotak-kotakkan dengan simbol-simbol (ejekan) politik yang sangat mengesalkan (semisal ceb*ng atau kampr*t). Ketika salah seseorang tidak sejalan, bahkan hanya sekedar mengkritisi atau mengingatkan statement langsung dicap dengan istilah-istilah di atas.

Maka percakapan langsung berubah menjadi tidak menarik lagi. Sampai sekarang saya tidak mengerti apa yang menarik dari simbol-simbol murahan yang sangat mungkin dirancang oleh orang-orang pencari kekuasaan tersebut? Karena bagi saya yang menarik di dalam sebuah komunitas adalah saling berbagi, membangun, dan melakukan hal-hal yang positif.

Oleh karena itu terus terang saya agak traumatis jika diundang bergabung dalam grup WA alumni atau mantan sekolah tertentu. Takut nanti percakapannya menjurus ke hal yang itu-itu saja.  

***

F. Budi Hardiman pernah menulis tentang Heterofobia, Takut Akan Yang Lain. Dalam tulisannya itu diuraikan bahwa dalam hidup bersasam di sebuah masyarakat kita niscaya diperhadapkan dengan "yang lain" sesuatu yang berbeda/ tidak sama dengan kita. Perbedaan tersebut dapat berupa fisik, bahasa, kebiasaan, keyakinan, dan norma/ budaya. Persoalannya adalah bahwa kita dan "yang lain" itu berada di dalam ruang sosial yang sama.

Akibat perbedaan tersebut sering memancing anomali dan kebingungan, mulai dari mengapa berbeda hingga siapa yang benar/salah atas perbedaan tersebut. Yang bisa menjadi masalah adalah saat perbedaan tersebut berubah menjadi ketakutan.  Ketakutan dimulai dari kecurigaan. Kecurigaan dapat berubah menjadi stigmanisasi atau labelisasi akan "yang lain" tersebut. Oleh karena itu penting dijawab dengan jujur, apakah objek tersebut memang menakutkan atau konstruksi pikiran kita yang membuatnya menakutkan?

Perbedaan itu dapat membuat takut untuk bersentuhan. Rasa takut bersentuhan itu memunculkan blokade/ pengkotak-kotakan. Celakanya jika wilayah ini dimasuki oleh struktur kekuasaan/ politik maka sangat berpotensi memunculkan kepanikan. Kepanikan itulah yang saya rasakan secara pribadi terasa begitu menonjol dalam berbagai obrolan di media sosial akhir-akhir ini. "Kita" menjadi memudar, yang ada hanya  "Aku/ Kami" dan "Kalian".

Berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di negara kita cenderung membawa pemisahan di masyarakat yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Kasus-kasus seperti ujaran kebencian, penodaan agama, dan berbagai istilah lain kerap menjadi konsumsi publik yang seakan-akan tak habis-habisnya. Ditambah lagi dengan peristiwa bom di tiga gereja di Surabaya dan penyerangan terhadap institusi keamanan negara (polisi). Semuanya harus disikapi secara jernih.

Masyarakat disuguhi berbagai analisis dan pandangan yang dapat saja memojokkan kelompok bahkan agama tertentu. Dampaknya bisa kemana-mana bahkan bisa merusak berbagai sendi kehidupan bermasyarakat. Kebersamaan dan "kekitaan" yang selama puluhan bahkan ratusan tahun sudah terbangun bisa saja berubah menjadi "aku" dan "kalian" dengan  berbagai stigma yang memblokade persentuhan damai. Persentuhan-persentuhan damai itulah yang menurut saya dibutuhkan oleh  kita saat ini.

Oleh karenanya curhat teman saya di atas tadi menjadi sebuah langkah yang tidak hanya mengungkit kedamaian di masa lalu, tetapi juga membawa kedamaian di hatinya (dihati saya, dan semoga di hati teman-teman semua). Hal-hal "sederhana" seperti inilah yang begitu saya rindukan semakin hadir terutama di bulan baik yang penuh berkah ini. Semoga [!].    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun