Mohon tunggu...
Samuel Henry
Samuel Henry Mohon Tunggu... Startup Mentor -

JDV Startup Mentor, Business Coach & Public Speaker, IT Business Owner, Game Development Lecturer, Hardcore Gamer .........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perploncoan Siswa: Mengapa Terulang Terus & Apa Alternatif Penggantinya?

29 Juli 2015   16:16 Diperbarui: 11 Agustus 2015   22:22 1710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Meme yang bertebaran di media sosial.

Artikel ini saya tulis karena terinspirasi tulisan mas Amirsyah Oke yang berjudul Perploncoan Tetap Jalan Diam-diam? Saya berusaha memahami dari beberapa sudut pandang dan artikel ini adalah masukan dari saya. Ditujukan untuk memahami mengapa perploncoan masih terus berjalan dan juga apa alternatif penggantinya. Selain kepada pembaca dari kalangan pendidik, saya kira saran saya ini bisa diserap oleh para orang tua dan diteruskan kepada pihak sekolah untuk diimplementasikan.

Sebelum saya mulai, saya terlebih dahulu memberikan catatan bahwa masukan yang saya berikan bukan hanya dari 1 sudut pandang saja yaitu orang tua, tapi juga kombinasi dari sudut pandang pendidik (dosen), desainer game dan tentu saja sebagai mantan murid yang pernah juga diplonco di masa muda.

Mengapa Terulang Terus?

Dari sudut pandang orang tua, saya melihat perploncoan ini adalah aktivitas buruk yang sudah menjadi kebiasaan. Pembiaran yang dilakukan oleh beberapa pihak sekolah (bukan hanya siswa senior saja) tanpa disadari terus memupuk kebiasaan ini, sehingga dirasakan sebagai satu kewajaran dan tidak ada pengaruh yang luar biasa sampai nanti ada masalah. Beberapa contoh kasus seperti ospek yang terlalu keras & kasar, melecehkan, bersifat bullying, tidak menjamin adanya kesadaran massal pada publik akan akibatnya. Padahal kalau anda mau mencoba melihat bagaimana korbannya, silahkan googling sendiri dengan kata kunci "meninggal karena ospek".

Sekarang mungkin anda lebih setuju kalau pembiaran ini terus dilakukan maka korban tetap berjatuhan. Sialnya, masyarakat hanya ribut sekitar seminggu dua minggu di awal sekolah mulai berjalan dan kembali kalem setelah beberapa waktu. Mungkin pola "badai pasti berlalu" ini yang dibayangkan oleh para pelaku perploncoan? Bisa jadi...

Walaupun mayoritas korban yang meninggal adalah mahasiswa (hasil searching Google tadi), bukan berarti jejak trauma kepada para siswa SMU lainnya tidak berbekas dan bisa dianggap trauma kecil. Percayalah, amplifikasi untuk membalas dendam akan muncul dan tidak heran kenapa perploncoan di tingkat mahasiswa masih terus subur bukan?

Jadi, kita harus bisa melihat benang merah trauma dan sifat kekerasan yang terpendam antara masa remaja sampai memasuki tahap mahasiswa sampai ketika sudah dewasa. Bahkan sudah banyak dari pembaca yang paham akibat dari trauma kekejaman pada masa kecil anak terhadap perkembangan psikologisnya sampai dewasa bukan? Pengaruh trauma seperti itu masih tetap berpengaruh terus kepada korbannya. Meme di bawah ini mungkin terlalu nyinyir.. tapi kalau dicermati, saya sendiri jadi penasaran: apakah bisa terjadi demikian?

 

Saya sendiri di masa kecil adalah korban bullying. Ketika masih SD, saya dan beberapa teman saya mengalami bullying yang cukup keras dari seorang kakak kelas. Setelah dewasa, saat dia minta maaf kepada saya di kemudian hari, barulah saya paham kenapa itu bisa terjadi. Ternyata dia mengalami kekejaman dari ayahnya di masa kecil. Bullying yang dilakukannya adalah tindakan membalas dendam kepada kami adik kelas karena kami lebih junior dan tidak berani membalas.

Trauma itu lama berbekas kepada saya. Selain memendam dendam dalam waktu cukup lama, juga membuat saya menjadi pribadi yang rada penakut di masa SMP. Syukurlah di saat SMU saya beranikan untuk masuk ke sekolah bela diri dan perlahan trauma itu bisa teratasi. Rasa dendam dan marah itu perlahan hilang karena kepercayaan yang tumbuh dari latihan karate.

Saat masuk kuliah di tahun 1990. kejadian model bullying terjadi lagi ketika saya menjadi mahasiswa baru. Namun karena saya sudah ditempa melalui bela diri, efek dari bullying itu tidak terlalu parah. Tapi perasaan dendam, tidak terima dan rasa ingin membalas tidak butuh waktu lama untuk muncul kembali. Parahnya, saya dan beberapa teman korban ospek kampus malah sempat menjadi "geng pemberontak" setelah masa perploncoan. Tidak hanya senior atau junior yang kami lawan, malah dosen pun kami tantang.

Saya sangat malu mengingat masa lalu itu. Tapi dengan hal itulah saya yakin bahwa perploncoan dengan model bullying tapi di-makeup dan dipoles dengan berbagai alasan pendewasaan "ala nggak jelas" tetap akan berakibat buruk di masa depan. Saya tidak yakin banyak siswa yang bisa menghilangkan trauma itu dengan cepat atau mengatasinya dengan hal positif. Bagaimana kalau dendam itu terus terpendam dan meledak di satu masa?

Walau saya bukan ahli psikologis, namun banyak bacaan kejiwaan yang suka saya cermati dan bisa menyimpulkan bahwa perasaan dendam ini bisa disembunyikan dalam berbagai bentuk dan bisa dilampiaskan dengan berbagai bentuk pula. Intensitas dan kompleksitas rasa dendam yang terus dibiarkan melalui kegiatan perploncoan jadi pemantik bagi sifat buruk lainnya. Contoh mudahnya seperti: menyalahkan orang lain, sering ragu, suka menyesali diri. Alih-alih sekolah sebagai institusi pendidikan, dengan perploncoan malah jadi rentan menjadi penyebab masalah laten.

Dulu saya berdebat dengan teman sejawat dari kampus. Dia mengatakan bahwa perploncoan yang benar akan menumbuhkan karakter. Saya amini dia dengan alasan hanya bisa terjadi di dunia yang ideal, di mana kampus atau sekolah dan senior bahu-membahu membangun solidaritas dengan murid baru. Percayakah anda? Skeptis? Sebagai guru, bisakah anda menjamin semua kegiatan yang berlangsung di sekolah anda? Yakinkah anda bahwa siswa kakak kelas akan mengikuti arahan dan peraturan yang anda berikan? Heii... mereka masih remaja. Hormon yang bicara bung!

Alternatif: Kegiatan dengan Gamifikasi

Oke, kita batasi saja membahas penyebab yang tidak berkesudahan tadi. Semoga pemerintah melalui menteri pendidikan bisa tegas dan mengambil sikap "keras" agar semua mata pelaku pendidikan di Indonesia menoleh sebentar dan bisa memahami bahwa perploncoan tidak lagi cocok di era internet sekarang. Memulai efek jera tetap perlu menurut saya.

Lalu apa alternatifnya? Ditiadakan saja?

Di sinilah saya mengambil posisi sebagai pendidik sekaligus desainer game. Dengan melakukan kegiatan tertentu (yang disesuaikan menurut kebutuhan sekolah atau pilihan serta kesepakatan siswa) sekaligus digabung dengan unsur gamifikasi maka alternatif solusi bisa diciptakan.

Tidak usah ribet dulu dengan istilah gamifikasi. Itu istilah yang sederhana kok. Gamifikasi bisa dilakukan untuk berbagai bidang seperti bisnis, kesehatan dan tentu pendidikan.

Saya berikan 3 link yang bisa memberikan pandangan sekilas tentang gamifikasi:

Intinya adalah: sebagai pendidik, dengan gamifikasi kita lebih bisa dan mudah mengarahkan sekaligus memodifikasi kegiatan siswa menjadi sesuatu kegiatan yang positif, menyenangkan dan menantang di saat yang bersamaan. Ini akan membuat para siswa termotivasi.

Bukankah sekarang dunianya video games? Anak-anak kita itu keranjingan dengan teknologi video games. Kenapa kita tidak "berbicara dan berkomunikasi" dengan mereka melalui bahasa yang mereka sangat pahami? Gamifikasi secara praktis adalah penggunaan metode dan desain video game untuk aktivitas non game. Tentu penjelasan lengkapnya jauh lebih panjang, tapi artikel ini bukan untuk membahas teori bukan?

Prinsip Dasar Penerapan Gamifikasi

Kenapa saya menyarankan penerapan gamifikasi? Bagi pembaca dari kalangan pendidik, silahkan lakukan riset untuk membuktikan pernyataan yang saya yakini ini: Untuk bisa menghilangkan kebiasan buruk, maka harus ada kebiasan baru yang dilakukan. Kebiasan baru ini akan melemahkan munculnya kebiasaan buruk/lama tersebut. Itulah yang menerangkan kenapa dendam yang tertekan pada siswa bisa muncul kembali setiap tahun pelajaran bermula.

Untuk menggantikan kegiatan perploncoan, maka bisa dibuat berbagai kegiatan pengganti. Namun pada prinsipnya, kegiatan ini harus mengikuti 5 panduan di bawah ini sebagai acuan pelaksanaannya.

Kegiatan itu bisa apa saja. Saya harap para guru dan pendidik bisa kreatif mencari kegiatan apa yang sesuai dengan program sekolah, visi dan misi sekolah, yang sedang berlaku di lingkungan sekolah, dsb.

