Namun, penggambaran ini sangat ambigu  dan menunjukkan bahwa pemerintahan Orde Baru diizinkan memonopoli kekerasan demi tujuan politik praktis.
Selain melalui film dan buku, rezim orde baru juga coba untuk melakukan dokrinasi dengan mendirikan monumen-monumen yang menceritakan kekejaman PKI, salah satunya moneumen pancasila.Â
Di samping Monumen Pancasila Sakti rezim Suharto membangun Museum Pengkhianatan PKI pada 1990. Hampir semua dari 42 diorama di dalam museum itu, yang kaca-kacanya dipasang rendah agar anak-anak sekolah yang berkunjung dapat melihatnya, menggambarkan babak-babak kekejaman PKI dari 1945 sampai 1965.Â
Apa yang dipelajari para pengunjung museum adalah pelajaran moral sederhana: bahwa sejak kemerdekaan dan masa-masa selanjutnya, PKI bersifat antinasional, antiagama, agresif, haus darah, dan sadis.
Museum itu tidak menawarkan penjelasan tentang komunisme sebagai ideologi yang menentang kepemilikan pribadi dan kapitalisme; tidak ada sejarah mengenai sumbangan PKI dalam perjuangan nasional melawan kolonialisme Belanda, atau kegiatan partai dalam mengorganisasi buruh dan tani secara damai.Â
Adegan-adegan kekerasan dirancang untuk meyakinkan pengunjung tentang kemustahilan memberi toleransi terhadap PKI di tengah kehidupan berbangsa
Rezim Orde Baru menciptakan musuh bersama dengan ancaman-ancaman konflik yang selalu menghantui perjalanan hidup bangsa Indonesia. Orde Baru menekankan adanya kerapuhan persatuan nasional apabila Pancasila tidak dilaksanakan dengan benar.Â
Konflik antara kekuatan pro Pancasila dan anti Pancasila (komunis) pada kurun waktu 1965-1966 diakhiri dengan keluarnya Surat Perintah  Maret yang dijadikan alat untuk melarang PKI.Â
Puncaknya yaitu lahir era baru yang bertekad menegakkan dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Meskipun pada kenyataannya tekad tersebut hanyalah kamuflase belaka karena yang terjadi kemudian justru kemunculan rezim otoriter yang berhasil mendikte versi sejarah demi melanggengkan kekuasaannya.
Rezim orde baru terus mempertahankan "bahaya laten komunisme" dan menyandera Indonesia dalam keadaan darurat terus-menerus. Seperti dikatakan Ariel Heryanto, komunisme tidak pernah mati di Indonesia-nya Suharto.Â
Rezim Suharto tidak dapat membiarkan komunisme mati, karena ia menetapkan dirinya dalam hubungan dialektis dengan komunisme, atau lebih tepat, dengan citra khayali (simulacrum) 'komunisme'.