Setelah beberapa aktivis buruh termasuk Marsinah melakukan beberapa kali rapat, akhirnya diputuskan untuk mogok kerja selama dua hari. Tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Namun demikian mereka tetap pergi ke pabrik melakukan aksi protes.Â
Karena situasi memanas, akhirnya pada tanggal 4 Mei 1993 pihak perusahaan menawarkan perundingan. Dan, disepakatilah belasan orang perwakilan buruh dengan pihak perusahaan berunding dengan disaksikan oleh Kanwil Depnaker Sidoarjo, Kansospol Sidoarjo, DPC SPSI setempat, serta jajaran Muspika seperti Kapolsek dan Danramil Sidoarjo.Â
Pendek kata, hasil perundingan itu pihak perusahaan sepakat dengan segala tuntutan para buruh. Dan, permasalah selesai. Para buruh pun kembali bekerja sebagaimana mestinya.Â
Namun, sore harinya 13 orang buruh yang dianggap dalang unjuk rasa dipanggil intel kodim 0816 dan disuruh menandatangani surat pengunduran diri. Marsinah yang tidak termasuk dalam kelompok yang dipanggil tidak terima, dan berencana membawa kasus tersebut ke jalur hukum.Â
Sayang, keberanian Marsinah ini harus dibayar mahal. Pada tanggal 6 Mei 1993 Marsinah menghilang. Dia kembali ditemukan pada tanggl 8 Mei dalam keadaan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk.Â
Awalnya kematian Marsinah dianggap sebagai akibat dari kriminalitas biasa. Namun setelah diselidik lebih lanjut, kematiannya ini diduga kuat erat kaitaannya dengan aksi-aksi beraninya memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh.Â
Sayang, hingga sampai saat ini pelaku pembunuhan terhadap Marsinah masih belum terungkap. Meski pihak Pengadilan Negeri sebelumnya telah memvonis para pihak yang dianggap pelaku, yakni dua satpam dan tujuh orang pimpinan PT CPS. Tapi kemudian dibatalkan, mengingat bukti-bukti dan hasil keterangan saksi ahli tidak menunjukan bahwa merekalah pelaku sebenarnya.Â
Seperti yang terlihat dalam salah satu adegan film Marsinah, ke sembilan orang tersebut sebelum diadili, dicokok oleh pihak militer dan mengalami penyiksaan. Mereka dipaksa mengakui perbuatannya sebagai pihak yang merencanakan dan membunuh Marsinah.Â
Namun demikian, seperti dikutip dari Tirto.id, kebebasan mereka tak lepas dari keterangan saksi ahli, ahli forensik, Abdul Mun'im Idries. Dalam persidangan dia memaparkan kejanggalan barang bukti, kesaksian, dan hasil visum.Â
Dalam bukunya bertajuk Indonesia X-Files (2013), Idries mengungkapkan bahwa barang bukti proses peradilan berupa balok janggal. Ukuran balok yang digunakan menyodok bagian genital tubuh Marsinah tak sesuai dengan besar luka pada korban yakni 3 sentimeter.Â
Menurutnya, satu luka pada bagian kelamin Marsinah tak sesuai dengan jumlah terduga pelaku yang berjumlah tiga orang.Â