Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perploncoan Siswa: Mengapa Terulang Terus & Apa Alternatif Penggantinya?

29 Juli 2015   16:16 Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:22 1710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk menggantikan kegiatan perploncoan, maka bisa dibuat berbagai kegiatan pengganti. Namun pada prinsipnya, kegiatan ini harus mengikuti 5 panduan di bawah ini sebagai acuan pelaksanaannya.

Kegiatan itu bisa apa saja. Saya harap para guru dan pendidik bisa kreatif mencari kegiatan apa yang sesuai dengan program sekolah, visi dan misi sekolah, yang sedang berlaku di lingkungan sekolah, dsb.

Inilah panduan penerapannya:

1. Libatkan Para Siswa sebagai Pencipta Kegiatan - Siswa, sebagai individu unik yang beragam latar belakangnya, hendaknya diminta ikut serta dalam merancang kegiatan apa yang mereka inginkan. Tiap kelas bisa saja berbeda dalam menentukan kegiatan selama masa orientasi "model baru" ini. Dengan melibatkan mereka saja, faktor kebersamaan dan rasa memiliki dari kegiatan edukasi itu sudah menjadi bagian yang terintegrasi otomatis. Hal ini adalah metode memberi jalan untuk membuka inspirasi siswa.

2. Buat Kegiatan yang Kompetitif - Kompetisi otomatis muncul bila pihak sekolah menetapkan hanya siswa/kelas tertentu yang akan jadi pemenang. Secara praktis bisa berbasis poin/nilai, badge/predikat atau batasan waktu. Dengan adanya unsur kompetisi, para siswa akan lebih berorientasi bermain dan pada aspek tertentu kompetisi ini akan mendorong kolaborasi. Untuk kasus kegiatan sekolah tentu ini adalah hal positif di mana kita berusaha membuat semua siswa berpartisipasi. Dipadukan dengan kegiatan yang sudah terarah untuk edukasi, siswa tidak merasa bahwa kegiatan itu adalah proses belajar yang membosankan.

3. Gunakan Papan Nilai - Setiap individu cenderung menginginkan penghargaan dan bila namanya tertera di papan pengumuman maka rasa bangga akan menjadi pendorong yang kuat. Bahkan pihak yang kalah pun bisa ditantang lagi untuk bisa mengejar ketertinggalan mereka. Papan Nilai yang selalu bisa diakses siswa akan memberikan proses tersebut. Apa manfaat papan nilai? Memberikan penjelasan akan posisi dan pencapaian mereka terhadap siswa/kelas lain. Metode ini sudah umum digunakan di berbagai pertandingan bukan? Lalu kenapa kita tidak manfaatkan saja? Selain skor nilai, pencantuman predikat tertentu pun akan menimbulkan efek yang bagus. Misalnya: kelas terkompak, kelas tercepat, kelas paling kreatif, paling rajin, paling kreatif. Silahkan tambah sendiri pencapaian apa yang anda harapkan dari siswa anda. Bila nama siswa/kelas terpampang dan bisa dilihat/diakses semua orang, menurut anda apa akibatnya? Mereka akan mengingat peristiwa ini dengan sangat baik bukan? Dibanding trauma perploncoan bagaimana?

4. Gunakan Teknologi - Hei.. siswa sekarang sudah biasa pakai Facebook dan Twitter, belum lagi Instagram dan Path. Lalu kenapa tidak digunakan saja untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka melakukan kegiatan yang positif. Bayangkan kalau sekolah anda berlomba membersihkan sampah di sekolah dan sekitarnya. Lalu mereka berlomba-lomba mencari dukungan dari netizen di dunia maya. Selain ekspos positif dari publik, menurut anda bagaimana masyarakat memandang kegiatan seperti ini? Selain ke publik, tentu jangan lupa orang tua siswa juga perlu tahu kalau anaknya melakukan kegiatan positif secara massal... wow efeknya.

5. Biarkan Mereka Bermain & Menikmatinya - Sebagai pendidik, sekolah dan para guru hanya perlu menjaga agar kegiatan ini berlangsung dengan baik dan aman. Kita tidak perlu mengatur terlalu banyak. Biarkan mereka bereksplorasi bahkan menghadapi kegagalan dalam melaksanakan kegiatannya. Jangan dimarahi atau ditegur. Malah ajak lagi untuk mencoba dan mengulangi. Bukankah hidup seperti itu? Bagaimana menurut anda bila siswa diberi peluang kedua kali untuk memperbaiki kesalahannya? Menurut anda apa yang akan terjadi? Manusia yang takut kesalahan atau manusia yang berani bangkit? Berani mengambil resiko?

Saya yakin prinsip ini bisa berhasil bila para pendidik dan sekolah berani mencoba menerapkannya. Saya sudah mencoba dan melakukannya berkali-kali... hehehe... bahkan saya dapat predikat dosen kesayangan padahal saya memberikan tugas berjibun kepada mahasiswa saya. Mengapa bisa? Karena mereka bermain dan menikmatinya juga.

Ada alasan kenapa pemain game bisa bermain berjam-jam tapi ketika disuruh belajar akan cepat merasa jenuh. Apakah itu? Hormon tertentu yang muncul ketika aktivitas game dilakukan. Jadi hormon itulah yang kita munculkan ketika siswa melakukan kegiatan yang mengandung gamifikasi.

Tidak sulit melakukan kegiatan berdasarkan gamifikasi. Cobalah dan lakukan modifikasi bila hasilnya kurang memuaskan. Seperti bermain video games, anda pasti berulang kali melakukan kesalahan sebelum jadi ahli bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun