SELAIN Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, tiga nama kepala daerah, yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan; Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo digadang-gadang calon kuat maju Pilpres 2024.Â
Soalnya, nama-nama mereka selalu bercokol di peringkat teratas berdasarkan hasil jejak pendapat beberapa lembaga survey.Â
Sebelum mengupas isi judul, kita telisik alasan keempat nama di atas mampu mendominasi angka elektabilitas tertinggi menurut lembaga survey.Â
Prabowo Subianto
Nama satu ini tak usah diragukan bila mendapat hasil maksimal dalam setiap jejak pendapat. Mantan Danjend Kopasus itu bukan telah berpengalaman di kancah politik nasional.Â
Faktanya, Prabowo satu-satunya orang yang pernah tiga kali terlibat langsung Pilpres semenjak era reformasi bergulir. Pertama saat mendampingi Megawati Soekarnoputri sebagai cawapres pada tahun 2009. Kemudian dua kali sebagai capres pada tahun 2014 dan 2019.Â
Garis tangan Prabowo masih bengkok (baca : selalu kalah dalam pilpres). Namun begitu partisifasi dia di ajang kontestasi perebutan orang paling berkuasa di tanah air ini sedikitnya membuat namanya dikenal begitu banyak masyarakat tanah air.Â
Kemudian statusnya sebagai Ketua Umum Partai Gerindra dan sekarang menjabat Menhan di Kabinet Indonesia Maju (KIM) menjadikan mantan suami Titiek Soeharto itu dikenal luas. Ini menjadi kontribusi besar bagi tingginya elektabilitas dia.Â
Anies, Ridwan dan Ganjar
Elektabilitas ketiga nama kepala daerah ini dalam beberapa jejak pendapat hampir tak pernah mampu dikejar oleh pesaing-pesaing politik lain. Mereka konsisten nongkrong di jajaran empat besar.Â
Pemantik dari konsistensi dan tingginya angka kepercayaan publik tersebut berdasarkan analisa dari beberapa pengamat adalah mampu memainkan perannya selama pandemi virus Korona (Covid-19) mewabah.Â
Tengok saja, bagaimana Anies mendadak jadi primadona di mata publik saat kebijakan-kebijakannya di awal masa pandemi berujung apresiasi dari berbagai kalangan. Dia dianggap berani ambil risiko dan tegad dalam membuat kebijakan.Â
Tak pelak, Anies pun diganjar dengan elektabilitas tinggi, terlebih kebijakan pusat kala itu dianggap masih lembek.Â
Pun dengan Ridwan Kamil dan Ganjar Pranowo. Sepak terjangnya dalam menangani pandemi Covid-19 menuai apresiasi. Dengan kinerja dan caranya masing-masing, penyebaran virus Korona bisa ditekan, dan kontribusi bantuan sosial bagi warga terdampak juga relatif tertib.Â
Sama halnya dengan Anies, kedua nama ini juga diganjar dengan tingkat elektabilitas memuaskan. Bahkan, Ganjar mampu mengangkangi elektabilitas Prabowo Subianto.Â
Pengalaman BicaraÂ
Seiring perjalanan waktu, konstelasi elektabilitas keempat nama tersebut di atas mulai mengalami perubahan. Padahal situasi dan kondisi bisa disebut masih sama persis. Pademi belum bisa dikendalikan. Bahkan, kian hari kian merajalela.Â
Berdasarkan survey terakhir Indonesia Elections and Strategic (indEX) yang dirilis awal pekan lalu, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo masih stabil menempati posisi teratas. Masing-masing 22,3 persen untuk Prabowo dan 15,2 persen bagi Ganjar.Â
Sementara dua nama lainnya. Anies dan Ridwan Kamil malah terjun bebas.Â
Elektabilitas Anies Baswedan pada Mei 2020 meraih angka 13,7 nyungsep menjadi 4,7 persen. Pun dengan Ridwan Kamil, dari 12,8 pada Agustus turun menjadi 7,8 persen.Â
Apa yang menjadi penyebab anjloknya elektabilitas Anies dan Ridwan? Tentu banyak faktor. Namun, menurut hipotesa sederhana saya, pengalaman politik mereka bisa disebut masih mentah. Keduanya masih belum bisa menentukan sikap politik secara pasti alias masih bingung bin linglung.Â
Bagi Anies sebenarnya sudah memiliki modal awal cukup bagus. Dia dianggap sebagai birokrat garis kiri. Faktanya, dalam beberapa momentum, dia  berbeda faham dan kebijakan dengan apa yang digariskan pihak pemerintah pusat.Â
Sayang, posisi ini tidak bisa dimanfaatkan dengan baik. Sikap oposannya akan terus bisa mengkatrol kepercayaan publik ternyata tak berjalan sesuai skenario.Â
Anies lebih sering show offorce dan menyandarkan diri pada kekuatan kelompok agama yang sama-sama menempatkan diri sebagai oposisi. Hingga, saat kelompok agama ini terpuruk dan menuai cibiran publik, Anies pun hanyut di dalamnya.Â
Contoh terbaru, Anies terpaksa menerima batunya. Mau tidak mau, dia terpaksa menjalani pemeriksaan Polda Metro Jaya akibat dianggap abai terhadap protokol kesehatan.Â
Saya rasa bukan abai, tetapi turut memfasilitasi kerumunan massa yang diakibatkan Habib Rizieq Shihab, saat menggelar pesta pernikahan dan peringatan Maulid Nabi. Faktanya, Anies sendiri hadir dalam acara kawinan Syarifah Najwa Shihab---Putri Sang habib.Â
Akibatnya, ketika Habib Rizieq dan pendukungnya memantik cemooh publik, Anies pun kena getahnya.Â
Kalau saja Anies tidak grusa grusu mengkatrol elektabilitas diri dan sedikit sabar untuk menunggu dan mencermati momentum pas, sepertinya tidak akan terjebak oleh tindakan Habib Rizieq dan kelompoknya.Â
Nasi sudah menjadi bubur, Anies pun telah masuk perangkap. Dia tengah dihadapkan pada kiamat kecil pada karir politiknya.
Namun, tentunya waktu menuju Pilpres 2024 masih cukup panjang. Masih ada kesempatan untuk dirinya menata ulang dan belajar dari pengalaman.Â
Dibanding Anies, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil sebenarnya lebih mengkhawatirkan. Beda dengan Anies yang sejak awal menempatkan diri di garis kiri (oposan). Kang Emil---sapaan akrab Ridwan Kamil masih tidak jelas.Â
Saya kira, Kang Emil akan coba mengisi pos garis tengah dan menancapkan kekuatan politiknya di sana. Namun, dia malah coba berdiri di dua kaki.Â
Kaki kiri diisi kubu Anies dan basis pendukungnya. Dan, kaki kanan diisi Ganjar Pranowo, Prabowo, Puan Maharani dan kolega-koleganya yang tergabung dalam koalisi pemerintah. Khususnya yang berada dalam dukungan Presiden Jokowi.Â
Sayang, meski dia tahu bahwa garis kiri dan kanan surah diisi oleh nama-nama kuat, Kang Emil masih mencari peluang diantara keduanya. Lagi-lagi, di sini membuktikan pria yang aktip di media sosial tersebut masih belum matang benar dalam mengkalkulasi dan mengatur ritme politiknya.Â
Saat di kedua posisi ini belum mendapat tempat, Kang Emil malah ikut terperangkap dala euforia sesaat Habib Rizieq dan kelompoknya. Dia mengatakan mau sowan terhadap Imam Besar FPI.Â
Eh, siapa sangka, Habib Rizieq yang sudah merasa di atas angin harus dipukul mundur oleh ketegasan pemerintah lewat TNI yang tidak disangka-sangka.Â
Kang Emil coba mundur, tetapi pernyataannya sudah terlanjur didengar publik dan pemerintah. Seperti halnya Anies, dia pun kena getahnya dan harus berurusan dengan Bareskrim Polri. Pencitraan yang selama ini dia bangun haru berujung cibiran dan nyinyiran publik, terutama warganet.
Karier politik Anies dan Kang Emil hancur? Terlalu cepat mengatakan itu. Masih ada waktu dan kesempatan bagi mereka berdua kembali pada treknya seperti sedia kala.Â
Tapi, tak menutup kemungkinan keduanya terus masuk dalam perangkap dan berujung pada kehabisan asupan oksigen. Hingga berakhir pada senjakala politisnya.Â
Beda halnya dengan Anies dan Kang Emil, kematangan politik Ganjar Pranowo telah teruji. Dia tetap fokus terhadap apa yang harus dikerjakannya selaku kepala daerah.Â
Boleh jadi ada beberapa kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan pemikirannya. Namun, dia tidak gampang bereaksi.Â
Ganjar tahu betul, kapan mengamini, kapan menentang kebijakan pemerintah. Dan, hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang kalkulasi politiknya sudah matang dan terukur.Â
Tidak heran bila Ganjar bisa mengatur ritme politik, karena dia sudah malang-melintang pada kancah politik nasional. Ibarat buah, Ganjar ini telah matang di pohon saat menjabat kepala daerah. Sedangkan Anies dan Kang Emil hasil karbitan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H