Sayang, meski dia tahu bahwa garis kiri dan kanan surah diisi oleh nama-nama kuat, Kang Emil masih mencari peluang diantara keduanya. Lagi-lagi, di sini membuktikan pria yang aktip di media sosial tersebut masih belum matang benar dalam mengkalkulasi dan mengatur ritme politiknya.Â
Saat di kedua posisi ini belum mendapat tempat, Kang Emil malah ikut terperangkap dala euforia sesaat Habib Rizieq dan kelompoknya. Dia mengatakan mau sowan terhadap Imam Besar FPI.Â
Eh, siapa sangka, Habib Rizieq yang sudah merasa di atas angin harus dipukul mundur oleh ketegasan pemerintah lewat TNI yang tidak disangka-sangka.Â
Kang Emil coba mundur, tetapi pernyataannya sudah terlanjur didengar publik dan pemerintah. Seperti halnya Anies, dia pun kena getahnya dan harus berurusan dengan Bareskrim Polri. Pencitraan yang selama ini dia bangun haru berujung cibiran dan nyinyiran publik, terutama warganet.
Karier politik Anies dan Kang Emil hancur? Terlalu cepat mengatakan itu. Masih ada waktu dan kesempatan bagi mereka berdua kembali pada treknya seperti sedia kala.Â
Tapi, tak menutup kemungkinan keduanya terus masuk dalam perangkap dan berujung pada kehabisan asupan oksigen. Hingga berakhir pada senjakala politisnya.Â
Beda halnya dengan Anies dan Kang Emil, kematangan politik Ganjar Pranowo telah teruji. Dia tetap fokus terhadap apa yang harus dikerjakannya selaku kepala daerah.Â
Boleh jadi ada beberapa kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan pemikirannya. Namun, dia tidak gampang bereaksi.Â
Ganjar tahu betul, kapan mengamini, kapan menentang kebijakan pemerintah. Dan, hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang kalkulasi politiknya sudah matang dan terukur.Â
Tidak heran bila Ganjar bisa mengatur ritme politik, karena dia sudah malang-melintang pada kancah politik nasional. Ibarat buah, Ganjar ini telah matang di pohon saat menjabat kepala daerah. Sedangkan Anies dan Kang Emil hasil karbitan.
Salam