Saya sangat malu mengingat masa lalu itu. Tapi dengan hal itulah saya yakin bahwa perploncoan dengan model bullying tapi di-makeup dan dipoles dengan berbagai alasan pendewasaan "ala nggak jelas" tetap akan berakibat buruk di masa depan. Saya tidak yakin banyak siswa yang bisa menghilangkan trauma itu dengan cepat atau mengatasinya dengan hal positif. Bagaimana kalau dendam itu terus terpendam dan meledak di satu masa?
Walau saya bukan ahli psikologis, namun banyak bacaan kejiwaan yang suka saya cermati dan bisa menyimpulkan bahwa perasaan dendam ini bisa disembunyikan dalam berbagai bentuk dan bisa dilampiaskan dengan berbagai bentuk pula. Intensitas dan kompleksitas rasa dendam yang terus dibiarkan melalui kegiatan perploncoan jadi pemantik bagi sifat buruk lainnya. Contoh mudahnya seperti: menyalahkan orang lain, sering ragu, suka menyesali diri. Alih-alih sekolah sebagai institusi pendidikan, dengan perploncoan malah jadi rentan menjadi penyebab masalah laten.
Dulu saya berdebat dengan teman sejawat dari kampus. Dia mengatakan bahwa perploncoan yang benar akan menumbuhkan karakter. Saya amini dia dengan alasan hanya bisa terjadi di dunia yang ideal, di mana kampus atau sekolah dan senior bahu-membahu membangun solidaritas dengan murid baru. Percayakah anda? Skeptis? Sebagai guru, bisakah anda menjamin semua kegiatan yang berlangsung di sekolah anda? Yakinkah anda bahwa siswa kakak kelas akan mengikuti arahan dan peraturan yang anda berikan? Heii... mereka masih remaja. Hormon yang bicara bung!
Alternatif: Kegiatan dengan Gamifikasi
Oke, kita batasi saja membahas penyebab yang tidak berkesudahan tadi. Semoga pemerintah melalui menteri pendidikan bisa tegas dan mengambil sikap "keras" agar semua mata pelaku pendidikan di Indonesia menoleh sebentar dan bisa memahami bahwa perploncoan tidak lagi cocok di era internet sekarang. Memulai efek jera tetap perlu menurut saya.
Lalu apa alternatifnya? Ditiadakan saja?
Di sinilah saya mengambil posisi sebagai pendidik sekaligus desainer game. Dengan melakukan kegiatan tertentu (yang disesuaikan menurut kebutuhan sekolah atau pilihan serta kesepakatan siswa) sekaligus digabung dengan unsur gamifikasi maka alternatif solusi bisa diciptakan.
Tidak usah ribet dulu dengan istilah gamifikasi. Itu istilah yang sederhana kok. Gamifikasi bisa dilakukan untuk berbagai bidang seperti bisnis, kesehatan dan tentu pendidikan.
Saya berikan 3 link yang bisa memberikan pandangan sekilas tentang gamifikasi:
- Gamifikasi menurut Wikipedia (bahasa Indonesia) - https://id.wikipedia.org/wiki/Gamifikasi
- Penerapan di dalam kelas: http://guraru.org/guru-berbagi/gamifikasi-menyihir-kelas-menjadi-role-playing-game/
- Penerapan yang saya lakukan di kelas saya: http://samuelhenry.net/category/gamification-2/
Intinya adalah: sebagai pendidik, dengan gamifikasi kita lebih bisa dan mudah mengarahkan sekaligus memodifikasi kegiatan siswa menjadi sesuatu kegiatan yang positif, menyenangkan dan menantang di saat yang bersamaan. Ini akan membuat para siswa termotivasi.
Bukankah sekarang dunianya video games? Anak-anak kita itu keranjingan dengan teknologi video games. Kenapa kita tidak "berbicara dan berkomunikasi" dengan mereka melalui bahasa yang mereka sangat pahami? Gamifikasi secara praktis adalah penggunaan metode dan desain video game untuk aktivitas non game. Tentu penjelasan lengkapnya jauh lebih panjang, tapi artikel ini bukan untuk membahas teori bukan?
Prinsip Dasar Penerapan Gamifikasi
Kenapa saya menyarankan penerapan gamifikasi? Bagi pembaca dari kalangan pendidik, silahkan lakukan riset untuk membuktikan pernyataan yang saya yakini ini: Untuk bisa menghilangkan kebiasan buruk, maka harus ada kebiasan baru yang dilakukan. Kebiasan baru ini akan melemahkan munculnya kebiasaan buruk/lama tersebut. Itulah yang menerangkan kenapa dendam yang tertekan pada siswa bisa muncul kembali setiap tahun pelajaran bermula.