Mohon tunggu...
samsul arifin
samsul arifin Mohon Tunggu... Ilmuwan - Kreatif,Aktif,Inovatif🤲

Orang sukses adalah orang yang mau berusaha dengan sunggu².

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Poligami Bolehkah atau Tidak?

5 Juli 2022   19:28 Diperbarui: 5 Juli 2022   19:38 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

TAFSIR SURAT ANISA' AYAT 03

A. Surat An-Nisa' Ayat 03

Artinya : "Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".

B. Kata Kunci Ayat :

1. Nikah ; Kata Nikah secara bahasa di istilahkan dengan pengertian kumpul, watik dan akad. Sedangkan pengertian secara istilah adalah suatu akad yang mencakup atas rukun dan syarat-syaratnya. dan akad merupakan  sebuah simbol yang dianjurkan didalam menghalalkan seorang laki-laki dan perempuan. Dalam pernikahan itu sendiri merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT. Sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranaannya dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Serta  untuk membina keluarga yang bahagia, yakni suatu keluarga yang dapat  menciptakan generasi penerus dimuka bumi ini sebagai khalifah[1]. 

2. Nafkah ; Kata nafkah di ambil dari bahasa arab yang mana artinya mengeluarkan atau membelanjakan, untuk kebutuhan setiap harinya[2]. Nafkah merupakan kewajiban yang harus dilakukan bagi seorang suami terhadap keluarganya.  Bahkan menurut Syekh wahbah Az Zuhaili di dalam Kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu mengatakan bahwa memberi nafkah kepada anak hukumnya adalah wajib.[3] Karena Adanya kewajiban nafkah di karenakan adanya kekeluargaan dan ikatan pernikahan. 

3. Adil ; Keadilan adalah suatu bentuk dari kesetaraan atau kesamaan, seseorang yang berumah tangga lebih dari satu istri maka bagi suami dituntut agar berbuat adil terhadap istri-istrinya baik itu keadilan secara dhahir maupun secara batin. Dalam artian nafkah dhahir yang berbentuk maskawin dan kebutuhan dalam rumah tangga maupun nafkah batin yang berbentuk hubungan seksual. 

C. Asbabun An-Nuzul

Diriwayatkan dari Aisyah : sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan seorang perempuan yatim yang berada pada asuhan walinya, lalu walinya itu tertarik dengan kecantikannya dan hartanya serta berhasrat untuk menikahinya namum memberikan haknya lebih renda dari yang biasanya diberikan kepada istri-istri sebelumnya. Maka mereka dilarang menikahinya kecuali bila mereka dapat berlaku adil kepadanya, Aisyah berkata ; "kemudian orang-orang memintak fatwa kepada Nabi saw maka Allah swt. berfirman Q.S An-Nisa' ayat 126 yang artinya (dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita. Maka katakanlah : Allah memberikan fatwa tentang mereka) 'aisyah berkata : "maka Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa seorang anak yatim perempuan jika memiliki kecantikan dan harta lalu walinya berhasrat menikahinya namun tidak memberikan haknya dengan melenkapi maharnya sebagaimana mestinya. Namun bila anak yatim perempuan tidak memiliki harta dan kecantikan mereka meninggalkannya dan mencari wanita lain. Maka Nabi saw bersabda : "sebagaimana mereka tidak menyukainya disebabkan sedikit hartanya dan tidak cantik lalu meninggalkannya maka mereka tidak boleh menikahinya saat tertarik kecuali bila mereka dapat berlaku adil kepadanya dengan menunaikan maharnya secara wajar serta memberikan hak-haknya (HR. Bukhari. 2557). 

Dari apa yang di riawayatkan oleh sitti Aisyah ada beberapa ulamak mengumentari terhadap asbabul nuzul ayat ini : 

Al- Razi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat tersebut mengandung beberapa rangkaian konten. Diantara yaitu perintah anjuran untuk menikah, batasan atau jumlah wanita yang boleh dinikahi, perintah untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya yang menikah lebih dari satu. Di samping itu juga Al- Razi meguraikan bagaimana pandangan para ulamak terhadap ayat tersebut. Ada yang memandang dari aspek lahiriyah saja dalam artian bahwasanya nikah adalah suatu hal kewajiban, berbeda halnya dengan pendapat imam As-Syafi'i yang menyatkan bahwa perintah menikah tidaklah wajib akan tetapi sunnah. Pradigma yang kemukkan oleh As-Syafi'i berdasarkan surat An-Nisa' ayat 25 bahwa bersabar bagi orang yang tidak mampu untuk menikah secara finansial makan hukumnya tidaklah wajib berdarkan inilah menikah tidak wajib melainkan sunnah namun bisa wajib dalam kondisi tertentu semisal siap secara lahiriyyah maupun secara batiniyyah[4].

Wahbah Al-Zuhaili dalam tafsirnya menguraikan latar belakang turunnya ayat tersebut di kutib dari riwayat Aisyah istri Nabi saw bahwa ayat tersebut diturunkan sebagai pembelaan terhadap hak-hak perempuan.  Rangkaian peristwaannya adalah ada seorang laki-laki yang menjadi walinya seorang perempuan yatim dan kaya raya kemudian hendak menikahinya karena faktor kecantikan dan finansial yang memadai yang dimiliki perempuan yatim tersebut. Lalu si laki-laki menikahinya tanpa memberikan mahar kepada perempuan yatim tersebut dengan alasan si perempuan sudah cukum secara finansial,  bahkan lebih dari itu si laki-laki memberlakukan kepada perempuan yatim tersebut dengan dhalim dan buruk kepadanya. Kemudian dengan melihat kejadian tersebut turunlah Surat An-Nisa' ayat 3 tentang keboleh untuk menikahi perempuan yang dicintainya bukan karena faktor kecantikan dan kekayaanya takutnya tidak bisa berbuat adil kepada istri-istrinya. Oleh karena itu juga dianjurkan hanya boleh mikahi satu istri saja. Jika dihawatirkan tidak bisa berlaku adil diantara para istri-istrinya, baik secara finansial  atau hal apapun yang berpotensi melukai hati satu sama lain.[5]

At-Thabari dalam tafsirnya mengutip apa yang ditulis oleh Wahbah Az-Zuhaili diatas terkait dengan batasan Al-Qur'an terhadap jumlah istri yang boleh di menikahi. Al- Qur'an memberi pengertian bahwa kebolehan poligami bersyarat adil dan dalam jumlah yang terbatas. Al-Qur'an juga mengingatkan bahwa poligami bukanlah solosi yang menyenangkan. Dari sinilah melahirkan kesimpuan bahwa Al-Qur'an sebetulnya enggan membolehkan poligami, dibolehkan dengan syarat-syarat amat yang ketat[6].

D. Munasaba ayat atau korelasinya dengan ayat-ayat yang lain dalam satu tema 

Munasabah ayat ini sangat banyak terutama jika mengaitkan antara ayat ini dangan ayat yang pertama, karena selaku ayat yang pertama mempunyai korelasi dengan ayat selanjutnya teruma kepada ayat yang ketiga ini. 

1. Munasabah tentang keharusan menikah    

Pada ayat yang pertama dalam surat an-nisak menjelaskan tentang anjuran untuk menikah dan memberi mahar kepada istri-istrinya namun pada ayat ke-3 memberi batasan terhadap kebolehan menikah, walaupun nikah itu sendiri di anjurkan akan tetapi yang dibolehkan hanya sampai empat istri sebagaimana bunyi ayat yang ke-3 dalam surat an-nisa'.  

2. Munasabah tentang keadilan

Disamping itu pula ayat yang ketiga ini memberi penjelasan tentang keadilan bagi suami yang menikah lebih dari satu,  oleh karenanya bagi orang laki-laki yang tidak bisa berbuat adil kepada istri-istrinya maka tidak boleh melakukan poligami atau beristri lebih dari satu. Ayat ini ada korelasi dengan surat an-nisak ayat 135 tentang menegakkan keadilan  :

3. Munsabah tentang kewajiban memberikan maskawin

Seorang suami mempunyai kewajiban untuk memberikan maskawin kepada istri-istrinya kalau ini tidak bisa dilaksanakan maka tidak boleh melakukan poligami sebagaimana penjelasan surat an-nisa' ayat ketiga. ayat ini ada korelasi dengan ayat selanjutnya yaitu keharusan untuk memberi maskawin kepada istri-istrinya sebagai pemberian yang penuh dengan kerelaan maka terimalah  dengan suka hati.

E. Tafsir surat An-Nisa' Ayat 03

1. Tafsir ayat ahkam

Dalam kitab Tafsir Ahkam karangan Muhammad Ali As-Sabuni mengatakan bahwa : seseorang tidak boleh menikahi anak perempuan yatim karena hartanya dan nantinya tidak akan berbuat adil kepada perempuan tersebut karena dianggap mampu secara finansial. Maka allah swt sangat tegas menghukumi orang tersebut bahwa tidak boleh menikahinya sebagaimana firmannya dan hadis yang diriwayatkan oleh Aisya' r.a. oleh karenanya bagi laki-laki tersebut jika ingin menikah maka carilah wanita yang benar-benar dicintai bukan karena hartanya. Abu sa'ud menambahkan kepada penjelasan Muhammad Ali As-Sabuni : Melarangan terhadap seorang laki-laki yang menikahi perempuan yatim jika bertujuan untuk menyakitinya dan menciptakan ketidak harmonisan dalam keluarga[7].  

2. Tafsir Ibnu Kasir

 Yang di maksudkan tidak bisa berbuat adil bila  beristri banyak yaitu adil terhadap sesama istri-istrinya. Yang demikian itu lebih dekat tidak berbuat aniaya yakni tidak berbuat dhalim. Artinya memperlakukan istri-istrinya itu sama dengan yang lain lebih-lebih dalam persoalan kedilan terhadap istri-istrinya, perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah[8].

 3. Tafsir Al-Qurtubi

Maksud ayat surat an-nisa' ayat : 03  adalah jika kamu khawatir tidak bisa berbuat adil di dalam memberi mahar nafkah kepada mereka maka carilah wanita lain yang kamu sukai dan sanggup untuk memberi mahar dan nafkah kepadanya. Ibnu atiyyah mengatakan : yang dimaksud dengan khawtir itu mempunyai dugaan untuk tidak akan berbuat adil kepada perempuan tersebut maka tidak boleh untuk menikahinya. Karena kehawatiran tersebut pintu dari ketidak yakinan artinya di duga kuat tidak akan bisa melaksanakannya.  Keadilan dalam berkeluarga adalah adil dalam memberikan nafkah, pakaian dan cinta terhadap istri-istrinya. Namun keadilan dalam membagi cinta sangat sulit untuk dilakukan oleh karenanya sebagian ulama' mengkatagori ini tidak menjadi bagian dari keadilan karena keadilan cinta hanya tertentu pada satu orang saja.

F. Analisis Penafsiran Ayat Dalam Konteks Kekinian

Melihat dari as-babul an-nuzul ayat dan beberapapa penafsiran dari kalangan mufassir terhadap surat an-nisa' ayat tiga ini, ada beberapa ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi.  Yang pertama dalam persoalan maskawin dan nafkah karena kedua-duanya menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang suami kepada istrinya. Dan yang kedua persoalan keadilan terhadap istri-istrinya.

Seorang Pegawai Negri Sipil (PNS) adalah seseorang yang dalam segi finansial sangatlah mampu apalagi didalam memberikan maskawin dan nafkah kepada istri-istri karena seorang PNS selalu mendapatkan tunjangan dari pemerintah setiap bulan untuk kebutuhan hidupnya. Namun apakah seorang PNS bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya. Dikatakan adil tidak hanya adil dalam dhahirnya saja akan tetapi bagaimana adil didalam batinnya juga. Tujuan pernikahan tidak hanya melakukan persetubuhan saja akan tetapi jauh dari itu yaitu untuk mencapai sesuatu yang luhur dan maslahah kepada umat serta membuat kesejahteraan terhadap keluarganya. Seorang PNS untuk melakukan poligami kalau bertujuan hanya untuk melakukan persetubuhan tanpa mempertimbangkan yang lain maka tidak boleh walaupun dari segi finansial mampu untuk melaksankanya. Begitu juga kalau hanya untuk bersenang-senang saja maka tidak diperbolehkan. Sama halnya dengan asal mula turun ayat ini si laki-laki hanya mengambil kesenang dari prempuan tanpa memikirnakan nafkah dan maslahah bagi keluarganya.

Menjadi catatan penting juga bagi orang yang ingin melakukan poligami. Maka harus memperhatikan maslah keluarganya dan linkungannya. Tidak asal melakukan poligami tanpa memperhatikan sesuatu yang begitu urgen diperhatikan walaupun disisi lain sangat mampu melakukannya.  Hukum islam disyari'atkan pasti ada maksud dan tujuannya, tidak asal mensyari'atkan hukum tersebut tanpa ada maksud dan tujuan. Poligami di syari'atkan bagaimana tercapai tujuannya yaitu kemaslahat baik kepada diri sendiri, keluarga lebih-lebih kepada lingkungan sekitar. Kalau tujuan dari syari'at sudah terpenuhi bagi PNS maka boleh untuk melakukakan poligami. Begitu juga sebaliknya kalau tidak terpenuhi tujuan syari'at maka tidak boleh melakukan poligami walaupun seorang PNS mampu dibidang finalsial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun