Aku makin penasaran. Namun, aku pura-pura saja menurutinya untuk segera pulang. Padahal, aku berniat untuk menghampirinya. Ingin memastikan, siapa perempuan itu.Â
Setelah membayar jajanan yang aku makan, aku pun pamit. Lalu, diam-diam aku coba menghampiri perempuan itu.Â
Makin dekat dengan perempuan itu makin tampak jelas rambutnya yang panjang terurai menutup wajahnya yang tengah menunduk begitu hitam pekat. Layaknya rambut bintang iklan shampo yang sering aku lihat di televisi.Â
Dari jauh aku hanya melihat kebaya biasa, ternyata setelah cukup dekat ternyata bahannya sangat bagus. Sepertinya terbuat dari sutera. Pun dengan kain samping bermotif batik yang dikenakan untuk pakaian bawahannya. Sungguh indah.Â
Aku pikir dia bukan perempuan biasa. Dia pasti anak seorang kaya tapi masih berpikiran kolot. Makanya, dia suka mengenakan pakaian layaknya gadis zaman tempo doeloe.Â
Tak terasa, jarak aku dengan perempuan itu hanya dipisahkan sekitar dua meter saja. Entah kenapa, tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Tengkukku dingin dan sekujur tubuh rasanya berat.Â
Namun, rasa penasaranku lebih besar dibanding rasa takut. Aku paksakan untuk menyapa perempuan itu.Â
"Selamat malam, Nona!".Â
Si perempuan tidak merespon sama sekali. Dia tetap saja tertunduk dengan rambut panjangnya menutupi wajah. Membuatku makin penasaran.Â
"Maaf, Nona. Kenapa jam segini belum pulang?" tanyaku. Lagi, dia tak menghiraukannya.Â
Merasa tak dihiraukan, aku mulai berani untuk duduk di sebelahnya. Kebetulan kursi yang dia tempati masih cukup ruang untuk aku duduki. "Kalau boleh aku tahu, siapa namamu?".Â