Mohon tunggu...
Samsi Darmawan
Samsi Darmawan Mohon Tunggu... -

I am starting in professional way, as Sr. Assistant Manager IT at HAGABank (1992-1995), EDP Manager at SOLIDA Bank (1995-1996), Sub head IT Division at Bank BAHARI (1996 - 1998), Economic Journalist at MONETER Daily (1998-1999). At that time Indonesia deep in economic crisis and I decided stop for professional, starting as a entrepreuner. When the bad luck came, I am bankrupt, work again as Purchasing & Logistic Manager at PT. IMESCO DITO (2001), next as Senior Manager IT at PT. Senayan Trikarya Sempana (Plaza Senayan) ini 2002 - 2009, finishing as professional way at Trikomsel Oke, Tbk as Vice President Information Technology. ​ Founder: * PT. Dwitunggal Solution (Dwitunggal SMS) * Forest School Indonesia * TokoGadogado.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bangga menjadi Indonesia?

15 Agustus 2018   15:32 Diperbarui: 15 Agustus 2018   15:53 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangga menjadi Indonesia? 

Seharusnya Indonesia bukanlah sekedar negara, bukanlah hanya tanah yang subur dan indah serta nyaman ditinggali, tetapi Indonesia adalah rumah besar yang menjadi milik kita bersama dengan rasa bangga untuk kita bangun dan rawat. Karena kita adalah saudara yang lahir ditanah yang sama, mengalir darah yang sama yaitu Merah putih, dalam jiwa dan tubuh Bhineka Tunggal Ika yang sama tanpa peduli terhadap warna kulit dan agama masing-masing pribadi, dan kita bangga menjadi anak-anak ideologis dari Pancasila.

Sayangnya bayangan kebanggaan itu semakin sirna, karena mental kita masih primitif, jauh dari moderen atau beradab, kita lebih bangga dengan warna kulit, suku dan agama, kita lebih senang menjadi primordial dan tetap menjaga semangat sektarian. Harusnya kita sudah meninggalkan itu semua, karena ini abad milenial yang penuh kejutan dan kemajuan, selalu bergerak tanpa batas waktu dan belenggu wilayah, semua yang menyusahkan itu sudah waktunya dianggap bagian dari sejarah, dan jika Indonesia ingin dianggap dalam pergaulan dunia.

Sebenarnya ada pekerjaan rumah yang besar untuk kita bersama-sama terekat dalam satu identitas Indonesia, dimana masih sangat teramat miskin akan simbol keindonesiaan kita sebagai bangsa yang ingin menjadi besar, Negara kita terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku bangsa dan puluhan bahasa serta beragam agama dan kepercayaan, jika terus dibiarkan saling fitnah, hujat dan hidup saling curiga, bahkan Presiden yang kita pilih secara demokratispun kita hujat dan fitnah, padahal presiden adalah simbol negara, maka tunggu waktunya negeri ini akan bubar.

Bangsa yang tidak pernah berhenti menghujat. 

Presiden adalah Simbol negara, pun kita hujat tanpa henti, seperti tiada lagi kebaikan dan jasa mereka membangun negri ini yang tersisa untuk dibanggakan. Siapapun Presiden di Indonesia akan dihujat oleh kita.

Tahun 1945 Indonesia merdeka, Soekarno awalnya disanjung sebagai bapak Proklamator dan Founding Father Indonesia. Namun sejak tahun 1960an Soekarno mulai dihujat sebagai PKI dan musuh orde baru dikesankan sebagai penjahat besar, masuk dalam tahanan rumah sampai akhirnya wafat dalam keprihatinan tragis.

1966 Soeharto menjadi Presiden dengan gerakan orde baru, juga demikian. Dikenal sebagai Bapak Pembangunan dengan REPELITA dan GBHN yang tersusun rapi untuk Indonesia siap tinggal landas menjadi negara maju.

Mulai tahun 1990an Dihujat karena KKN yg merajalela, sebagai ditaktor kejam dan tiran yang lalim. Semua tiba-tiba amnesia dengan segala pencapaian yg beliau buat selama 32 tahun memimpin negeri.

Soeharto turun tahun 1998, dan Habibie sebagai wakil Presiden saati itu menggantikannya secara otomatis ditengah hancurnya ekonomi Indonesia, Krisis moneter dan Rupiah terpuruk 1$ = Rp. 16.000,-. Beliau berhasil mengembalikan kurs Rupiah menjadi Rp 7.000,-

Namun beliau dihujat karena masih dianggap bagian dari orde baru dan sebagai penyebab Timor Timur harus lepas dari Indonesia, sehingga harus lengser saat laporan pertanggungjawabannya ditolak MPR tahun 1999.

MPR memilih Gus Dur tahun 1999 sebagai Presiden. Beliau seorang Ulama Besar, Guru Bangsa, seorang visioner yang mengedepankan keberagaman dalam berbangsa, berjasa pluralisme dan diakuinya Kong Fu Cu sebagai agama.

Namun tahun 2001 dianggap nyeleneh dan akhirnya dilengserkan oleh intrik politik karena banyak  pernyataan-pernyataannya yg kontroversial soal DPR yang seperti Taman Kanak-Kanak.

Pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh wakilnya saat itu, Megawati Soekarnoputri. Memang tidak banyak pencapaian saat itu, karena negara ini kembali diguncang oleh pertikaian politik.

Tahun 2003 mulai dihujat karena terlalu banyak diam dan melakukan pembiaran, Akhirnya beliau gagal kembali terpilih pada pemilu 2004 akibat banyaknya issue seputar penjualan asset negara. Beliau banyak dihujat soal itu sampai sekarang.

2004 -- 2014 Dibawah kepemimpinan SBY negara ini sedikit kembali ke kestabilan politik, Ekonomi bertumbuh. IHSG terus mencatat rekor pencapaian tertinggi. Namun akhirnya SBY juga dihujat habis-habisan setelah itu. Kasus Korupsi menyeret banyak petinggi Partai koalisi pendukungnya dan Pejabat negeri saat itu ke balik jeruji penjara.

Bagaimana dengan Presiden Jokowi sekarang? Memulai karier politik sebagai Walikota Solo, lalu Gubernur DKI dan menjadi Presiden tahun 2014. Kita bisa menyaksikan sendiri, hujatan tiada henti bahkan sejak awal pencalonannya sebagai Presiden RI tahun 2014.

Hoax, hasutan, fitnah seakan tidak ada habisnya diarahkan ke beliau, mulai dari anak PKI hingga menjual negara ini kepada asing dan aseng.

Harusnya kita mencontoh banyak negara besar, yang sangat menghargai para pemimpin negaranya yang telah lalu, bahkan mendapat tempat yang sangat dihormati, dan hiruk pikuk politik berhenti ketika kita sepakat pemenang pemilu menjadi Pemimpin. Disisi lain, para mantan pemimpinpun diminta tidak ikut campur lagi mengenai kebijakan rejim yang baru.

Identitas Nasional

Hal yang lebih penting adalah mencari Indentitas nasional, karena kita adalah sekumpulan orang yang sedang berjuang mendapat pengakuan sebagai bangsa Indonesia, walaupun syarat untuk itu sudah dipenuhi, tetapi secara mental kita belum siap, bahkan tiada terpikir untuk memiliki simbol bersama bagi Indonesia, kita masih berkutat soal identitas primordial dan identitas sektarian, seolah itu lebih penting daripada menghindari cemooh bangsa dari negara lain.

Melihat patung Merlion, kita tahu itu Singapore, melihat menara kembar Petronas kita paham itu Malaysia, melihat binatang Panda atau bangunan Greatwall kita tahu itu China, melihat patung Liberty, gedung Capitol atau White House itu pasti Amerika, juga simbol-simbol lain, seperti:  gunung Fuji - Jepang, Menara Pisa - Italia, atau Piramida - Mesir, dengan mudah kita mengetahui asal negara dari simbol tersebut.

Demikian pula simbol dari gambar tokoh pahlawan, misalnya  Napoleon, Ratu Elisabeth, George Washington dan Mao Tse Tung, tentu kita tahu dari mana negara mereka, bukan daerah atau kota mana. Indonesia punya Soekarno tapi kita tidak bangga. Apakah kita harus menunggu claim dari Malaysia, baru sadar dan bergerak.

Kita punya banyak simbol, tetapi tidak pernah sepakat untuk menjadi kebanggaan Nasional, selalu dianggap bagian dari daerah tertentu, sungguh primodial sempit.

Andaikan Monas atau Tugu selamat datang yang jadi simbol, tentu itu dilihat sebagai Jakarta, atau Binatang Komodo yang hanya ada satu-satunya di Indonesia, itu akan dilihat sebagai Flores, Atau rumah Gadang di Sumatra barat, pasti akan dilihat sebagai bagian dari padang, demikian kebanggaan daerah lainnya. Lalu kapan kita bangga sebagai Indonesia? Kapan kita punya simbol atau identitas Nasional yang dilihat oleh bangsa lain sebagai INDONESIA?

Samsi Darmawan

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun