Mengapa cerita teman saya tersebut menggelitik hati saya? Sebetulnya tidak ada yang aneh atau hal yang sangat special dari kisah tersebut. Hanya saja (terus terang dan minta maaf) akhir-akhir ini perbincangan antara teman lama khususnya di media sosial tidak begitu menarik bagi saya.
Sudah beberapa grup WA alumni sekolah yang memasukkan saya sebagai anggota. Namun saya merasa perbincangan di dalam grup tersebut cukup banyak yang menyinggung hal-hal yang sinsitif, yaitu agama dan politik.
Entah siapa yang memulainya, kemudian isi percakapan mengarah kepada dua topik tersebut. Memang benar dan harus diakui bahwa kedua topik tersebut telah menjadi warna dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya menjadi wajar jika itu juga yang ramai dibicarakan di media sosial.
Saya tidak mau menyinggung atau memberi pandangan bagaimana fenomena tersebut terjadi yang mana akselerasinya terasa semakin cepat khususnya di tahun-tahun politik. Namun rasa-rasanya koq tidak adil jika hubungan pertemanan yang selama ini baik berubah menjadi kaku dan berjarak akibat isu-isu tersebut.
Yang saya lihat masyarakat dengan "gampang"nya dikotak-kotakkan dengan simbol-simbol (ejekan) politik yang sangat mengesalkan (semisal ceb*ng atau kampr*t). Ketika salah seseorang tidak sejalan, bahkan hanya sekedar mengkritisi atau mengingatkan statement langsung dicap dengan istilah-istilah di atas.
Maka percakapan langsung berubah menjadi tidak menarik lagi. Sampai sekarang saya tidak mengerti apa yang menarik dari simbol-simbol murahan yang sangat mungkin dirancang oleh orang-orang pencari kekuasaan tersebut? Karena bagi saya yang menarik di dalam sebuah komunitas adalah saling berbagi, membangun, dan melakukan hal-hal yang positif.
Oleh karena itu terus terang saya agak traumatis jika diundang bergabung dalam grup WA alumni atau mantan sekolah tertentu. Takut nanti percakapannya menjurus ke hal yang itu-itu saja. Â
***
F. Budi Hardiman pernah menulis tentang Heterofobia, Takut Akan Yang Lain. Dalam tulisannya itu diuraikan bahwa dalam hidup bersasam di sebuah masyarakat kita niscaya diperhadapkan dengan "yang lain" sesuatu yang berbeda/ tidak sama dengan kita. Perbedaan tersebut dapat berupa fisik, bahasa, kebiasaan, keyakinan, dan norma/ budaya. Persoalannya adalah bahwa kita dan "yang lain" itu berada di dalam ruang sosial yang sama.
Akibat perbedaan tersebut sering memancing anomali dan kebingungan, mulai dari mengapa berbeda hingga siapa yang benar/salah atas perbedaan tersebut. Yang bisa menjadi masalah adalah saat perbedaan tersebut berubah menjadi ketakutan. Â Ketakutan dimulai dari kecurigaan. Kecurigaan dapat berubah menjadi stigmanisasi atau labelisasi akan "yang lain" tersebut. Oleh karena itu penting dijawab dengan jujur, apakah objek tersebut memang menakutkan atau konstruksi pikiran kita yang membuatnya menakutkan?
Perbedaan itu dapat membuat takut untuk bersentuhan. Rasa takut bersentuhan itu memunculkan blokade/ pengkotak-kotakan. Celakanya jika wilayah ini dimasuki oleh struktur kekuasaan/ politik maka sangat berpotensi memunculkan kepanikan. Kepanikan itulah yang saya rasakan secara pribadi terasa begitu menonjol dalam berbagai obrolan di media sosial akhir-akhir ini. "Kita" menjadi memudar, yang ada hanya  "Aku/ Kami" dan "Kalian".