Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

G30S dan Supersemar Ihwal Lengser Sukarno dan "Jalan Tol" Soeharto Menuju Puncak Kuasa

30 September 2020   19:54 Diperbarui: 1 Oktober 2020   01:56 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Schreenshot chanel Jaya Nusantara

PERISTIWA penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh perwira TNI Angkatan Darat (AD) pada tanggal 30 September 1965, yang enam di antaranya berpangkat jendral dan satu perwira pertama setingkat letnan menjadi awal kekisruhan politik di tanah air kala itu. Betapa tidak, situasi keamanan dan politik menjadi tak menentu, karena terlalu banyak pihak yang saling curiga satu sama lain.

Pihak TNI AD yang para petingginya menjadi korban penculikan dan pembunuhan menuding bahwa peristiwa kelam itu didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan beberapa pihak yang terlibat. Misal Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Sementara, PKI tak terima begitu saja. Mereka menuduh bahwa yang terjadi pada malam Jumat berdarah itu merupakan akibat dari adanya konflik internal Angkatan Darat. 

Bahkan, PKI menuduh beberapa petinggi TNI AD telah membentuk Dewan Jendral yang bertujuan melakukan kudeta terhadap pemimpin besar revolusi, Presiden Sukarno. Dan, masih ada lagi teori-teori lainnya terkait peristiwa jahanam dimaksud. 

Selain itu, pasca terjadinya peristiwa G30S, terjadi konflik besar-besaran antara TNI AD dengan kader-kader PKI di daerah. Akibatnya banyak korban yang terbunuh. Setidaknya, menurut catatan sejarah, tak kurang dari 500.000 jiwa menjadi korban pembantaian TNI AD di bawah perintah Mayjend Soeharto. 

Bukan hanya itu, keadaan ekonomi yang morat-marit semakin menambah kondisi negara semakin tak menentu, sehingga menimbulkan gejolak di masyarakat. Puncaknya, mahasiswa tidak tahan lagi. Mereka pun akhirnya turun ke jalan menggelar aksi demo besar-besaran pada awal-awal tahun 1966. 

Seperti telah disinggung, unjuk rasa pada awal tahun 1966 tersebut dipicu oleh polemik pelik akibat tragedi G30S 1965. Presiden Sukarno sebagai penguasa Orde Lama (Orla) dianggap gagal membawa bangsa Indonesia keluar dari krisis. 

Tak ayal, gelombamg protes dari beberapa kesatuan aksi mahasiswa pun mengalir deras. Tercatat dalam sejarah, protes tersebut melambungkan tiga tuntutan rakyat (Tritura), yakni 1. Bubarkan PKI, 2. Rombak Kabinet Dwikora, dan 3. Turunkan Harga. Tiga tuntutan ini merepresentasikan kondisi kebatinan masyarakat dan pernyatataan sikap atas ketidak percayaan terhadap kinerja pemerintah. 

Demonstrasi atas tiga tuntutan tersebut tidak hanya dilakukan pada Januari 1966 melainkan terus menyambung pada bulan berikutnya. Sebab, para mahasiswa merasa pihak pemerintah lamban dalam menampung aspirasi tersebut. Bahkan, demo susulan bukan saja bicara Tritura, tetapi melebar pada isu untuk menurunkan Presiden Sukarno dari jabatannya. 

Puncak aksi protes mahasiswa ini terjadi bentrok besar-besaran dengan pasukan pengawal presiden, Cakrabirawa. Akibatnya seperti telah diketahui bersama, salah seorang mahasiswa atas nama Arief Rahman Hakim gugur ditembus timah panas. 

Melihat situasi makin tak terkendali, Presiden Sukarno menunjuk Mayjend Soeharto untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban negara. Maka, lahirlah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). 

Surat tersebut berisi tiga perintah penting dari Presiden Soekarno terhadap Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam mengatasi situasi keamanan yang buruk di Indonesia pada masa itu. 

Siapa sangka, Supersemar itu akhirnya menjadi awal runtuhnya rezim Sukarno yang sebelumnya ditasbihkan sebagai Presiden RI seumur hidup. Tak sedikit catatan sejarah yang mengatakan surat perintah dimaksud dimanfaatkan Soeharto untuk merebut kekuasaan hingga akhirnya menjadi penguasa Orba hingga hampir 32 tahun lamanya. 

Supersemar Penuh Teka-Teki 

Seperti kita pahami dalam catatan sejarah versi Orba, Supersemar merupakan ikhwal peralihan kepemimpinan nasional. Surat perintah ini adalah surat sakti penentu lahir dan absahnya pemerintahan di bawah Soeharto sekaligus jalan menuju penyingkiran takhta Presiden Sukarno selaku penguasa Orla. 

Sama halnya dengan otentifikasi film Pengkhianatan G30S/PKI yang banyak diperdebatkan pasca Soeharto lengser pada tahun 1998 silam. Supersemar juga bernasib sama. 

Banyak pihak mulai mempertanyakan keabsahannya. Mereka yang penasaran menilai, Supersemar yang beredar di internet dicurigai palsu. 

Pengungkapan terus dilakukan dan ramai menjadi diskursus publik. Namun, hal itu selalu menemui jalan buntu, karena kabarnya "surat sakti" tersebut hilang secara misterius. 

Telah dijelaskan di atas, Supersemar adalah surat perintah agar Soeharto bisa memulihkan kondusifitas negara yang tengah kacau, dengan cara mengambil langkah-langkah dan tindakan yang hanya dianggap perlu. 

Faktanya, banyak pihak terutama para sejarawan menilai, Soeharto menjalankan kepercayaan itu melebihi wewenang presiden sebagai yang memberi perintah. Misal, PKI langsung dibubarkan dan dibabat habis hingga ke akar-akarnya. Padahal, Presiden Soekarno masih "belum" menyetujui partai berideologi komunis tersebut di bubarkan. 

Isu yang berkembang, konon Supersemar yang ada di tangan Soeharto dan juga tercatant dalam buku sejarah adalah versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat. Adapun naskah asli yang diterbitkan Presiden Sukarno di Istana Bogor masih terus ditelusuri. 

Schreenshot chanel Jaya Nusantara
Schreenshot chanel Jaya Nusantara
Namun begitu, merujuk pada pidato Presiden Sukarno dari arsip nasional yang ditayangkan oleh chanel Youtube Jaya Nusantara, boleh jadi Supersemar yang ada di tangan Soeharto bukanlah yang asli. Sebab, dalam pidato tersebut Putra Sang Fajar jelas-jelas mengatakan bahwa Supersemar tak lebih dari surat perintah pengamanan. Yaitu, perintah pengamanan jalannya pemerintahan, perintah pengamanan keselamatan pribadi serta wibawa presiden, dan perintah pengamanan ajaran presiden.

Sebelumnya, masih dalam kesempatan yang sama Presiden Sukarno juga mengatakan bahwa Supersemar dengan sejurus waktu bertampik sorak sarai karena dikiranya sebagai surat penyerahan pemerintahan. Padahal, seperti telah penulis urai di atas, Supersemar tak lebih dari surat perintah pengamanan semata.

Sukarno Lengser

Kendati begitu, sejarah tak mungkin bisa diubah. Pada kenyataannya dengan Supersemar lebih mempermulus jalan Soeharto menuju kursi kekuasaan. Setiap langkah dan tindakan yang diambilnya berjalan sukses, sehingga mendapat apresiasi dan dukungan banyak pihak, termasuk MPRS yang diketuai Abdul Haris Nasution. 

Puncaknya, Sukarno akhirnya kekuasaan Sukarno benar-benar di ujung tanduk. Pertanggung jawabannya yang bertajuk "Nawaksara" ditolak. Dan sang Proklamator itu telah dianggap lalai dalam memenuhi kewajiban Konstitusionalnya selaku mandataris MPRS. 

Tak lama kemudian, MPRS mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dan menetapkan Soeharto sebagai pejabat presiden. Ketetapan itu tertuang dalam TAP MPRS No. XXXIII tahun 1967. 

Munculnya Soeharto menjadi Presiden RI menggantikan presiden sebelumnya, banyak peneliti sejarah menyebutnya sebagai kudeta merangkak. Soeharto dianggap orang cerdas yang tidak merebut kekuasaan dengan cara prontal, tetapi step by step, namun mengena ke target sasaran. 

Akhirul kata, dari peristiwa sejarah tersebut, telah sama-sama kita ketahui bahwa Presiden Soeharto menjelma jadi penguasa Orba selama hampir 32 tahun. Sebelum akhirnya sejarah kembali terulang, Presiden RI ke-2 ini harus lengser dengan cara-cara yang kurang mengenakan. 

Salam 

Referensi : satu - dua - tiga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun