SETELAH lebih dari satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf berjalan, posisi kabinet indonesia maju (KIM) masih utuh. Padahal, isu reshufle kerap mencuat.Â
Pertama kali isu reshufle mencuat dan menjadi diskursus hangat publik, saat video sidang kabinet paripurna jadi viral. Kala itu, Presiden Jokowi marah besar atas kinerja para pembantunya, yang berakhir dengan ancaman perombakan kabinet dan menghapus beberapa lembaga yang dianggap tidak perlu.Â
Spekulasi pun beredar. Beberapa nama menteri dianggap layak diganti, karena kinerjanya yang kurang maksimal. Sebut saja diantaranya, Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan; Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto; Menteri Sosial, Juliari Batubara; dan Menteri UMKM, Teten Masduki.Â
Kala itu sepertinya reshufle akan benar-benar dieksekusi Presiden Jokowi. Namun, nyatanya hingga hari ini perombakan kabinet urung terwujud. Dalihnya, sebagaimana dikatakan Mensetneg, Pratikno, seluruh menteri yang duduk di Kabinet Indonesia Maju beserta jajaran di bawahnya tengah bekerja keras untuk menangani dampak pandemi Covid-19.Â
Selepas itu, isu reshufle kembali mencuat. Sebut saja isu pergeseran posisi Prabowo Subianto, dari Menteri Pertahanan (Menhan) menjadi Menteri Pertanian (Mentan). Teranyar, isu perombakan kabinet ini menyasar Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD.
Menariknya, nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini dianggap sebagai menteri pertama yang layak direshufle. Â Setidaknya hal tersebut disampaikan oleh salah seorang pengamat politik tanah air, Rocky Gerung.Â
Pria yang akrab disapa profesor akal sehat itu mengaku menemukan beberapa kesalahan Mahfud dalam menghadapi oposisi pemerintah. Dengan alasan itu, dia memprediksi bahwa pria kelahiran Sampang, Madura 13 Mei 1957 ini bakal menjadi menteri pertama yang dievaluasi dan bahkan direshufle oleh Presiden Jokowi.Â
Reshufle tersebut kata Rocky bukan lantaran kehendak rakyat. Akan tetapi prestasinya yang kurang baik. Maka, Mahfud lebih baik berada di luar ring pemerintah sebagai oposisi.Â
"Mungkin beliau akan punya prestasi yang lebih baik lagi kalau dia bergabung dengan poros ini yang sebelumnya itu," kata Rocky. Dikutip dari Suara.com.Â
Masih dikutip dari Suara.com, Rocky mengaitkan kondisi yang dialami Mahfud tak lepas dari kembalinya pentolan FPI Habib Rizieq Shihab (HRS). Terlebih, HRS telah menggelar pertemuan bersama sejumlah tokoh sentral. Hal itu akan membuat pihak pemerintah mendadak sakit mag.Â
"Biasa disebut psikosomatik, udah pasti yang paling gelisah itu Pak Mahfud, karena secara teoritis Pak Mahfud mestinya dievaluasi oleh Pak Jokowi," sambungnya.Â
Lebih jauh, Rocky menuturkan soal kesalahan-kesalahan Mahfud MD dalam menghadapi pihak oposisi.Â
"Kesalahan Mahfud MD adalah mau membekukan simpol perlawanan, simbol oposisi, simbol kritik," tukasnya.Â
Ia mengatakan sudah terlambat bagi Istana jika akan melakukan perubahan menghadapi oposisi karena tak lama lagi dua tokoh oposisi yakni Habib Rizieq dan Gatot Nurmantyo akan bertemu.Â
Apa yang diungkapkan Rocky Gerung boleh jadi hanya penilaian subjektipitas dirinya terhadap Mahfud MD. Soalnya, setiap dia mengkritisi mantan Ketua MK tersebut, opininya selalu digiring agar cabut dari jajaran kabinet dan kembali jadi oposisi.
Hipotesa sederhananya, Rocky Gerung sebenarnya sangat membutuhkan keberadaan Mahfud MD di pihaknya. Baik secara kelembagaan bersama Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) atau perseorangan.Â
Yang pasti, Rocky menilai segala pengetahuan dan kapasitas Mahfud harusnya berada di luar ring pemerintah.Â
Kombinasi HRS-GatotÂ
Dalam kesempatan ini saya tertarik dengan pernyataan Rocky Gerung soal akan adanya dua kekuatan oposisi yang segera bertemu. HRS dengan mantan Panglima TNI, Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo.Â
Bila dicermati, pernyataan Rocky Gerung seolah ingin mengatakan bahwa saat ini telah ada dua kekuatan oposisi besar yang tak bisa dianggap remeh oleh pemerintah.Â
Kita memang tidak bisa tutup mata, HRS dan Gatot saat ini merupakan dua kutub oposisi yang memiliki kekuatan cukup dahsyat. HRS dengan kelompok islamnya yang berjumlah hingga jutaan orang. Sedangkan Gatot merupakan Presidium KAMI yang beranggotakan orang-orang intelektual.Â
Jika dua kutub oposisi ini bersatu, tak bisa dipungkiri akan menjadi hambatan besar. Atau, setidaknya mampu merongrong setiap kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah. Betapa tidak, HRS punya massa dan Gatot memiki orang-orang pemikir dan kritis.Â
Artinya kombinasi HRS-Gatot akan cukup merepotkan pemerintah bila memposisikan dirinya murni sebagai oposisi. Dengan catatan keberadaan mereka khusus hanya mengkritisi kebijakan pemerintah.Â
Namun, jika kombinasi dua tokoh tersebut digiring demi kepentingan politik, khususnya Pilpres 2024, rasanya masih harus berhadapan dengan jalan berliku. Baik HRS atau Gatot bukanlah kader partai politik (parpol).Â
Kekuatan sebesar apapun, tentu tidak akan ada artinya bila tidak ada satupun parpol yang meminangnya. Karena, seperti diatur dalam Undang-Undang Pemilu nomor 7 tahun 2017, salah satu syarat mencalonkan diri pada Pilpres harus diusung parpol.Â
Dan, parpol ini pun harus bisa memenuhi ketentuan yang berlaku. Yakni harus memenuhi syarat minimal 25 persen suara sah nasional atau setidak-tidaknya 20 persen dari jumlah total kursi DPR RI.Â
Dengan ketentuan di atas, bila HRS dan Gatot ingin sama-sama maju Pilpres 2024 pastinya harus bisa mendapatkan partai politik yang sesuai dengan UU Pemilu tersebut di atas.Â
Dan, saya rasa hal ini tidak mudah. Mereka harus mencari partai yang satu ideologi yang cenderung mengarah ke partai religius.Â
Sejauh ini mungkin hanya PKS yang bisa lebih mudah diajak koalisi, mengingat statusnya sebagai oposisi. Dan, tentunya ini tak cukup. Hasil Pemilu 2019 lalu, partai berlambang bulan sabit ini hanya memperoleh 8,21 persen suara sah nasional.Â
Dalam beberapa waktu terakhir mencuat nama Partai Ummat dan Masyumi. Namun demikian, kedua partai ini belum bisa diharapkan. Soalnya hingga hari masih belum terdaftar di Kemenkumham.Â
Jadi, apabila memang kedua tokoh ini digabungkan demi memuaskan syahwat politik, saya rasa masih harus bekerja jauh lebih keras lagi. Terus berharap, ambang batas pilpres atau presidential threshold bisa ditekan lebih rendah.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H