Inilah panduan penerapannya:

1. Libatkan Para Siswa sebagai Pencipta Kegiatan - Siswa, sebagai individu unik yang beragam latar belakangnya, hendaknya diminta ikut serta dalam merancang kegiatan apa yang mereka inginkan. Tiap kelas bisa saja berbeda dalam menentukan kegiatan selama masa orientasi "model baru" ini. Dengan melibatkan mereka saja, faktor kebersamaan dan rasa memiliki dari kegiatan edukasi itu sudah menjadi bagian yang terintegrasi otomatis. Hal ini adalah metode memberi jalan untuk membuka inspirasi siswa.

2. Buat Kegiatan yang Kompetitif - Kompetisi otomatis muncul bila pihak sekolah menetapkan hanya siswa/kelas tertentu yang akan jadi pemenang. Secara praktis bisa berbasis poin/nilai, badge/predikat atau batasan waktu. Dengan adanya unsur kompetisi, para siswa akan lebih berorientasi bermain dan pada aspek tertentu kompetisi ini akan mendorong kolaborasi. Untuk kasus kegiatan sekolah tentu ini adalah hal positif di mana kita berusaha membuat semua siswa berpartisipasi. Dipadukan dengan kegiatan yang sudah terarah untuk edukasi, siswa tidak merasa bahwa kegiatan itu adalah proses belajar yang membosankan.

3. Gunakan Papan Nilai - Setiap individu cenderung menginginkan penghargaan dan bila namanya tertera di papan pengumuman maka rasa bangga akan menjadi pendorong yang kuat. Bahkan pihak yang kalah pun bisa ditantang lagi untuk bisa mengejar ketertinggalan mereka. Papan Nilai yang selalu bisa diakses siswa akan memberikan proses tersebut. Apa manfaat papan nilai? Memberikan penjelasan akan posisi dan pencapaian mereka terhadap siswa/kelas lain. Metode ini sudah umum digunakan di berbagai pertandingan bukan? Lalu kenapa kita tidak manfaatkan saja? Selain skor nilai, pencantuman predikat tertentu pun akan menimbulkan efek yang bagus. Misalnya: kelas terkompak, kelas tercepat, kelas paling kreatif, paling rajin, paling kreatif. Silahkan tambah sendiri pencapaian apa yang anda harapkan dari siswa anda. Bila nama siswa/kelas terpampang dan bisa dilihat/diakses semua orang, menurut anda apa akibatnya? Mereka akan mengingat peristiwa ini dengan sangat baik bukan? Dibanding trauma perploncoan bagaimana?

4. Gunakan Teknologi - Hei.. siswa sekarang sudah biasa pakai Facebook dan Twitter, belum lagi Instagram dan Path. Lalu kenapa tidak digunakan saja untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka melakukan kegiatan yang positif. Bayangkan kalau sekolah anda berlomba membersihkan sampah di sekolah dan sekitarnya. Lalu mereka berlomba-lomba mencari dukungan dari netizen di dunia maya. Selain ekspos positif dari publik, menurut anda bagaimana masyarakat memandang kegiatan seperti ini? Selain ke publik, tentu jangan lupa orang tua siswa juga perlu tahu kalau anaknya melakukan kegiatan positif secara massal... wow efeknya.

5. Biarkan Mereka Bermain & Menikmatinya - Sebagai pendidik, sekolah dan para guru hanya perlu menjaga agar kegiatan ini berlangsung dengan baik dan aman. Kita tidak perlu mengatur terlalu banyak. Biarkan mereka bereksplorasi bahkan menghadapi kegagalan dalam melaksanakan kegiatannya. Jangan dimarahi atau ditegur. Malah ajak lagi untuk mencoba dan mengulangi. Bukankah hidup seperti itu? Bagaimana menurut anda bila siswa diberi peluang kedua kali untuk memperbaiki kesalahannya? Menurut anda apa yang akan terjadi? Manusia yang takut kesalahan atau manusia yang berani bangkit? Berani mengambil resiko?

Saya yakin prinsip ini bisa berhasil bila para pendidik dan sekolah berani mencoba menerapkannya. Saya sudah mencoba dan melakukannya berkali-kali... hehehe... bahkan saya dapat predikat dosen kesayangan padahal saya memberikan tugas berjibun kepada mahasiswa saya. Mengapa bisa? Karena mereka bermain dan menikmatinya juga.

Ada alasan kenapa pemain game bisa bermain berjam-jam tapi ketika disuruh belajar akan cepat merasa jenuh. Apakah itu? Hormon tertentu yang muncul ketika aktivitas game dilakukan. Jadi hormon itulah yang kita munculkan ketika siswa melakukan kegiatan yang mengandung gamifikasi.

Tidak sulit melakukan kegiatan berdasarkan gamifikasi. Cobalah dan lakukan modifikasi bila hasilnya kurang memuaskan. Seperti bermain video games, anda pasti berulang kali melakukan kesalahan sebelum jadi ahli bukan?

Harapan saya, ada guru atau pendidik yang membaca artikel ini dan berani mencobanya di kelas atau sekolah. Dan tidak hanya untuk masa perploncoan, tapi juga untuk kegiatan tiap bulan misalnya, atau untuk 1 semester, atau per kegiatan yang spesifik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun