Mohon tunggu...
sampe purba
sampe purba Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Insan NKRI

Insan NKRI

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Natuna, Heroisme Sporadis Versus Pengurusan Efektif

4 Januari 2020   10:20 Diperbarui: 7 Januari 2020   18:41 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapal batas luar Kepulauan Natuna merupakan wilayah kedaulatan teritorial Indonesia, di sisi Utara yang berhadapan dengan Negara lain dan zona perairan internasional (high sea) laut lepas.

Perbatasan laut diatur dalam konvensi Jenewa 1958 yang mengatur hak-hak negara berpantai (coastal state) dan juga negara tidak berpantai (land locked state) terhadap laut. Laut dianggap merupakan barang bersama warisan kemanusiaan (res communios humankind common heritage), sehingga penggunaannya harus adil.

Konvensi hukum laut internasional (UNCLOS - United Nations Convention for the Law of the Sea, 1982) diratifikasi Indonesia dengan Undang undang nomor 17 tahun 1985, memperkenalkan status dan konstruksi hukum baru yaitu archipelagic states (negara kepulauan), yang pada intinya mengakui perairan dalam antarpulau merupakan satu kesatuan teritorial dengan daratan.

Pengakuan tersebut diberikan PBB dengan pengertian bahwa negara kepulauan harus menghormati hak hak nelayan tradisional dan hak hak yang sah lainnya dari negara tetangga.

Pelaksanaan hak-hak ini memerlukan perundingan bilateral antarnegara terkait menyangkut sifat, luas dan kawasan yang dimaksudkan. Hal ini disebut dengan istilah kedaulatan yang tidak bersifat mutlak (complete and exclusive).

Indonesia termasuk yang mendapat status sebagai archipelagic state bersama beberapa negara lainnya seperti Filipina, Fiji dan Kepulauan Bahama. Termasuk di dalam konsesi tersebut adalah pemberian akses lintas damai kepada kapal niaga maupun armada militer asing untuk melintas di jalur laut pedalaman kepulauan secara damai. Untuk tujuan ini Indonesia telah menetapkan jalur ALKI (alur laut kepulauan Indonesia).

Batas laut Negara ke sisi luar sejauh 12 mil dari titik garis pangkal pulau terluar disebut zona teritorial, selanjutnya ada zona tambahan hingga maksimal 24 mil yang dimaksudkan untuk mencegah dan mengejar pelanggaran bea cukai, fiskal, imigrasi dan perikanan.

Sampai batas 200 mil laut dari titik pangkal pantai terluar merupakan zona ekonomi eklusif (ZEE). Dalam ZEE pemerintah memiliki kedaulatan (sovereignty right) atas segala kegiatan ekplorasi dan ekploitasi sumberdaya alam yang ada mulai dari sumber daya alam di atas laut hingga di bawah laut.

Termasuk didalamnya memiliki jurisdiksi untuk membangun pulau buatan untuk kepentingan riset ilmiah, dengan tetap memperhatikan kepentingan negara lain yang terkait. Di wilayah ZEE negara negara lain juga memiliki sejumlah hak seperti hak lintas damai, navigasi dan melewati lintasan udara di atasnya, hak untuk menanam kabel bawah laut dan instalasi pipa untuk kepentingan lalu lintasnya.

Pelaksanaan hak -- hak teritorial dan zona ekonomi ekslusif Indonesia di kawasan gugus Kepulauan Natuna masih menyisakan sejumlah persoalan yang belum tuntas. Persoalan persoalan tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, di zona teritorial belum seluruh titik koordinat dengan berbagai Negara di sekitar zona Natuna telah disepakati, yaitu dengan Malaysia, Filipina dan Vietnam.

Apabila di overlay (ditumpang tindihkan) peta perbatasan di kepulauan Natuna, masing masing Negara akan memiliki versi yang belum seragam. Bahkan ada wilayah kerja migas yang ditetapkan Indonesia di tapal batas tersebut, juga merupakan peta wilayah kerja migas versi negara tetangga.

Kedua, istilah Zona Ekonomi Ekslusif pada dasarnya adalah hak yang diberikan kepada Negara Pantai (coastal state), yang tercantum pada Bagian V dokumen konvensi UNCLOS.

Sedangkan hak kedaulatan teritorial eksklusif yang diakui kepada Negara Kepulauan (archipelagic state) adalah menyangkut perairan pedalaman (inner water) sebagaimana tercantum pada Bagian IV.

Apabila zona teritorial, zona tambahan dana ZEE negara kepulauan bersinggungan dengan hak hak dan kepentingan tradisional negara lain yang telah ada dan hak hak lain yang diperjanjikan sebelumnya maka hal tersebut harus tetap berjalan dan dihormati (Part IV article 47- 48). RRC, Malaysia dan Vietnam adalah coastal states.

Ketiga, tidak semua Negara menjadi penandatangan dan mengakui UNCLOS, atau mengakui penyelesaian sengketa dibawah arbitrase sesuai UNCLOS. Amerika Serikat adalah contoh Negara yang tidak meratifikasi konvensi hukum laut UNCLOS.

RRC termasuk sebagai Negara penandatangan, namun tidak mengakui putusan penyelesaian sengketa di bawah UNCLOS. Amerika Serikat dan RRC adalah dua Negara pemegang hak veto di dewan keamanan PBB.

RRC menetapkan sepihak klaim batas zona kepentingannya di Laut China Selatan jauh ke selatan, yang dikenal dengan garis putus-putus sembilan (dot nine).

Banyak Negara terkena dan tumpang tindih dengan klaim sepihak RRC atas dasar klaim historis hak nelayan tradisional (istilah dan hak seperti ini juga diakui oleh UNCLOS). Persoalan ini dibawa oleh Filipina ke Permanent Court of Arbitration (PCA) tahun 2013. Putusan PCA tahun 2016 tidak mengakui hak klaim teritorial RRC atas dot nine. Putusan tersebut serta merta ditolak, tidak diakui dan diabaikan oleh RRC.

Indonesia mengalami pengalaman pahit bersengketa kedaulatan perbatasan laut yang berujung pada hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2003 kepada Malaysia dalam Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Dalam voting, 16 dari 17 hakim memenangkan Malaysia atas dasar doktrin penguasaan efektif (principle of effectivite).

Mahkamah memutuskan berdasarkan fakta bahwa pemerintah Inggris (penguasa Malaysia sebelumnya) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan pendirian dan pengoperasian mercu suar sejak 1960-an (yang tidak diprotes oleh Indonesia).

Pengadilan mempertimbangkan bahwa Malaysia telah menunjukkan penguasaan yang efektif secara legislatif, administratif, dan kuasi judisial.

Sedangkan klaim Indonesia yang antara lain menunjukkan adanya patroli Angkatan Laut maupun klaim historis dari perluasan kekuasaan Kesultanan Bulungan zaman kolonial, atau nelayan tradisional perorangan yang tidak dilindungi oleh regulasi resmi, tidak diterima oleh Mahkamah.

Pasca kemerdekaan, Indonesia sesungguhnya telah mencoba mengusahai kawasan yang dipersengketakan tersebut. Kawasan Sipadan Ligitan adalah perluasan lepas pantai yang diukur dari pulau Sebatik (pulau yang dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia).

Indonesia telah menanda tangani beberapa kontrak kerja sama migas dengan mitra investor asing. Namun hingga putusan arbitrase, tidak ada aktivitas nyata di wilayah kerja tersebut. 

Ditengarai salah satu penyebabnya adalah bahwa mitra kontraktor migas asing bersikap wait and see, sementara pihak Indonesia tidak berhasil meyakinkan mereka untuk melakukan aktivitas nyata seperti seismik dan pemboran misalnya.

Terkait persoalan klaim kedaulatan di Natuna bagaimana Indonesia sebaiknya bersikap?

Kawasan Natuna sangat strategis baik dari aspek geopolitik dan geotrategis, karena merupakan perlintasan sebagian terbesar energi dan komoditas antarnegara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan RRC ke arah Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika dan sebaliknya. Kawasan Natuna juga sangat kaya dengan biota laut dan tambang hidrokarbon. 

Menentang Negara negara claimant dengan kekuatan militer bukanlah pilihan bijak. Provokasi (versi Indonesia) yang dilakukan oleh nelayan Vietnam, Thailand, atau RRC adalah test case, mengukur kewaspadaan dan stamina aparat Indonesia. Pengerahan kekuatan militer Indonesia ke tapal batas, mungkin kelihatan gagah dan heroik.

Namun hal tersebut memiliki keterbatasan baik dari segi biaya, respon dan kekuatan alutsista. Seperti misalnya jarak ke pangkalan skuadron, jangkauan radar, gugus tugas kapal laut, dukungan logistik maupun personil. Itu sangat mahal, tidak efektif, atau mungkin bahkan tidak sepadan.

Atau worsely, meningkatkan suhu eskalasi gelar pasukan antarnegara. Ingat, Negara lain juga menganggap mereka memiliki kedaulatan atasnya. Juga memiliki kekuatan militer.

Pendekatan lunak secara diplomasi dan hukum dapat saja dilakukan, namun hasilnya tentu sangat tergantung kepada kelincahan dan kekuatan posisi tawar Indonesia.

Pendekatan ekonomi dengan menawarkan pengembangan bersama (joint development area) seperti yang pernah Indonesia lakukan dengan Australia di lepas laut Timor Timur (ketika masih merupakan bagian dari Indonesia) memerlukan pertimbangan yang matang dan komprehensif.

Pendekatan terbaik adalah dengan mengusahai dan tidak menelantarkannya. Indonesia memiliki beberapa wilayah kerja migas yang telah berproduksi di kawasan Natuna, seperti yang dikerjasamakan dengan ConocoPhilips, Premier, dan Lundin Petroleum. Wilayah kerja migas yang berproduksi tersebut ada di sisi dalam (inner waters) yang tidak terkena klaim tumpang tindih.

Wilayah kerja migas yang berada di tapal batas zona teritorial gugus kepulauan Natuna, sebagian telah ditanda tangani kontraknya, namun relatif belum ada aktivitas nyata di lapangan (mirip seperti kasus di Sebatik).

Menurut para ahli geologi, sebagian sumber hidrokarbon (kitchen) berdasarkan petroleum system melampar di bawah laut antarnegara di perbatasan (baik dengan Vietnam dan Malaysia di bagian Barat maupun Timur).

Dengan demikian, titik kordinat dan garis imajiner di atas peta laut pada dasarnya tidak selalu sama dengan sumber hidrokarbon di bawahnya.

Mengingat terpencilnya lokasi lokasi itu dari daratan besar gugus Natuna Besar dan Kepulauan Anambas (sebagai pangkalan logistik), agar dimungkinkan secara ekonomis pengusahaan wilayah kerja migas di perbatasan memerlukan fiscal terms dan kemudahan khusus. Jangan sampai aktivitas migas di sisi seberang baik Vietnam dan Malaysia menjadi lebih ramai dibanding sisi Indonesia.

Pengalaman Indonesia menunjuk AGIP perusahaan Minyak asal Italia -- kemudian beralih ke Exxon Mobil di wilayah konsesi Natuna D -- Alpha (perbatasan ke sisi laut Serawak Malaysia Timur) dapat menjadi pelajaran. Di lapangan itu telah ditemukan kandungan gas yang sangat besar sejak tahun 1973.

Sekalipun diberikan dengan terms yang sangat menarik (bagi hasil 100% untuk Kontraktor) dan Indonesia hanya mendapat bagian pajak, faktanya setelah puluhan tahun tetap tidak dilanjutkan dengan eksploitasi komersial.

Indonesia telah menarik wilayah kerja tersebut dari Exxon, dan menawarkannya ke komunitas bisnis internasional namun hingga saat ini belum ada kelanjutan operasinya.

Pemerintah perlu memberikan penugasan kepada Pertamina atau BUMN khusus untuk menjadi operator wilayah kerja migas di daerah perbatasan. Misi utama adalah memastikan kehadiran Negara dalam mengelola wilayah perbatasan (effective economy and administrative occupancy).

Agar pengelolaannya ekonomis dan tidak terlalu memberatkan keuangan Perusahaan, maka terms khusus, kemudahan dan insentif harus diberikan. Model kontrak kerja samanya harus spesifik.

Undang undang Pertambangan Migas terdahulu, yaitu Undang-undang prp nomor 44 tahun 1960 telah mengamanatkan itu. Dalam Undang undang itu jelas dan eksplisit dinyatakan, Migas adalah alat pertahanan negara.

Paradigma mengelola wilayah perbatasan Negara adalah analog menugaskan security (satpam) di sisi pagar luar rumah. Mereka justru harus digaji, bukan dibebani untuk mencari tambahan penghasilan bagi pemilik rumah.

Sudah saatnya, secara komprehensif integral dan holistik, pengelolaan migas dikembalikan kepada khittohnya, antara lain sebagai alat pertahanan negara -- menjadi tonggak terdepan dalam menjaga kedaulatan teritorial Indonesia, yang dikelola secara sinergis terpadu dengan komponen kekuatan bangsa lainnya.

Wilayah kerja migas di perbatasan harus dapat difungsikan sekaligus sebagai value chain logistik dan instrumen keamanan dan pengamanan wilayah.

Bagaimana dengan di zona ekonomi eksklusif. Sepanjang kita ikuti di pemberitaan media massa, bahwa nelayan nelayan negara tetangga dengan dikawal oleh pasukan pengawal pantainya sering masuk dan mencari ikan di ZEE.

Sesekali pihak Indonesia mengerahkan kapal Badan Keamanan Laut maupun Kapal Patroli Angkatan Laut untuk mengusirnya. Kapal kapal nelayan asing itu pergi namun muncul lagi beberapa waktu kemudian.

Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan nelayan Indonesia> Sudahkan wilayah ZEE itu dieksploitasi dan diramaikan dengan aktivitas penangkapan ikan? Apakah di sekitar itu sudah ada industri pengawetan perikanan, pemrosesan air tawar, penyediaan BBM atau posko keamanan ? Apakah nelayan dan kapal kapal Indonesia sudah banyak dan berkelanjutan meramaikan kawasan tersebut ?

Kalau belum, ya tidak heran kalau kapal kapal nelayan asing yang tergiur berburu di sana. Di laut lepas, tidak seperti di daratan ada benda benda fisik, kultur atau bangunan sebagai penanda wilayah. Di laut hanya ada titik titik imajiner yang disebut koordinat.

Pelajaran pahit yang Indonesia telah telan ketika kalah dari Malaysia dalam perebutan Sipadan -- Ligitan, karena abai dalam mengusahakannya hendaknya tidak boleh terulang di Natuna.

Pemerintah perlu membangun industri perikanan terpadu di sekitar kawasan itu. Kegiatan kebaharian dan kepelautan harus dikembangkan untuk menunjukkan penguasaan dan pengurusan efektif terhadap kawasan yang luas itu.

Memperhatikan hal hal tersebut di atas, paradigma pengelolaan wilayah perbatasan harus berubah. Pertimbangan ekonomi dalam mengelola wilayah perbatasan harus dinomorduakan. Nomor satu adalah untuk menjaga integritas wilayah. Pendekatan pembangunan di kawasan perbatasan harus dengan perlakuan khusus.

Juga adalah penting memadukan pengembangan wilayah kerja pertambangan dengan pengelolaan pulau pulau terluar yang berada di bawah tugas fungsi Kementerian Kelautan maupun Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Rencana pengembangan tata ruang pembangunan daerah harus menyesuaikan dan selaras dengan narasi besar menjaga kedaulatan di tapal batas.

Pengelolaan kawasan perbatasan harus terpadu, konseptual, substantif dan komprehensif. Tidak cukup dengan membangkitkan sentimen sporadisme heroik.

Pepatah bijak berkata Jangan pernah telantarkan kebunmu yang subur dan ranum, atau orang lain akan datang mengurusinya. Apabila kita kurang siasat, itulah tanda pekerjaan hendak sesat (gurindam pasal 7)

Tanah Gurindam Kepulauan Riau, Januari 2020.
Penulis, Mahasiswa Doktoral Universitas Pertahanan -- Aktif di Masyarakat Energi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun