RANCANGAN Undang-Undang (RUU) 'Sapu Jagad" Onmibus Law Cipta kerja akhirnya disahkan menjadi UU oleh DPR melalui sidang paripurna, Senin (5/10/20). Pengesahan UU dimaksud disepakati langsung oleh pihak eksekutif dan legeslatif.
Sesuai jukukannya "Sapu Jagad", Omnibus Law adalah sebuah konsep hukum yang bisa mengatur banyak hal dalam sebuah Undang-undang.Â
Jika ditarik mundur, pengesahan UU Cipta Kerja sebenarnya tidak berjalan mulus. Sebelumnya gelombang protes atau penolakan begitu deras disuarakan di tengah-tengah masyarakat, karena dianggap merugikan banyak pihak, terutama kaum buruh.Â
Sejumlah pihak menilai bahwa UU tersebut terlalu menguntungkan kebutuhan investor, pengusaha, dan dunia bisnis. Sementara nasib buruh kurang begitu diperhatikan. Namun begitu, pemerintah dan DPR tak bergeming dan terus melanjutkan upaya pengesahan RUU kontroversial ini menjadi Undang-Undang.Â
Pro kontra atas lahirnya UU Cipta Kerja sudah pasti tak terelakan. Kemungkinan besar bakal banyak pihak yang mempermasalahkannya dan bahkan berujung protes besar-besaran.Â
Lepas dari segala kontroversi yang terjadi, saya hanya berharap pemerintah bisa menepati janjinya bahwa UU Cipta kerja benar-benar mengutamakan kepentingan nasional.
Semoga melalui undang-undang Sapu Jagad ini mampu menciptakan iklim atau membangun ekosistem usaha yang lebih baik sehingga bisa mempercepat terwujudnya kemajuan tanah air.Â
Tapi, jika dalam praktiknya kelak UU Cipta Kerja malah tak berfungsi sesuai harapan atau lebih merugikan kaum buruh, tentu masyarakat tak akan tinggal diam. Kaum buruh tentu bakal datang untuk kembali memperjuangkan hak-haknya.Â
Dua Pentolan Buruh Diundang PresidenÂ
Selain disahkannya UU Cipta Kerja, ada hal menarik lain yang menjadi sorotan publik. Yaitu diundangnya dua pimpinan serikat pekerja jelang pengesahan UU Cipta Kerja ke Istana Negara. Mereka adalah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.Â
Kedatangan dua pimpinan buruh itu tak urung memunculkan beragam spekulasi. Diantaranya tak sedikit yang beranggapan, maksud undangan Presiden Jokowi itu erat hubungannya dengan akan adanya aksi demo besar-besaran dan lobi-lobi lainnya.Â
Belum ada keterangan resmi terkait undangan dimaksud. Namun, menurut berita-berita yang ramai muncul di beragam media massa, ada isu kedua pentolan buruh itu akan ditawari posisi Wakil Menteri.Â
Jika isu itu benar dan tujuannya untuk meredam gejolak di kalangan kaum buruh, memang patut disesalkan. Pasalnya, akan sangat menciderai perjuangan kaum buruh secara keseluruhan.Â
Sebagai pentolan buruh, saya rasa kedua tokoh itu harus belajar banyak pada sosok wanita pemberani. Marsinah.Â
Marsinah Srikandi Buruh yang DibungkamÂ
Marsinah harus meregang nyawa di usia yang cukup muda. Ia meninggal dunia pada tahun 1993 silam, saat usianya baru 24 tahun. Meski begitu, namanya masih kerap didengungkan hingga sekarang, terutama oleh kaum buruh. Dia dianggap sebagai pahlawan kaum buruh dan simbol keberanian melawan kesewenang-wenangan.Â
Lalu, siapa Marsinah itu sebenarnya?Â
Dalam sebuah tayangan film produksi GSP tahun 2001 yang saya tonton lewat chanel youtube Nyonyo Chaptoeners, Marsinah adalah Wanita kelahiran 10 April 1969, Nganjuk, Jawa Timur.Â
Seperti diceritakan dalam film, Marsinah tak lebih dari seorang buruh pabrik biasa. Dia bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah perusahaan yang memproduksi arloji atau jam tangan.
Singkat cerita, pada tahun  awal tahun 1993 muncul Surat Edaran Gubernur Jatim Nomor 50 Tahun 1992 yang berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawan dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20 persen gaji pokok. Sayang surat dimaksud tidak indahkan oleh sebagian perusahaan, termasuk di tempat Marsinah bekerja.
Hal ini membuat sentimen negatif di kalangan para buruh. Dan, Marsinah terlibat di dalamnya.Â
Setelah beberapa aktivis buruh termasuk Marsinah melakukan beberapa kali rapat, akhirnya diputuskan untuk mogok kerja selama dua hari. Tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Namun demikian mereka tetap pergi ke pabrik melakukan aksi protes.Â
Karena situasi memanas, akhirnya pada tanggal 4 Mei 1993 pihak perusahaan menawarkan perundingan. Dan, disepakatilah belasan orang perwakilan buruh dengan pihak perusahaan berunding dengan disaksikan oleh Kanwil Depnaker Sidoarjo, Kansospol Sidoarjo, DPC SPSI setempat, serta jajaran Muspika seperti Kapolsek dan Danramil Sidoarjo.Â
Pendek kata, hasil perundingan itu pihak perusahaan sepakat dengan segala tuntutan para buruh. Dan, permasalah selesai. Para buruh pun kembali bekerja sebagaimana mestinya.Â
Namun, sore harinya 13 orang buruh yang dianggap dalang unjuk rasa dipanggil intel kodim 0816 dan disuruh menandatangani surat pengunduran diri. Marsinah yang tidak termasuk dalam kelompok yang dipanggil tidak terima, dan berencana membawa kasus tersebut ke jalur hukum.Â
Sayang, keberanian Marsinah ini harus dibayar mahal. Pada tanggal 6 Mei 1993 Marsinah menghilang. Dia kembali ditemukan pada tanggl 8 Mei dalam keadaan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk.Â
Awalnya kematian Marsinah dianggap sebagai akibat dari kriminalitas biasa. Namun setelah diselidik lebih lanjut, kematiannya ini diduga kuat erat kaitaannya dengan aksi-aksi beraninya memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh.Â
Sayang, hingga sampai saat ini pelaku pembunuhan terhadap Marsinah masih belum terungkap. Meski pihak Pengadilan Negeri sebelumnya telah memvonis para pihak yang dianggap pelaku, yakni dua satpam dan tujuh orang pimpinan PT CPS. Tapi kemudian dibatalkan, mengingat bukti-bukti dan hasil keterangan saksi ahli tidak menunjukan bahwa merekalah pelaku sebenarnya.Â
Seperti yang terlihat dalam salah satu adegan film Marsinah, ke sembilan orang tersebut sebelum diadili, dicokok oleh pihak militer dan mengalami penyiksaan. Mereka dipaksa mengakui perbuatannya sebagai pihak yang merencanakan dan membunuh Marsinah.Â
Namun demikian, seperti dikutip dari Tirto.id, kebebasan mereka tak lepas dari keterangan saksi ahli, ahli forensik, Abdul Mun'im Idries. Dalam persidangan dia memaparkan kejanggalan barang bukti, kesaksian, dan hasil visum.Â
Dalam bukunya bertajuk Indonesia X-Files (2013), Idries mengungkapkan bahwa barang bukti proses peradilan berupa balok janggal. Ukuran balok yang digunakan menyodok bagian genital tubuh Marsinah tak sesuai dengan besar luka pada korban yakni 3 sentimeter.Â
Menurutnya, satu luka pada bagian kelamin Marsinah tak sesuai dengan jumlah terduga pelaku yang berjumlah tiga orang.Â
Masih dikutip Tirto.id, Idries menegaskan, pendarahan bukan penyebab kematian Marsinah, melainkan tembakan senjata api.Â
"Melihat lubang kecil dengan kerusakan yang masif, apa kalau bukan luka tembak? Pelakunya siapa yang punya akses senjata," ungkap Indries.Â
"Kita kan enggak bebas memiliki senjata," imbuhnya.Â
Merujuk pada pendapat Idries tentu kita bisa menerka-nerka siapa dalang dan aktor pembunuhan Marsinah. Meski begitu tetap saja hingga hari ini kasusnya samar.Â
Jadi RenunganÂ
Itulah sekelumit kisah heroik Marsinah dalam memperjuangkan nasib buruh. Dia begitu berani dan siap tampil ke depan meski akhirnya harus dibayar dengan nyawa.Â
Dalam kesempatan ini, saya hanya ingin menekankan pada mereka yang merasa dirinya sebagai pembela kaum buruh, jadikanlah kisah heroik Marsinah ini sebagai senjata perjuangan dalam membela hak-hak kaum buruh. Bukan sebaliknya, keluh-kesah kaum buruh ini hanya dijadikan alat politik atau nilai tawar demi kepentingannya pribadi.Â
Jelas kita tidak ingin melihat para pihak yang mengaku pembela kaum buruh justru bisa ongkang-ongkang kaki menikmati fasilitas kekuasaan dan materi. Sementara nasib para buruh tetap saja ada paningkatan.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI